Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MAKNA SIMBOLIK DI BALIK KEHADIRAN SEBUAH EBANG


Godelfridus Maria Beni Labi
Warga Kedang, tinggal dan bekerja di Lewoleba

As an organic unit, the structure, significance, and function of the home is dictated by the same fundamental principles of belief that rule the village (Covarrubias, 1937: 88).
Tepat di depan Rumah Jabatan Bupati Lembata berdirilah sebuah bangunan khas yang berasal dari etnis Kedang yang disebut sebagai ebang. Bangunan ini dibuat sendiri oleh warga etnis Kedang dan kemudian diserahkan kepada Pemkab Lembata. Ini merupakan untuk pertama kalinya warga Lembata mulai memperkenalkan kepada publik salah satu model bangunan khas daerah setempat. Bangunan bernama ebang ini letaknya pun cukup strategis, yakni menghadap ke arah jalan utama Kota Lewoleba yakni jalan Trans Lembata sehingga setiap orang yang melintasi jalan utama itu akan dengan mudah mengalihkan pandangannya ke arah letak bangunan itu. Apa makna kehadiran sebuah bangunan khas etnis Kedang ini yang letaknya pun begitu strategis ?
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ebang merupakan salah satu bangunan khas yang dimiliki etnis Kedang, sebuah etnis dengan jumlah penduduk terbesar di Kabupaten Lembata. Pada umumnya etnis Kedang mengenal adanya dua model bangunan; pertama adalah wetaq atau huna yang berarti rumah, merupakan tempat hunian (dwelling). Selain itu dikenal pula istilah rongoq, yang lebih mempertegas arti rumah yang berfungsi sebagai tempat hunian. Akan tetapi istilah terakhir ini kurang lagi dipakai, selain karena berkonotasi dengan kepapaan pemiliknya, istilah ini lebih diarahkan kepada tempat hunian untuk babi (wawi rongoq) atau tikus (tiu rongoq).
Model bangunan yang kedua adalah ebang yang berfungsi sebagai lumbung (granary). Akan tetapi dalam perkembangannya ebang bukan lagi berfungsi sebagai lumbung semata, namun lebih dari itu, ebang kemudian terutama berfungsi sebagai balai pertemuan adat di samping kadang-kadang dipakai juga sebagai tempat tinggal dan juga tempat rekreasi. Karena mengalami perluasan fungsi yang signifikan inilah maka bagi etnis Kedang yang berdiam di bagian Utara, yang menghadap ke arah Laut Flores, lebih mengenalnya sebagai wetaq rian yang dapat diterjemahkan sebagai ‘rumah besar’ atau ‘rumah agung’ (the great house). Sedangkan penduduk etnis Kedang yang bermukim di bagian Selatan yang menghadap ke arah Laut Sawu, meski menyadari terjadinya perluasan fungsi yang signifikan, tetap mempertahankan istilah ebang untuk bangunan tersebut hingga saat ini (Barnes, 1974: 65).
Kata ebang sendiri merupakan sebuah kata yang homonim. Salah satu artinya adalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas yakni rumah yang berfungsi sebagai lumbung atau balai pertemuan. Arti lain dari ebang adalah empedal unggas. Tampak di sini, kedua arti kata ebang baik lumbung maupun empedal tidak memiliki ketersinggungan sedikit pun dari sisi arti. Akan tetapi, Barnes (ibid: 66), menganalogikan kedua kata tersebut, yakni bahwa lumbung dan empedal sama-sama sebagai tempat penggilingan. Hal ini dapat dimengerti mengingat penduduk etnis Kedang pada waktu dulu biasanya menggiling jagung atau jewawut mereka di ebang dengan menggunakan penggiling tradisional dari batu (mehar waq). Sementara empedal dalam sistem pencernaan pada unggas berfungsi sebagai tempat penggilingan makanan yang telah dicerna sebelum disalurkan ke usus untuk kemudian diteruskan ke seluruh tubuh atau ke kloaka.
Dalam kaitan analogi ebang sebagai tempat penggilingan ini sebenarnya tersirat makna bahwa ebang merupakan sebuah tempat berkumpulnya orang-orang yang berperan sebagai pengambil keputusan untuk menggodok suatu kebijakan yang bermanfaat untuk kepentingan orang banyak. Di tempat ini, semua hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dikaji untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sering terjadi perdebatan yang alot bahkan ketegangan antarpeserta pertemuan yang mendahului proses pengambilan sebuah keputusan, berlangsung di tempat ini.
Konstruksi bangunan ebang memang cukup sederhana jika dibandingkan dengan konstruksi bangunan modern. Akan tetapi proses dan tata cara pembuatannya memang cukup rumit dan memakan waktu. Ada aturan main berkenaan dengan proses membangun sebuah ebang, mulai dari pemilihan material bangunan sampai pada bagaimana mengatapi bangunan tersebut. Pada desa-desa tertentu, sebelum proses pembangunan dilaksanakan, diadakan ritual khusus sebagai pembuka. Namun pada sebagian orang, hal yang demikian ini sudah mulai ditinggalkan. Akan tetapi pada tahapan tertentu terdapat acara ritual yang wajib dijalankan. Hal ini mengingat bahwa fungsi ebang juga merupakan balai pertemuan adat sehingga ritual tersebut pada intinya memohon kepada leluhur agar segala aktivitas yang berlangsung di ebang ini bisa berjalan dengan baik dan lancar.
Mengenai lumbung itu sendiri, hendaklah diingat bahwa kehidupan manusia pada mulanya tidak terlepas dari lumbungnya. Peran lumbung bagi manusia sesungguhnya sebagai tempat menyimpan dan menyalurkan bahan makanan. Setelah memanen hasil ladangnya, petani menyimpannya di dalam lumbungnya untuk beberapa waktu lamanya sebelum dikeluarkan untuk dikonsumsi. Ketersediaan bahan makanan yang ada dalam lumbung merupakan indikator kemakmuran bagi pemiliknya. Dari ketersediaan bahan makanan yang ada dalam lumbung dapat diperkirakan kondisi  ekonomi pada sebuah periode waktu tertentu, apakah mengalami kemakmuran atau sebaliknya, paceklik, sehingga pemiliknya bisa mengambil langkah antisipatif agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya mengapa hingga sekarang ini, di beberapa desa di wilayah Kedang teristimewa warga yang bermukim di bagian Selatan, mereka belum merasa nyaman kalau tidak memiliki ebang walaupun sudah memiliki rumah permanen.
Dengan demikian maka makna kehadiran sebuah ebang yang dalam hal ini lebih berarti sebagai rumah agung, secara simbolik memang cukuplah berarti. Fungsi ebang yang demikian luas dan sarat makna ini yang kemudian diserahkan oleh tetua adat Kedang kepada lembaga pemerintah merupakan sebuah bentuk penghargaan sekaligus dukungan terhadap pemerintah sebagai pengelola ‘ebang’ dalam arti yang lebih luas yakni daerah atau wilayah. Pemerintah diharapkan mampu mengelola daerah atau wilayah yang menjadi tanggung jawabnya demi kesejahteraan penduduk yang menghuni daerah atau wilayah telah tersebut.

Untuk itu maka Pemerintah Kabupaten Lembata ketika menerima dengan senang hati penyerahan ebang oleh para tua-tua adat etnis Kedang, perlulah memperhatikan makna simbolik yang terkandung di balik itu. Hendaklah hal itu tidak semata-mata dianggap sebagai bentuk dukungan penuh dari masyarakat terhadap pucuk pimpinan yang tengah berkuasa saat ini, tetapi lebih daripada itu,  makna filosofis yang melandasi pendirian sebuah ebang serta fungsi yang terkandung olehnya merupakan hal yang patut diperhatikan. Karena, sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa proses dan tata cara pendirian sebuah bangunan bernama ebang memerlukan perhatian yang serius, maka hal ini menjadi perhatian pula bagi para pengelola ‘ebang’ dalam arti yang lebih luas yakni sebuah daerah atau wilayah. Spirit yang menyertai pendirian sebuah ebang, yakni bahwa ebang nantinya bisa memberikan perlindungan yang aman dan menjadi hunian yang nyaman bagi segenap penghuninya, kiranya bisa dijadikan sebagi spririt bagaimana mengelola sebuah daerah atau wilayah agar bisa memberikan rasa aman dan nyaman bagi penduduk yang menghuni daerah atau wilayah tersebut, tanpa memandang suku, asal usul, ras, dan agama mereka.  

Post a Comment

0 Comments