Arundati
Shinta
Fakultas
Psikologi
Universitas
Proklamasi 45
Yogyakarta
Foto : Elisa |
Tidak semua mainan bernilai positif. Kecelakaan
karena mainan meningkat 36% pada periode 1996-2000 (Myoungsoon, 2002). Bahaya
mainan itu terjadi karena karakteristik mainan tidak sesuai dengan kondisi
anak. Bahaya mainan ada 3 yaitu fisik, psikhis, dan sosial. Mainan yang
membahayakan fisik anak terjadi karena bentuk mainan tidak sesuai dengan umur
anak, warna dan bahan mainan berasal dari zat yang beracun. Bentuk yang
berbahaya misalnya mainan yang runcing ujungnya dan ukurannya kecil tidak tepat
untuk anak usia di bawah 3 tahun. Hal ini karena cara anak usia di bawah 3
tahun dalam mengeksplorasi lingkungan dilakukan melalui mulut. Jadi kelereng
kecil mungkin saja ditelan, dimasukkan di lubang hidung atau telinga. Bahan dan
warna mainan dapat mengandung zat kimia yang beracun. Anak terkontaminasi
mainan beracun karena anak usia di bawah 3 tahun masih senang menghisap jari.
Contoh lain yaitu pistol-pistolan yang pelurunya tajam, ternyata membuat mata
anak yang terkena tembakannya menjadi buta.
Mainan
yang membahayakan psikhis
anak terjadi karena sikap orangtua yang stereotip gender. Artinya anak-anak
dibelikan mainan yang sesuai dengan peran gendernya saja. Pembatasan mainan
berdasarkan sifat peran gender akan membatasi perkembangan potensinya anak (Sadker & Zittleman, 2005). Hal ini semacam peramalan diri yang kemudian menjadi kenyataan sehingga anak perempuan enggan belajar matematika (Jones
et al., 2000) dan laki-laki enggan untuk
membaca, perempuan memilih karir feminin (misalnya guru), sedangkan laki-laki
akan memilih karir maskulin (misalnya sopir truk) (Servin et al., 2003).
Dampak selanjutnya dari stereotip gender
yaitu laki-laki lebih dipercaya untuk menjadi pemimpin daripada perempuan,
sehingga posisi dan penghasilan laki-laki lebih baik daripada perempuan. Mainan
yang membahayakan perkembangan sosial anak yaitu game komputer yang cenderung
membuat anak asyik dengan mainannya. Sifat game komputer memang tidak
membutuhkan interaksi dengan teman lain, sehingga membuat anak cenderung kurang
gerak dan kurang terlatih berinteraksi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Jones, K., Evans, C., Byrd, R. & Campbell, K. (2000).
Gender equity training and teacher behavior. Journal of Instructional
Psychology, September. Retrieved on Feb. 16, 2007 from http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m0FCG/is_3_27/ai_66355136
Myoungsoon, K. (2002). Parent’s
perceptional behaviors regarding toys for young children’s play in Korea. Education.
Summer. Retrieved on July
15, 2006.
Sadker, D. & Zittleman, K. (2005). Gender bias lives, for
both sexes. The Education Digest, Ann
Arbor, April, 70 (8), 27.
Servin, A., Nordenström, A., Larsson, A. & Bohlin, G. (2003). Prenatal
androgens and gender-typed behavior: A study of girls with mild and severe
forms of congenital adrenal hyperplasia. Developmental Psychology, 39
(3), 440-450.
- Tulisan ini petama kali dipublikasikan di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta pada 9 September 2012.
- Semua komentar tulisan ini dialamatkan ke arundatishinta@yahoo.com
1 Comments
Intinya setiap kali anak bermain dengan mainan yang kita belikan, harus tetap kita jaga anak kita agar mainan tersebut tidak membahayakan dirinya. Semua itu kembali lagi ke para pengawasan orang tua. Apakah mereka lalai atau tidak. Mainan untuk anak tidak akan berbahaya jika mendapatkan pengawasan yang ketat dari orang tuanya.
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji