Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Kerja tak harus pakai motor, cukup bersepeda (Foto : Elisa) |
Jangan salah sangka, B2 itu bukan kode untuk makanan yang terbuat dari daging babi. Secara lengkap. B2W itu adalah Bike to Work. Angka 2 itu dibaca to bukan two. Jadi B2W itu berarti menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi untuk berangkat dan pulang kerja. Kegiatan ini cukup langka dilakukan oleh kalangan pekerja ’kerah putih’ atau pekerja kantoran, yang biasanya justru menggunakan sepeda motor atau mobil. Sebaliknya B2W ini justru lazim dilakukan oleh kalangan tertentu seperti tukang sayur, tukang jual siomay, pekerja pabrik, dan sebagainya. Alasannya sederhana saja, sepeda memang satu-satunya sarana transportasi yang dimilikinya.
Permasalahan yang sering muncul dari kegiatan b2w di kalangan pekerja kantor adalah adanya banyak hambatan yang dikemukakan sebagai alasan pemaaf untuk tidak bersepeda. Tulisan ini bermaksud untuk melihat alasan-alasan yang lazim dikemukakan oleh orang-orang yang mengatakan tidak untuk b2w. Tujuan tulisan ini adalah untuk lebih menggalakkan kegiatna b2w untuk pergi ke tempat kerja. Tulisan ini tidak ingin ingin menggurui tetapi lebih kepada keinginan untuk berbagi pengalaman tentang suka duka menggunakan sepeda untuk keperluan bekerja. Hal ini perlu dikemukakan karena tiga alasan. Pertama, para pekerja ’kerah putih’ terutama yang perempuan, enggan untuk menggunakan sepeda. Alasan kedua, adanya anggapan bahwa bersepeda berarti menurunkan kualitas dan kenyamanan hidup seseorang. Istilahnya, hidup menjadi tidak bergengsi. Alasan ketiga yaitu sepeda hanya digunakan untuk keperluan rekreasi saja, yaitu dengan mengikuti acara fun bike atau sepeda gembira. Ketiga alasan itu akan dibahas di bawah ini untuk mengetahui apakah hal itu bisa menjadi alasan pembenar untuk menolak kegiatan B2W ini.
Mengapa perempuan lebih jarang menggunakan sepeda untuk keperluan bekerja daripada laki-laki? Apakah ini termasuk fenomena gender? Tidak juga. Perempuan yang menggunakan sepeda tetap bisa tampak feminin dan anggun. Mungkin mereka enggan naik sepeda karena takut kulitnya menjadi lebih gelap. Berdasarkan pengamatan pada mahasiswa-mahasiswa putri, mereka pada umumnya sangat takut berkulit gelap karena sengatan matahari. Cara-cara yang paling sering dilakukan mereka adalah memakai krim pemutih dan menghindari sengatan matahari secara langsung. Penggunaa krim pemutih ini erat hubungannya dengan iklan di meda massa yang membelenggu anggapan masyarakat bahwa ’cantik itu putih’. Ini berarti perempuan yang tidak berkulit putih adalah perempuan yang buruk rupa. Oleh karena itu tidak heran bila tidak ada perempuan yang ingin dianggap buruk rupa, hanya gara-gara kulit menjadi lebih gelap. Kalaupun terpaksa menembus panasnya sengatan matahari, perempuan juga cenderung menutupi kaki dan tangannya dengan jaket, kaus kaki, atau justru memakai payung. Anehnya penggunaan topi jarang dilakukan oleh perempuan untuk melindungi kepalanya dari sengatan matahari.
Perempuan juga enggan menggunakan sepeda karena alasan kenyamanan. Lazimnya kostum bagi karyawan perempuan pada banyak organisasi adalah rok bukan celana panjang. Karena itu bila karyawan itu berangkat kerja dan menggunakan rok, maka bersepeda merupakan kegiatan yang sangat tidak nyaman. Apalagi kalau rok yang digunakan itu model sempit atau ’span’, maka kegiatan mengayuh pedal merupaka siksaan. Belum lagi kalau model roknya itu memakai belahan pinggir, maka sebagian paha akan tersingkap karena gerakan mengayuh pedal ini. Kerugiannya jelas yaitu koleksi rok model ’span’ ini menjadi cepat robek. Sebaliknya bila model roknya adalah lebar seperti payung, maka kegiatan bersepeda memang menjadi lebih nyaman. Tetapi bila angin kencang bertiup, maka rok bagian samping akan melambai-lambai sehingga sebagian paha dan baju dalam menjadi tersingkap. Ini menjadi santapan empuk bagi si mata keranjang. Bagaimana dengan rok panjang atau kebaya? Pada jaman sekarang ini mungkin tidak ada organisasi yang mewajibkan karyawan perempuannya memakai kebaya setiap hari. Sebab mode rok panjang seperti itu sudah dianggap tidak sesuai dengan mode. Kalau hanya untuk alasan pembuatan film seperti pada film Sinta Obong, mungkin saja hal itu terjadi (Kedaulatan Rakyat, 21/1/2006, hal. 15). Dalam film arahan Garin Nugroho itu, para perempuan Jawa digambarkan dengan memakai kebaya dan beramai-ramai naik sepeda, dengan wajah yang ceria. Sekali lagi itu adalah adegan film, bukan kejadian sesungguhnya.
Alasan kenyamanan selanjutnya yang menjadi penghalang bagi perempuan untuk bersepeda adalah munculnya keringat, sehingga bau badan menjadi menyengat. Kegiatan mengayuh pedal ini jauh lebih berat daripada naik sepeda motor. Dengan mengendarai motor, maka bedaknya tidak luntur oleh keringat. Sampai di kantor ia tetap rapi penampilannya dan bau badannya wangi. Adanya biang keringat inilah yang membuat perempuan enggan bersepeda. Padahal keluarnya keringat ini sebenarnya akan membuat seseorang menjadi lebih sehat. Tetapi perempuan mana yang bersedia tampil di kantor dengan wajah berkeringat seperti berminyak, bau badan menyengat, dan baju kusut? Apalagi kalau ia bertugas sebagai customer service yang harus tampil rapi dan segar.
Alasan kepraktisan sering dikemukakan sebagai penghambat selanjutnya bagi perempuan untuk bersepeda ke kantor. Mereka memilih naik motor karena lazimnya mereka bertugas untuk mengantar dan menjemput anak sekolah. Bahkan sering terjadi anak yang harus dijemput dan diantar itu lebih dari satu, sehingga dengan sepeda motor saja mereka sudah merasa payah apalagi kalau naik sepeda. Selain tugas antar jemput anak, masih ada kemungkinan perempuan yang karyawan ini juga berprofesi sebagai pengusaha makananan. Jadi sambil berangkat ke kantor ia menitipkan roti buatannya ke toko-toko yang dilewatinya. Bila jumlah dagangannya banyak, maka berangkat ke kantor dengan sepeda jelas bukan merupakan pilihan yang tepat.
Selain alasan-alasan yang ’khas’ dikemukakan perempuan, masih ada sejumlah alasan lainnya yang juga menjadi penghambat baik bagi karyawan perempuan maupun laki-laki. Jarak antara rumah dan kantor yang jauh, masalah keamanan terutama bersepeda pada malam hari, masalah takut kehilangan sepeda bila sepeda diparkir di tempat umum. Pada jaman sekarang ini pola tenaga kerja yang ada adalah nglaju, sehingga seseorang bisa saja mempunyai rumah di Bantul tetapi tempat kerja di Solo. Naik sepeda setiap hari dari Bantul ke Solo tentu bukan pilihan yang tepat. Selanjutnya bersepeda pada malam hari ternyata juga rawan keamanan. Apalagi kalau jalannya sepi, gelap, dan juah dari perumahan. Alasan selanjutnya adalah munculnya rasa takut raibnya sepeda kesayangan di tempat parkir, memang mudah dipahami. Hal ini karena harga suatu sepeda bisa saja melebihi harga sepeda motor baru. Sepeda semacam itu biasanya ringan, sehingga sangat mudah dijinjing oleh pencuri.
Adanya sederetan hambatan-hambatan itu apakah bisa merupakan pembenar bagi kita untuk tidak mencoba bersepeda ke kantor? Sebaiknya cobalah untuk bersepeda ke kantor. Alasannya klasik yaitu demi kesehatan tubuh dan jiwa. Ini karena olah raga yang dilakukan secara teratur akan membuat kekebalan tubuh terhadap penyakit meningkat (Kompas, 2 September 1995: 3), sehingga produktivitas kerja juga meningkat. Bagaimana dengan dampak secara psikhis? Pendapat Vitalo yang dikemukakan pada tahun 1978 (dalam bukunya Fisher dkk, 1984:330 yang berjudul Environmental Psychology) rasanya masih relevan dengan keadaan sekarang. Ia mengemukakan bahwa kesegaran tubuh erat hubungannya dengan kesehatan mental, motivasi tinggi, kegigihan, penerimaan sosial, kepercayaan pada diri sendiri yang tinggi, dan prestasi akademik yang tinggi. Karena itu sangat disarankan agar karyawan memilih olah raga yang tidak perlu bergantung pada orang lain, seperti jogging, bersepeda, senam, dsb. Alasannya olah raga mandiri itu lebih memelihara motivasi internal daripada olah raga yang berkelompok (seperti sepak bola, basket, dsb). Kita akan mudah menolak berolah raga voli karena tidak ada temannya, sebagai usaha untuk menutupi kemalasan kita. Tetapi dengan berolah raga bersepeda, maka kita tidak akan bisa menutupi kemalasan justru akan memperlihatkan kerajinan kita. Ini adalah latihan pembentukan mental yang tangguh.
Lalu bagaiman dengan hambatan di atas, apakah tidak perlu diperhatikan sama sekali? Untuk membuat kita lebih rajin bersepeda ke kantor, maka kuncinya adalah kemampuan kita dalam mengatasi hambatan itu. Anggaplah hambatan itu sebagai cara bagi kita untuk menjadi lebih baik. Misalnya hambatan tentang pemakaian rok ketat. Pakailah celana panjang saja dengan atasan dari kaus. Sampai di kantor segeralah berganti dengan baju seragam kantor, dan berbedaklah. Bahkan ada kantor yang menyediakan sarana kamar mandi. Tentu kita akan menjadi lebih segar dan nyaman dalam bekerja, bila badan menjadi bersih. Kita juga tidak perlu setiap hari bersepeda bila ke kantor. Sekali atau dua kali dalam seminggu bersepeda dan bila itu dilakukan oleh banyak karyawan, maka hal itu merupakan langkah maju bagi masyarakat Yogyakarta untuk menekan tingginya kadar polusi udara. Kualitas hidup kita menjadi lebih baik lagi. Kita tidak perlu takut kulit menjadi gelap, sebab imbalannya sangat menyenangkan yaitu tubuh menjadi lebih seksi dan sehat.
Kita juga tidak perlu merasa gengsi menjadi turun bila bersepeda, sebab ada banyak sepeda yang harganya melebihi sepeda motor baru. Bahkan kostum para karyawan ketika sedang bersepeda ini sangat menarik perhatian, dan harganya bisa lebih mahal daripada seragam kantor. Kita justru akan menjadi pionir yang patut dicontoh di kantor karena berani melakukan hal-hal baik padahal orang lain tidak berani melakukannya. Bahkan kini kegiatan B2W ini sudah menjadi trend gaya hidup orang-orang yang maju. Kemudian pakailah tas punggung (ransel) sebagai ganti tas kantor, karena hal itu lebih praktis dan memudahkan kita dalam mengayuh pedal. Jadi bersepeda itu tidak perlu menunggu datangnya acara fun bike atau sepeda gembira pada hari Minggu. Bersepeda ke kantor ternyata juga menyehatkan dan menggembirakan hati. Kalau tempat kerjanya di Solo, maka sepeda bisa dibawa dengan kereta api. Tentu saja kita harus waspada akan jadwal kereta. Sepeda juga bisa dititipkan pada tempat penitipan sepeda motor yang lazim ada di dekat stasiun bis / kereta api. Cara ini mungkin banyak dipilih oleh para penglaju.
Apabila semua situasi kerja tidak mendukung kita untuk bersepeda, maka janganlah ucapkan selamat tinggal sepeda. Apa pun alasannya, paling tidak kita semua harus berolah raga, menggunakan sepeda atau tidak. Sepeda hanyalah sarana saja untuk membuat badan lebih sehat. Tidak mempunyai sepeda bukan berarti kita tidak dapat berolah raga. Masih banyak cara lain untuk melatih kelenturan otot-otot. Jadi marilah sekarang juga berolah raga, janganlah ditunda sampai kita sudah divonis oleh dokter tidak bisa bergerak lagi.
Catatan :
Cersi pertama tulisan ini sudah dipublikasikan pada Majalah Sembada Sleman, Edisi 32, tahun ke-11, 2006
3 Comments
B2 itu makanan di bawah jembatan dekat samsat Yogya itu lho bu Shinta. Kata teman-teman sih, ada yang enak. Tapi kalau saya lebih suka sate tempe itu lho. Lebih enak dan sehat kan?
ReplyDeleteHaloo, salam kenal nih. Makanan dari daging babi (B2) tidak ada hubungannya dengan naik sepeda lho. Mari ikut fun bike.
Deletesemoga bersepeda makin aman & nyaman termasuk bagi perempuan ... salam dari solo (fuad)
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji