Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Aku kira, kalian adalah masa depan,
Aku kira, kalian adalah harapan,
Aku sangka, tak ada lain
selain kalian,
Aku sangka, tak ada hari indah
Tanpa kalian.
Namun,
inilah kehidupan,
Tak
ada setitik pun
yang
bisa kita abadikan,
Dalam
sebuah kertas buram
Transparan..
Kasat mata..
Dan menghilang..
Termasuk pula kalian,
Wahai, Sahabatku.
Tiga
bait puisi, yang seolah-olah menjadi gambaran tentang apa yang Aku rasakan saat
ini. Kehilangan, kesepian, dan kesendirian yang Aku rasakan setelah Aku
kehilangan memori terindahku bersama dua orang sahabatku.
Masa
SMA, adalah masa-masa yang membuat Aku bisa menemukan arti sebuah persahabatan.
Aku mempunyai dua orang sahabat. Bersama mereka, hidupkan seakan-akan selalu
berwarna. Menjadi hidup. Yah, menjadi sangat hidup. Kemana pun, dalam kegiatan
apapun, kami sering melakukan dengan kebersamaan. Tak hanya teman-teman di
sekolah kami, tapi orang tua kami pun juga mengetahui betapa eratnya hubungan
persahabatan kami. AKu merasa, persahabatan ini tak akan hilang hingga kami
sudah dewasa nanti, hingga menikah, menjadi orang tua, menjadi kakek nenek,
atau bahkan hingga kita tidak bisa lagi berada di dunia yang indah ini.
Namun,
suatu ketika, setelah kami lulus dari SMA, sesuatu yang tak pernah AKu duga,
akhirnya pun terjadi. Aku dan dua orang sahabatku, ternyata harus berpisah dan
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda. Sejak itu, Aku pun
khawatir. Bisakah Aku dan kedua sahabatku itu tetap menjaga eratnya
persahabatan ini.
Bulan
pertama kami berpisah, semua masih aman-aman saja. Kedua sahabatku tetap selalu
member kabar tentang keadaannya. Komunikasi di antara kami masih tetap terjaga.
Namun, memasuki bulan kedua, ketiga, dan seterusnya,semua pun berubah. Mereka
sudah mulai menjauh. Jarang sekali mereka memberi kabar tentang keadaan mereka
kepadaku. Sms dan telponku pun sudah hampir tak pernah direspon oleh mereka.
Lama semakin lama, hubungan diantara kami pun meregang, bahkan sudah hampir tak
ada komunikasi. Aku pun menyerah. Aku sudah lelah terlalu berharap terhadap
mereka. Yah, Aku mengerti. Mereka sudah memiliki dunia baru. Dunia yang mungkin
lebih baik dari dunia persahabatan kami yang dulu.
Aku
sadar, ternyata Aku salah. Dulu Aku mengira, hubungan persahabatan kami akan
tetap utuh hingga kami tak bisa lagi berada di dunia ini. Namun, semua itu memang salah. Yah, benar-benar salah.
Sekarang, Aku pun menyadari bahwa sesungguhnya tak ada yang abadi di dunia ini.
Keabadian hanyalah milik Sang Pencipta, sedangkan sahabat itu hanyalah
angan-angan sementara dalam imajenasi kertas buram yang transparan. Kadang
jelas, kadang pula kurang jelas, atau bahkan tidak jelas sama sekali.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji