KEIKHLASAN MENUNTUN
REJEKI YANG BERLIMPAH
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45
Yogyakarta
Gelar S2 dari universitas ternama di Australia serta latar belakang keluarga
terpandang, tidak menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan dengan mudah.
Setelah berburu hingga lima tahun, akhirnya datang juga
pekerjaan yang saya idamkan yaitu menjadi dosen. Jangan salah sangka, pekerjaan
tersebut bisa datang karena ada koneksi orangtua bukan karena kemampuan murni
saya. Saya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kemampuan saya masih belum
cukup untuk menembus ketatnya persaingan kerja. Ironinya adalah jurusan S2 yang
sudah saya tempuh adalah ketenagakerjaan dan sumber daya manusia. Sungguh saya
merasa terpukul menghadapi kenyataan ini.
Setelah mendapat pekerjaan sebagai dosen, ternyata persoalan
belum selesai. Universitas yang bersedia menerima saya karena koneksi
orangtua itu ternyata sebuah lembaga mungil yang kurang bergengsi. Agaknya
universitas itu sering mendapat ejekan karena dosen-dosennya kurang terkenal. Dampaknya
jelas yaitu saya merasa inferior di kalangan teman-teman satu angkatan di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sambil menahan rasa malu, saya tetap
menjalankan tugas-tugas sebagai dosen dengan baik.
Satu tahun bekerja sebagai masa
percobaan adalah masa-masa yang tidak nyaman. Saya masih belum ikhlas bekerja
di universitas mungil tersebut, sehingga puluhan surat lamaran pekerjaan masih
saya kirim ke berbagai lembaga pendidikan. Hasil perburuan adalah nol besar. Akhirnya
saya menyerah dan mulai berkonsentrasi melakukan tugas tri dharma perguruan
tinggi. Oleh karena trauma pada masa-masa pengangguran, maka saya berusaha
sangat keras agar kualitas tugas tri dharma perguruan tinggi menjadi unggul.
Strategi yang saya lakukan adalah menulis di media massa seminggu sekali, menjadi
relawan konselor di radio swasta, dan menyusun materi pelajaran berdasarkan standar
di Australia. Oleh karena teman-teman di universitas mungil itu kurang terkenal,
maka upaya saya tersebut menjadi bahan tertawaan. Lengkap sudah penderitaan
saya, di luar dan di dalam universitas saya menjadi seperti makhluk alien. Saya menderita keterasingan di
lingkungan yang ramai.
Tujuh tahun setelah mengabdi tepatnya adalah Agustus 2002,
saya menjadi wakil universitas mungil itu untuk maju dalam kompetisi dosen
teladan. Hasilnya sungguh tidak terduga, saya menjadi juara ketiga dosen
teladan se-Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengalaman yang tidak terlupakan adalah, saya mampu
mengalahkan hampir semua utusan dari universitas lain yang ternama dan mereka
semua dulu telah menolak lamaran saya. Perasaan saya adalah bahwa dendam telah
terbalaskan.
Mendapatkan gelar dosen teladan adalah bukan kebetulan, pasti
ada misi Tuhan di balik semua peristiwa yang saya alami. Misi itu adalah saya
harus meneruskan kebaikan yang saya terima kepada lingkungan sosial. Saya mulai
menjalankan berbagai kerja sosial yaitu sebagai relawan pada berbagai taman
kanak-kanak dan relawan konselor radio. Setiap hari saya selalu sibuk, sehingga
banyak teman yang memberi predikat kecanduan kerja (workaholic).
Semakin banyak memberi dengan ikhlas semakin banyak
mendapatkan. Pepatah itu telah menuntun saya pada rejeki berikutnya yang luar
biasa yaitu saya berhasil menempuh studi lanjut S3 di UGM dengan bea siswa dari
pemerintah. Pada saat menyusun disertasi, saya juga tidak tinggal diam melihat
teman-teman sesama mahasiswa S3 yang terlantar. Empat teman S3 telah saya
tampung dengan gratis di rumah saya. Tidak hanya fasilitas rumah, saya juga
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk menyusun disertasi mereka.
Kini setelah lulus S3, saya merasa bahwa universitas kecil
mungil yang selama ini menampung saya ternyata telah berjasa besar yaitu
mendidik saya untuk mampu ikhlas dalam berkarya. Sungguh tidak mudah untuk mampu
berperilaku ikhlas, karena saya membutuhkan waktu selama lebih dari 10 tahun. Tuhan
sangat bermurah hati. Semakin saya ikhlas bekerja dengan cara membangun universitas
mungil ini, semakin rejeki berdatangan. Konsep ikhlas itu, anehnya,
ditertawakan oleh teman-teman satu universitas. Kembali saya menjadi makhluk
alien di lingkungan sosial saya. Menghadapi segala keanehan itu, saya
disadarkan untuk tetap ikhlas dalam bekerja karena pasti ada sesuatu ‘hadiah’
dari Nya untuk saya.
Suggested citation:
Shinta, A. (2013). Keikhlasan
menuntun rejeki yang berlimpah. Materi
Lomba Menulis. Penyelenggara Inspirasi.co, tema ”Berbagi inspirasi”, 10
Desember 2013. Retried on June 4, 2014 from:
http://inspirasi.co/forum/post/943/keikhlasan_menuntun_rejeki_yang_berlimpah
1 Comments
tulisannya sangat bagus dan menginspirasi ibu.
ReplyDeleteMemang HIDUP manusia bisa diibaratkan sebatang rokok. Api rokok adalah semangat yang membutuhkan waktu untuk membakar batang rokok. Abu rokok adalah kegagalan yang jatuh ke bawah dalam upaya mengeluarkan asap rokok yang membumbung tinggi ibarat sebuah cita-cita. Begitulah manusia hidup, butuh waktu, punya semangat, dan kadangkala mengalami kegagalan dalam menggapai cita-citanya. Tidak ada kesuksesan hidup yang digapai secara instan.
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji