Foto : Elisa |
Suatu
hari, bertemu seorang bocah jenius (J) dan bocah dungu (D). Mereka tengah asik
bermain "pasar-pasaran". Si J melontarkan pertanyaan kepada si D,
"Eh...
5+2 berapa?"
Bocah D
garuk-garuk, "hem... 52?"
"Eh..
Dungu, kamu memang dungu. Ya bukanlah!.yang benar itu 7!"
Si D hanya
manggut-manggut sambil tersenyum,
"Lagi
ya?" tanya Jinius sok pintar
D hanya
manggut-mangut lagi
"Oke!.
Sekarang kalo 1+1 berapa?"
"Aha!!!.
Pasti jawabnya 2 kan. Kali ini jawabanku pasti benar!". Jawab Dungu
semangat
"bodoh!,
bukan!. yang benar itu 11".
"#%&@!??????#@!&*^?????......".
bocah D semakin garuk-garuk kepala.
Tak mau
kalah, bocah Dungu ini melontar sebuah pertanyaan kepada bocah J,
"Oke,
sekarang aku yang akan memberimu sebuah pertanyaan. 11+4 berapa?"
bocah jenius dengan cepat menjawab lantang dan PD, "Pastinya 15 kan".
bocah jenius dengan cepat menjawab lantang dan PD, "Pastinya 15 kan".
"Bukan!!!!.
tapi jawaban yang benar adalah Jam 3 sore!". jawab Dungu.
bocah Jinius
tidak terima dengan kesalahan. Ia merasa pandai dan benar, tidak ingin merasa
harga dirinya dijatuhkan
Dari
percakapan ini menggambarkan diri kita dalam menghadapi suatu masalah. Terkadang
kita sering sekali merasa marah, kecewa, iri, dendam dengan seseorang yang
lebih pandai dari kita. Atau mungkin, saat pelajaran semester, atau UN,
terkadang merasa jawaban yang kita jawab sudah benar!. saat mengetahui bahwa
nilai kita buruk, disitulah kita merasakan sebuah kemarahan pada diri. Apalagi
ketika melihat teman yang berada di bawah kita justru mendapatkan nilai yang
bagus!.
Dari
percakapan bocah jenius dan bocah dungu ini mengambarkan bahwa kamampuan
berfikir kita tidak diukur secara akademik dan penampilan luar saja. Tidak
semua orang yang mengeluarkan ide konyolnya itu selalu konyol. Justru
kekonyolan itu BISA JADI awal revolusi pemikiran. Tidak ada yang salah dengan
pertanyaan bocah Dungu 11+4=3. Jawaban ini benar!, jika ini diasosiasikan pada
jam!.
Awalnya
pertanyaan ini konyol, tapi menurutku ini pertanyaan dan jawaban kreatif. Kesimpulannya,
lihatlah orang lain bukan pada fisik, prestasi, dan kedudukanya. Tapi lihatlah
dia sebagai satu keutuhan manusia ciptaan Tuhan yang memiliki kekurangan dan
kelebihan. (Elisa)
1 Comments
Halo mbak Elisa, saya bingung je dengan tulisan Anda. Mungkin tata bahasanya lebih ditata lagi. Itu fotonya mbak Elisa ya? Cakep juga ya
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji