Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PEMBERANTASAN KORUPSI VERSUS HIPOKRISI


Godelfridus Maria Beni Labi
Warga Kedang, tinggal dan bekerja di Lewoleba

“Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah hipokritis alias munafik. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama.....................” (Mochtar Lubis, 2001 hal. 18).
Editorial Flores Pos, Rabu, 1 Agustus 2012 menurunkan tulisan berjudul Memerangi Korupsi. Sebuah tulisan yang termuat dalam editorial sesungguhnya mencerminkan sikap media yang bersangkutan terhadap sebuah persoalan yang sedang berlangsung. Flores Pos tentunya memandang bahwa isu korupsi masih perlu dibicarakan meskipun banyak kalangan yang merasa bosan akan hal itu karena telah dibahas berulang-ulang di berbagai tempat dan kesempatan. Terlebih lagi bagi mereka yang terlibat korupsi, hal ini tentunya menjadi tabu untuk dibicarakan.
Penulis sebenarnya tidak mau ikut-ikutan membahas persoalan korupsi ini karena telah diulas dengan begitu baik dalam editorial Flores Pos. Akan tetapi, dalam  pada itu penulis melihat hal lain terkait sikap manusia Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi ini. Sikap manusia Indonesia dalam memandang masalah korupsi ini, dalam beberapa kasus, menurut penulis tampak unik dan bahkan tidak masuk akal.
Dalam pidato kenegaraan di hadapan MPR menjelang perayaan HUT Ke-25 RI, 16 Agustus 1970, Presiden Soeharto secara terbuka menyatakan perang melawan korupsi. ‘Bapak Pembangunan’ itu mendeklarasikan diri sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. “Jangan ragu, saya akan memimpin langsung perang melawan korupsi”, ujar Soeharto ketika itu (Smith, dalam Ahmad Khoirul Umam, 2011 hal. 6). Namun, seiring perjalanan waktu, korupsi justeru menjalar kemana-mana, memasuki sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Dan lebih unik lagi, tidak seperti para pemimpin negara yang korup dan tiran seperti Hosni Mubarak (Mesir), Saddam Husein (Irak), Mohammar Kadaffi (Libya), dan masih banyak lagi, yang mengalami kematian secara tragis di ujung masa kepemimpinannya, Soeharto malah meninggal dengan tenang dan kemudian oleh sebagian kalangan diperjuangkan sebisa-bisanya untuk menjadi Pahlawan Nasional.
            Setelah kejatuhan Soeharto bangsa ini memasuki era reformasi. Isu pemberantasan korupsi menjadi komoditas politik yang selalu diusung ke mana-mana oleh partai politik ketika menjelang pemilu. Sebut saja Partai Demokrat pada pemilu periode lalu. Pada waktu itu Angelina Sondak dkk. gencar menyerukan ‘katakan tidak pada korupsi’. Akan tetapi justeru yang terjadi kemudian, si tukang kampanye anti korupsi yang cantik jelita ini dan beberapa lagi koleganya malah terjebak kasus korupsi.     
            Lantas, bagaimana dengan masalah korupsi di NTT khususnya, sebagaimana yang disinggung dalam alinea kedua editorial itu?     Dalam alinea itu dikatakan bahwa korupsi di Provinsi NTT telah menjadi keprihatinan publik. Setiap kabupaten memiliki indeks korupsi masing-masing dan korupsi telah menjadi sebuah gaya hidup yang wajar. Jika benar demikian maka ini adalah petaka bagi sebuah provinsi yang sering dipelesetkan namanya sebagai ‘nasib tidak tentu’ (NTT). Sudah tahu nasib tidak tentu tapi masih saja ada kalangan yang bergaya hidup hedonis yang menerapkan semboyan carpe diem secara ekstrem. Sebuah cerminan dari sikap tidak tahu diri yang mendalam.
Masih terkait dengan masalah korupsi di NTT. Pada akhir tahun 2011 lalu diadakan Rapat Kerja para gubernur se-Indonesia. Dalam Rapat Kerja yang bertemakan “Peningkatan Peran Gubernur Dalam Meningkatkan Agenda Pembangunan Nasional” itu, seluruh gubernur menandatangani Pakta Integritas Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi sebagai bentuk dari pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (INFO OTDA, Edisi 4, Maret – April 2012 hal. 1). Namun hingga hari ini, di NTT, tidak terdengar sedikit pun tanda-tanda akan adanya sebuah gebrakan baru dalam hal pemberantasan korupsi dari gubernur sebagai implementasi dari penandatangan pakta tersebut. Apakah karena momentum saat ini belum tepat dan karena itu harus menunggu sampai saat dimulainya kampanye pemilu legislatif yang kemudian disusul dengan kampanye pilgub?
            Di negara-negara lain, sebuah pernyataan antikorupsi dimaknai secara tunggal. Apa yang dikatakan tentang pemberantasan korupsi, itu pulalah yang diimplementasikan. Singapura di bawah Lee Kuan Yew gencar mengampanyekan pemberantasan korupsi, dan Lee Kuan Yew merupakan figur kunci di balik ceritera sukses Singapura dalam pemberantasan korupsi. Cina di bawah Deng Xiaoping lebih lain lagi. Mantan pemimpin Negeri Tirai Bambu ini di masa kepemimpinannya malah menyediakan 100 peti mayat khusus untuk koruptor kelas kakap. Hasilnya jelas, negara komunis ini berhasil mereduksi tingkat korupsi, menata kembali perekonomiannya, dan kemudian menjadi kekuatan ekonomi baru. Lantas, kita di Indonesia, khususnya di NTT, harus di bawah siapa dulu ?   
            Indonesia memang unik (untuk tidak mengatakan ‘aneh’). Sebuah pernyataan  tentang pemberantasan korupsi rupanya harus dimaknai secara terbalik. Memberantas korupsi berarti harus melakukan korupsi. Mengampanyekan program antikorupsi berarti suatu ketika secara beramai-ramai melakukan korupsi. Setali tiga uang, ‘memimpin langsung pemberantasan korupsi’ berarti memimpin langsung korupsi sampai korupsi berhasil terinstitusionalisasi secara sistemik dan mengakar, ‘katakan tidak pada korupsi’ berarti ‘nanti kita akan korupsi’. Demikian pula halnya, tindakan menandatangani Pakta Integritas Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi adalah menyimpan atau mendiamkan agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk sebuah jangka waktu yang tak diketahui.
            Kekuatiran kita adalah jangan sampai karena sikap munafik ini lantas masyarakat kita menjadi bosan dan menganggap masalah korupsi adalah hal yang biasa. Karena secara psikologis, sebuah kesan atau informasi yang muncul secara terus-menerus meski menarik, bagaimanapun juga pada suatu titik tertentu akan membuat orang merasa jenuh dan menganggapnya sebagai hal yang wajar.  Orang kemudian menjadi apatis, tidak menggubris lagi kesan atau informasi yang diperolehnya secara terus-menerus tadi karena sudah terbiasa. Maka dapatlah dibayangkan bagaimana jadinya kalau sampai masyarakat pun akhirnya menjadi apatis terhadap persoalan korupsi yang sangat merugikan ini. Bagaimana jadinya kalau kontrol masyarakat terhadap pemberantasan korupsi ini menjadi hilang dan kembali bergantung sepenuhnya kepada profesionalitas para penegak hukum yang selama ini diragukan.
             Sudah selayaknya jika para pejabat/politisi perlu mengukur diri terdahulu saat mengumbar janji soal pemberantasan korupsi. Cukuplah para pejabat/politisi itu secara diam-diam mendukung setiap langkah kebijakan dalam hal pemberantasan korupsi tanpa harus berkoar-koar terlebih dahulu. Karena ketika pejabat/politisi membicarakan hal pemberantasan korupsi, hal yang muncul dalam memori masyarakat adalah kemunafikan. Meskipun masyarat Indonesia dikatakan memiliki memori sosial yang terbilang pendek tetapi jika diulangi terus-menerus maka rasa sakit hati akan muncul kembali. Tidak pernah muncul di negeri ini seorang pemimpin yang memiliki kemauan politik yang kuat dalam pemberantasan korupsi setara Lee Kuan Yew atau Deng Xiaoping. Untuk itu, daripada menambah sakit hati rakyat maka layaklah jika para pejabat/politisi mengunci mulutnya untuk tidak membicarakan lagi hal pemberantasan korupsi tetapi dengan diam-diam menjadikan dirinya sebagai teladan sikap antikorupsi.

BACAAN ACUAN
Mochtar Lubis, 2001, Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban), Jakarta: Yayasan Obor Indonesi.

Ahmad Khoirul Umam, Neo-Soeharto dan Politisasi Lembaga, Dalam Kompas, Senin, 25 Juli 2011.

Post a Comment

0 Comments