Elisa
(Irukawa Elisa)
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Alika
Putrinisa berlari terenggah-enggah. Anak tangga didaki. Bajunya berkelabetan karena
angin. “Masih dua lantai lagi,” bisiknya sambil berlari kecil. Ia mengejar
waktu, kelas sebentar lagi dimulai. Alika, itulah sapaan akrabnya. Salah satu
Mahasiswa jurusan MIPA yang belum lama belajar di Universitas Gadjah Mada,
sekarang ia semester dua. Dia sosok perempuan yang enerjik, ceria dan biang
kerok di kampus. Pakaiannya terlihat seperti laki-laki, namun siapa yang tahu
hati seseorang, hatinya tetaplah seorang perempuan.
Terlihat
anak-anak memasuki kelas, Alika belum juga menampakkan batang hidungnya. Kelas
telah dimulai. Semua mahasiswa menyimak pak Margono. “Alika belum datang pasti
kesiangan lagi, tugasnya jangan-jangan belum dikerjakan,” bisik Rima kepada
Febri. BRAK!! Spidol melayang ke arah mereka berdua “Jika mau diskusi sendiri,
keluar saja dari ruangan ini!” Teriak Pak Margono menyeramkan. Mereka berdua
terdiam dan kembali memperhatikan pelajaran. Sebelum akhirnya Alika masuk
dengan teregopoh-gopoh ke kelas besar.
Semua
mata tertuju pada gadis bergaya rambut segi pendek, dengan pakaian yang
terlihat berandalan. “Kenapa kamu masuk?!” Teriak Pak Margono. “Maaf Pak,
kesiangan dan tadi kehabisan bensin,” Jawabnya sekenanya. “Sana duduk, nanti
hukumannya bapak tambah!”. Alika duduk tidak jauh dari kedua sahabatnya.
***
Jam
pagi telah usai, seperti biasa, mereka bertiga Rima, Febri dan Alika menuju ke
kantin. “Eh, nanti ada konser, dateng yuk?” ajak Rima yang gila dengan musik
Jazz. “Tiket sesuai dengan dompet kita kan?” tanya Febri, ia salah satu
laki-laki yang tetap memiliki percaya diri bergaul dengan sekelompok perempuan.
“Okelah, aku ngikut kalian saja,” sahut Alika.
***
“Wa,
ayo foto bareng dengan pemainnya,” geger Rima
“Lumayan
tuh buat bukti kalo tidak hoax ketemu artis setenar mereka,” Febri menambahkan.
Mereka berdua berlari bak anak kecil berebut permen. Alika yang selalu tidak
peduli dengan hal remeh temeh terpaksa mengikuti mereka. Jalannya pelan dan
terkesan tak berminat. Memang, sejak awal Alika tidak suka dengan musik Jazz.
“Ka!
Fotoin kita dong!” teriak Rima. Febri berlari mendekati Alika yang masih
tertinggal di belakang mereka, Febri menyodorkan sebuah kamera miliknya. Alika
menerimanya dan mulai jeprat jepret mengambil gambar.
Berjalanlah
seorang pemuda bertubuh semampai, menggunakan kacamata. Dari balik panggung
berjalan mendekati Febri, tak lama kemudian menepuk pundaknya “Hai! Bro! kamu
dimana saja sekarang? Kamu Febriprawiro Gunawan kan?” sapa sosok lelaki yang
diketahui ternyata teman lama Febri. Putra Pratama, itulah nama panjangnya. Dia
merupakan sahabat karib Febri saat masih duduk di bangku SMP dulu di Bandung.
***
Berjalan
diantara pepohonan trembesi. Musim kemarau membuat dedaunan berguguran. Alika
meninggalkan rumah, kali ini tidak lagi bersama kedua sahabatnya. Ia pergi
sendiri ke Hotel Santika dalam rangka Launching buku kelima salah satu
temannya. Sutarto itulah namanya, atau biasa disapa dengan Mas Tarto. Alika
kenal sangat baik dengannya, dia sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri. Bus
Transjogja telah membawanya pergi. Shalther Gedongkuning semakin jauh hingga
tak terlihat.
“Jadi
penjualan buku murni akan disumbangkan seluruhnya ke anak-anak yatim. Jadi buku
ini proyek santunan untuk anak-anak Yatim,” Jawabnya ketika ada salah satu
orang menanyakan pendapatan Royalti. Alika terpukau dengan penBampilan Mas Tarto
saat itu. Sosok kakak angkat yang selama ini telah menghidupinya dan
mengkuliahkannya hingga Perguruan Tinggi dengan Prestasi yang tidak terlalu
buruk. Selanjutnya~
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji