Sigit Meliyanto
Teknik Peminyakan
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Pengemis di dekat Dinas Sosial (Foto : Sigit M) |
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah keluarga
yang mengalamai kesulitan karena suatu hambatan. Kesulitan atau gangguan yang
tidak dapat melaksanakan fungsi sosial karena tidak dapat menjalin hubungan
yang serasi dan kreatif dengan lingkungan, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan wajar (http://dinsos.jogjaprov.go.id).
Kementrian Sosial RI, tercatat terdapat 26 golongan PMKS. PMKS menjadi salah
satu masalah di Negara ini yang tidak ada habisnya. Ibaratnya, mati satu tumbuh
seribu, terlebih pengemis.
Yogyakarta menjadi kota rujukan yang menjanjikan bagi pengemis.
Kenapa? Image masyarakat Yogyakarta yang ramah nan dermawan mampu dibaca dan
dimanfaatkan dengan baik oleh para pengemis baik dari dalam dan luar daerah
Yogyakarta. Saat ini sangat sulit
membedakan antara yang benar-benar pengemis dan mana yang ber-acting untuk meminta-minta. Salah satunya
pengemis gadungan.
Pengemis gadungan yang
sering ditemui penulis menyatakan bahwa beberapa sumber yang penulis dapatkan,
yakni dari berbagai warga sekitaran area yang digunakan untuk mengemis ini,
mereka menyatakan bahwa mereka sebenarnya bukan tidak mampu, tapi hanya malas. Bukan
pula tak punya kemampuan atau keterampilan, karena itu bisa di pelajari. Pada
intinya tidak mau bekerja susah payah. Memang, tidak semua pengemis seperti
itu, kakek-kakek, nenek yang sudah renta, gimana
mereka mau bekerja? Tetapi yang masih tergolong usia produktif itu itulah
yang menjadi masalah.
Baru-baru ini, penulis menjumpai fenomena yang sangat miris
kaitanya dengan pengemis. Di jalan Janti Yogyakarta, tepatnya perempatan Gedong
Kuning (± 300 meter selatan JEC dan ± 500 meter dari Kantor Dinas Sosial DIY)
ada pengemis yang notabene adalah pendatang. Kok aneh ya, dekat Dinsos padahal. Seorang wanita dengan kulit
hitam, kusut, dan terlihat lebih tua dari usia aslinya. Mungkin berumur 30
tahunan. Namun, bukan itu yang menjadi titik dari mirisnya kisah pengemis yang
penulis temui ini. lebih jelasnya, perhatikan foto yang saya ambil di bawah
ini.
Coba amati dengan seksama. Mungkin
pembaca tak percaya apabila yang di gendong pengemis wanita itu adalah bayi
yang masih berusia dua bulanan. Namun begitulah adanya. Satu bulan terakhir
ini, hampir setiap hari menjadi jalan yang selalu penulis lewati. Sudah barang
tentu menjumpai peminta ini. Bayi yang digendong itu masih terlalu kecil melawan
panasnya terik matahari dan suhu panas dari aspal jalan raya. Hanya ditutupi
selembar kain gendongan. Meskipun penulis belum berpengalaman memprediksi usia
bayi, namun penulis yakin bayi itu tak lebih dari 5 bulan anehnya setiap lewat,
bayi itu tertidur.
Sekitar 2 minggu yang lalu penulis benar-benar penasaran, lain
kesempatan penulis mencoba lewat 4 kali, dengan selang waktu 3 jam mulai pukul
8 pagi. Anehnya pada ke empat pembuktian itu, bayi selalu tertidur. Pernah
dalam sebuah pelatihan, dari Dinas Sosial menyinggung apabila ada bayi atau
balita di ajak ngemis dan selalu
tertidur, mereka menjadi korban pembiusan. naudzubillah
min dzalik… Namun, penulis tidak sampai membuktikan kemungkinan itu. Ya
bagaimana, ternyata wanita beserta bayinya itu di tunggui oleh suaminya. Heran
bukan?? Layaknya mandor gitulah kurang lebih.
Dilain hari, penulis mengorek informasi dari warga sekitaran
perempatan. Ibu Erni pemilik laundry dekat perempatan memberikan informasi
dengan senang hati “Mas, percaya gak
percaya, bayi itu belum genap berusia 3 bulan, baru sekitar 2 bulanan lah,
rambutnya aja belum gantu mas, masih
rambut dalam kandungan,” ujarnya.
Sempat bingung maksud dari
ganti rambut, tapi di iya-kan saja waktu itu. Ngeri bukan? Yang membuat
tercengang lagi, ternyata setiap pagi mereka (wanita pengemis, bayi dan suaminya)
datang seperti orang mau bepergian, rapi dengan tas bagus lalu ganti pakaian di
sekitar perempatan.
“Suaminya itu menurut saya biadab mas, masak iya kok tega
memperlakukan istri dan anaknya seperti itu. Sebenarnya saya sama beberapa
warga sudah mengingatkan, tapi tetap saja keras kepala, ya sudah kami biarkan saja sekarang” terang Ibu Erni.
Informasi yang penulis
dapatkan ternyata benar, setiap hari saat menunggui, sang suami duduk-susuk
manis di warung klontong, sambil minum (minuman bersoda terkenal) dan merokok
sampai berbungkus-bungkus. Dari
kasus ini, banyak hal yang bisa dipetik. Pertama, kebanyakan pengemis itu hanya
malas. Padahal mereka bisa mendapat penghasilan yang lebih berkah dan
terhormat. Apapun itu pekerjaanya selagi halal, apabila dalam konteks islam. Hal
yang paling penting adalah kesadaran, kemauan dan tindakanya.
Kedua, Dinas Sosial itu bukan satu-satunya lembaga yang bisa
mengatasi PMKS khususnya pengemis. Masih banyak lembaga lain yang harus aktif
berperan serta, seperti LSM, Karang Taruna dan lain-lain. Mahasiswa dan
universitas pun juga bisa berperan serta, seperti mengadakan penyuluhan beserta
palatihan yang tentunya sangat bermafaat bagi mereka.
Ketiga, memberi itu boleh dan sangat dianjurkan. Namun, harus
sesuai pada tempatnya, dalam artian sudah banyak lembaga atau badan yang
menjadi penyalur dari pemberian para dermawan kepada yang membutuhkan. Terlepas
dari tepat atau tidaknya penyaluran dari pemberian kita, yakin saja balasan
dari-Nya kepada kita tidak akan salah sasaran.
“Tidak
ada manusia yang tidak mampu, yang ada hanya manusia yang membatasi
kemampuanya, berfikir sempit dan tidak mau mencoba” Sigit Meliyanto.
1 Comments
wah, menarik sekali ya tulisan mas sigit ini.saya juga ingin bertanya mas, apakah mas sigit sudah pernah tahu penyuluhan seperti apa yang pernah dilakukan untuk penanggulangan masalah tersebut?
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji