Prawajar Rahmadi
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Otonomi daerah
awalnya adalah cita-cita. Sebuah mimpi yang sekuat tenaga diwujudkan demi
pemerataan kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian. Indonesia memang seperti
sebuah kapal pesiar raksasa yang menampung ribuan orang untuk berlayar. Berbeda
seperti kapal layar biasa atau perahu penangkap ikan yang hanya membawa tiga
sampai empat orang di atasnya. Untuk berbelok pun, kapal pesiar membutuhkan
perhitungan yang matang, situasi alam yang bersahabat, dan waktu yang tidak
sebentar. Perlahan-lahan. Begitu pula dengan Indonesia, sebuah negara besar nan
luas dengan penduduk terpadat ke empat sedunia. Untuk mengeluarkan sebuah
keputusan pun tentu butuh perhitungan yang benar-benar akurat.
Pada masa orde
baru, nasib pemerintahan di daerah-daerah tergantung sepenuhnya pada pusat.
Anggaran, pelaksanaan pembangunan, hingga kemunculan peraturan-peraturan, semua
di bawah control pemerintah pusat. Kepala daerah hanya menjadi perpanjangan
tangan. Kritik pun bermunculan. Pusat dianggap terlalu dominan. Inisiatif,
keleluasaan, dan kreativitas yang sesungguhnya dimiliki daerah terpendam lalu
perlahan-lahan mati. Yang terjadi kemudian bukan kemandirian tetapi
ketergantungan Daerah terhadap pemerintah Daerah. Padahal, Pemerintah Daerah
lah yang seharusnya paling mengetahui kondisi masyarakat yang sesungguhnya.
Akibatnya, program-program, infrastruktur, serta subsidi yang diberikan sering
tidak tepat sasaran.
Pada 1998,
Orde Baru pun tumbang dan berganti dengan Masa Reformasi. Apa yang dulu
dicita-citakan tapi dikubur dalam-dalam oleh Pusat kembali menyeruak ke
permukaan. Berbagai seminar, pembahasan di lingkungan akademis, hingga
rapat-rapat di DPRD hingga DPR berkembang isu yang sama: melepas sentralisasi
Pusat yang mencengkram kuat. Spirit demokrasi harus dimunculkan secara nyata
demi pemerataan pembangunan. Dan otonomi daerah menjadi solusinya. Tahun 2004
menjadi saksi atas kemunculan undang-undang tersebut.
Berdasar
Undang-Undang No 24 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dalam Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3 disebutkantujuan otonomi daerah sebagai
berikut:
Pemerintahan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah,
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya
saing daerah.
Berdasarkan ketentuan tersebut
disebutkan adanya 3 (tiga) tujuan
otonomi daerah, yakni meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Peningkatan
kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat dipercepat perwujudannya melalui
peningkatan pelayanan di daerah dan pemberdayaan masyarakat atau adanya peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah. Sementara upaya
peningkatan daya saing diharapkan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan
keistimewaan atau kekhususan serta potensi daerah dan keanekaragaman yang
dimiliki oleh daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan disahkannya UU tersebut,
harapan kembali menyeruak. Banyak Daerah yang optimis bisa membangun kembali
masa depannya dengan lebih teratur. Potensi-potensi daerah siap dimunculkan.
Kabar baik ini tentu saja tidak menjadi akhir yang bahagia selamanya. Tetapi justru
menjadi awal dan tantangan berat bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah
yang selama ini cenderung tidak mandiri.
Keberadaan Pemilu Kepala Daerah
(Pilkada) yang langsung dipilih oleh rakyatnya sendiri menjadi jalan pertama.
Masyarakat diberi kebebasan memilih pemimpinnya yang dianggap memiliki konsep
paling matang dan figur paling diperhitungkan. Terkadang memang, pada tahap
awal, Kepala Daerah yang dipilih masih juga tak lepas dari figure-figur lama
yang kadung dikenal dan melekat meskipun tidak menunjukkan kinerja yang
signifikan dan memuaskan. Ketidaksiapan ini justru memunculkan “raja-raja
kecil” di wilayahnya masing-masing.
Demi mengembalikan cita-cita
otonomi daerah yang demikian demokrastis, isu mengenai Good Government Governance dituntut untuk diterapkan. Penerapan
prinsip-prinsip transparansi & akuntabilitas tanpa didukung oleh aparat
yang bermoral baik, pada akhirnya hanya akan berhenti di tingkat wacana saja. Permasalahan
utamanya adalah sistem yang harus terus menerus dibenahi dan SDM yang memiliki
etos kerja tinggi.
Kepala daerah antara lain harus
memiliki konsep pembangunan berkelanjutan & berkeadilan, konsep manajemen
pemerintahan yang efektif & efisien, konsep investasi yang mengakomodir
kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya. Pemerintahan
harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting
bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat.
Beberapa sistem yang harus
dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain: sistem
perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem
kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan,
sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem
pengawasan.
Citation:
Prawajar
Rahmadi. (2013). Otonomi :Cita-cita Menuju Demokrasi. Tulisan ini dipersiapkan
untuk Lomba Penulisan Otonomi Daerah, yang diselenggarakan oleh Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Isran Noor), pada Desember 2013 – Maret
2013. (Indi : 2013)
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji