Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

KEPERCAYAAN DIRI vs KECANTIKAN FISIK: MANA YANG HARUS DIPERJUANGKAN LEBIH DAHULU?


KEGIATAN LITERASI PSIKOLOGI

 Herlinda Desi dan Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Source of picture: Thorpe (2010)
Kepercayaan diri adalah keyakinan bahwa diri ini mampu dalam mengerjakan sesuatu hal. Beberapa pengertian tentang kepercayaan diri (dalam Deni & Ifdil, 2016) menyebutkan bahwa kepercayaan diri juga berhubungan dengan keyakinan untuk tampil apa adanya. Kepercayaan diri ini penting ketika seseorang harus tampil di depan orang banyak. Keyakinan semacam ini sangat tidak mudah diperoleh dan proses mendapatkannya membutuhkan waktu yang lama. Hal ini karena keyakinan diri tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman seseorang. Orang yang bisa menarik hikmah dari setiap pengalamannya, maka rasa percaya dirinya akan semakin tebal. Hal yang sebaliknya, bila seseorang tidak mampu menghayati pengalaman pahitnya maka rasa percaya dirinya tidak menjadi lebih tebal.


Persoalan yang berhubungan dengan kepercayaan diri adalah remaja perempuan terlalu membebani pikiran dalam bidang penampilan fisik. Penampilan fisik yang tidak prima misalnya munculnya jerawat di muka akan membuat remaja tersebut selalu menundukkan kepalanya ketika ia berinteraksi dengan orang lain. Contoh lain yang juga lazim adalah tentang berat badan. Remaja perempuan sangat takut bila berat badannya naik. Dampaknya ia menjadi semacam phobia bila melihat timbangan badan. Untuk mengurangi berat badannya, maka remaja tersebut mengurangi jumlah makanan yang seharusnya dikonsumsi setiap hari. Bahkan dengan sengaja remaja tersebut melewatkan makan pagi.

Mengapa remaja perempuan terlalu memikirkan penampilan fisiknya? Ada dua  faktor yang menjadi latar belakangnya. Faktor pertama adalah adanya citra tentang perempuan sempurna yang diciptakan oleh media massa. Menurut media massa, penampilan sempurna seorang perempuan adalah ia harus berkulit putih, badannya tinggi dan langsing, hidungnya mancung, pipinya tirus, matanya lebar, alis tebal, bibir dan pipinya merah merona, rambutnya lurus, giginya rapi seperti biji mentimun, bulu mata lentik, cara berjalan yang gemulai, dan anggota tubuhnya lengkap (tidak cacat). Dampaknya adalah remaja perempuan berlomba-lomba datang ke salon atau melakukan diet ketat. Dampak beruntunnya lagi adalah remaja perempuan menderita anemia (kekurangan darah). Situasi seperti ini tentu saja sanagt berbahaya karena remaja perempuan tersebut bila akan menikah dan melahirkan, maka ia rentan mati.

Faktor kedua remaja perempuan jauh lebih mementingkan kerupawanan fisik daripada remaja laki-laki adalah karena budaya (Romo, Mireles-Rios & Hurtado, 2015). Berbeda budaya, maka berbeda pula standar kecantikannya. Pada budaya patriakat, anak perempuan dituntut untuk tampil cantik, sedangkan laki-laki dituntut untuk berperilaku jantan dan kasar (Kompas, 28 Juni 2011). Di negara-negara Eropa, standar kecantikan perempuan adalah seperti boneka Barbie. Di negara-negara Afrika, perempuan disebut cantik bila badannya berisi. Hal ini karena masyarakat memandang perempuan seperti boneka Barbie adalah perempuan yang kekurangan makan. Situasi ini dapat dipahami karena masyarakat Afrika memang banyak yang kekurangan makan. Di negara-negara Barat, sebaliknya, orang yang gemuk menandakan ia tidak memperhatikan kesehatannya. Di Birma / Myanmar, perempuan yang cantik adalah yang berleher jenjang sehingga harus diberi penyangga leher. Semakin panjang penyangga lehernya, maka ia semakin cantik. Perempuan di Borneo / Kalimantan dikategorikan cantik bila telinganya panjang.

Apa yang perlu dilakukan oleh remaja perempuan yang fisiknya tidak sesuai dengan standar kecantikan tersebut? Ada satu hal penting yang perlu diperhatikan bahwa kecantikan fisik tanpa diimbangi dengan kepandaian serta kebijaksanaan, maka kehidupan seseorang menjadi kurang bermakna. Artinya, seseorang yang terlalu mendewakan kecantikan fisik tanpa mempedulikan kecantikan psikhis dan spiritual (inner beauty), maka hidupnya akan kurang bermakna. Oleh karena itu, perempuan yang fisiknya tidak sesuai dengan standar kecantikan, hendaknya tidak putus asa. Masih ada dua hal yang bisa diperjuangkan yakni kepandaian dan kebijaksanaan. Pada masa sekarang ini, bahkan kebijaksanaan justru mendapat nilai paling tinggi, dibanding dengan kerupawanan tubuh serta kepandaian.

Jadi, para remaja putri hendaknya tidak perlu risau dengan penampilan dirinya. Kemampuan untuk menerima diri apa adanya akan memperkuat rasa percaya dirinya. Faktor utama pendongkrak rasa percaya diri adalah bukan pada kerupawanan fisik, namun pada kebijaksanaan. Meskipun demikian, kerupawanan fisik ikut berkontribusi dalam memelihara rasa percaya diri seseorang. 


Tulisan ini adalah laporan kegiatan literasi psikologi di kelas Psikologi Sosial 1 Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, pada Maret 2020. Literasi psikologi adalah kegiatan untuk memahami situasi sosial di sekeliling. Pemahaman ini merupakan dasar bagi terbentuknya respon-respon positif dan mengantisipasi respon negatif. Literasi psikologi sangat berguna untuk menuntun mahasiswa dan dosen untuk berperilaku positif. Oleh karena itu, kegiatan ini harus sering diadakan, meskipun tidak membutuhkan waktu yang panjang. Pelaksanaan kegiatan adalah pada setiap awal perkuliahan. Tingginya frekuensi kegiatan akan membiasakan mahasiswa dan dosen untuk selalu berpikir positif pada setiap situasi sosial yang dihadapinya sehari-hari.
 


Daftar Pustaka

Deni, A.U. & Ifdil (2016). Konsep kepercayaan diri remaja putri. Jurnal EDUCATO. 2(2), 43-52. Indonesian Institute for Counseling, Education and Therapy (IICET).
Kompas (28 Juni 2011). Kilasan kawat sedunia: Stockholm. Hal. 11.
Romo, L.F., Mireles-Rios, R. & Hurtado (2015). Cultural, media and peer influences on body beauty perceptions of Mexican American adolescent girls. Journal of Adolescent Research. 31(4), 1-28. July.



Post a Comment

0 Comments