Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Duduk tak menyelesaikan masalah (Foto:Ist) |
Keengganan
untuk mengubah diri dapat dialami oleh setiap orang. Hal ini tercermin pada
kasus karyawan yang karena keadaan manajemen organisasi semakin payah, maka
mereka harus dimutasikan ke bagian yang dipersepsikan sangat tidak nyaman. Pada
mulanya, mereka bekerja pada bagian administrasi. Mereka bekerja pada bagian
administrasi tersebut selama bertahun-tahun, sehingga terbentuklah zona nyaman.
Segala kebiasaan baik maupun buruk telah mereka kembangkan pada bagian
administrasi. Ketika dunia bisnis berkembang semakin mengkhawatirkan, maka
organisasi memutuskan untuk mengadakan rotasi (perputaran pekerjaan). Tujuan
rotasi pekerjaan adalah untuk memotivasi karyawan pada hal-hal baru seperti
dunia marketing. Harapannya adalah ketika motivasi karyawan tinggi maka
produktivitas organisasi juga semakin baik, sehingga umur organisasi menjadi
lebih panjang.
Persoalan
yang muncul adalah para karyawan tersebut tidak mempersiapkan diri dengan
perubahan langgam kerja dari bagian administrasi ke bagian marketing. Mereka
beralasan bahwa organisasi tidak mempersiapkan diri mereka dengan pelatihan
yang memadai dan organisasi telah bertindak sewenang-wenang menempatkan
karyawan tidak sesuai dengan ketrampilannya. Alasan para karyawan tersebut
mungkin saja benar. Tulisan ini tidak ingin membahas tentang kemungkinan
kesalahan manajemen, tetapi lebih kepada kesulitan berubah pada
karyawan-karyawan tersebut. Tujuan tulisan adalah untuk memberi dorongan bagi
kita semua untuk mempersiapkan diri dan merancang perubahan diri sendiri,
daripada dipaksa berubah oleh lingkungan secara mendadak.
Dalam
menjalani kehidupan, apalagi berkiprah dalam dunia kerja, perubahan adalah
suatu hal yang tidak terelakkan (inevitable).
Hal ini karena lingkungan di luar kita memang berubah dengan sangat cepat. Bila
tidak mampu berubah atau kecepatan berubahnya terlalu lambat, maka kita disebut
orang yang ketinggalan jaman atau istilah populernya ‘tulalit’. Berdasarkan hal
itu tentu tidak ada orang yang ingin menjadi ‘tulalit’, dan orang-orang akan
mengatakan bahwa mereka siap untuk berubah. Kenyataannya, mereka seringkali
hanya bersedia berubah untuk hal-hal yang sifatnya sederhana, kecil, murah, dan
temporer. Untuk hal-hal yang prinsip, seperti langgam kerja, pada umumnya orang
akan enggan berubah.
Fenomena
tentang sulitnya orang berubah menunjukkan betapa berbedanya manusia itu dengan
bunglon. Bunglon adalah binatang yang selalu siap sedia untuk berubah sesuai
dengan lingkungan tempatnya hinggap. Orang yang diejek seperti bunglon, adalah
orang yang dianggap suka berubah-ubah dan tidak punya pendirian. Sebaliknya
orang yang sama sekali enggan berubah dianggap sebagai orang yang kolot (conservative). Kewaspadaan yang tinggi
terhadap perubahan menyebabkan kita tidak mudah terguncang ketika terjadi
perubahan yang berasal dari luar (misalnya mendadak kantor tempat kita bekerja
dilikuidasi oleh pemerintah). Oleh karena itu, orang yang berwawasan luas tentu
akan merancang perubahan bagi dirinya sendiri, jauh sebelum orang lain
memulainya. Ia mungkin berimajinasi tentang datangnya suatu masalah dan ia
mempersiapkan solusinya sekarang juga.
Bagaimana
cara menjelaskan keengganan orang untuk berubah? Mempelajari kembali (relearning) tentang suatu hal ternyata
membutuhkan waktu yang lebih lama daripada ketika individu mempelajarinya untuk
pertama kali (Coch & French Jr., 1960). Hal ini menunjukkan bahwa
keengganan untuk berubah dan lebih lambatnya individu itu belajar kembali lebih
disebabkan oleh problem motivasi. Jadi ketrampilan itu adalah faktor minor,
sedangkan faktor mayornya adalah motivasi untuk memulihkan produktivitas
seperti sediakala.
Sebagai
ilustrasi adalah ketika individu menggunakan komputer untuk pertama kali, maka
waktu belajar yang dibutuhkannya lebih sedikit daripada ketika ia belajar
menggunakan komputer dengan program baru. Ketika menggunakan program baru, individu
selalu membanding-bandingkan kelebihan yang ditawarkan antara program baru dan
program lama. Apabila dalam proses pembandingan tersebut individu juga didesak
waktunya untuk menyelesaikan tugas dengan program komputer, maka individu cenderung
menggunakan program yang lama. Individu akan beralasan bahwa ia belum terlalu
menguasai program baru sementara ada tugas penting yang harus dilakukan. Oleh
karena ia belum didesak oleh keadaan maka ia lebih memilih zona nyaman daripada
zona yang penuh risiko. Istilah ’belum didesak oleh keadaan’ berarti tugas
tersebut masih bisa diselesaikan dengan cara lama. Apabila tugas tersebut hanya
bisa diselesaikan dengan program baru, berarti individu sudah terdesak / tidak
dapat mengelak lagi, maka ia akan bangkit untuk mempelajari program baru dengan
cepat. Fenomena inilah yang disebut dengan konsep ’apabila seseorang terpojok
maka ia akan berubah’.
Apa
saja hambatan individu untuk berubah? Zaltman dan Duncan (dalam Moorhead &
Griffin, 1995) menjelaskan bahwa ada enam faktor internal seseorang yang telah
menjadi penghambat baginya untuk berubah. Berikut adalah penjelasan tentang
enam faktor tersebut dan diikuti dengan ilustrasi kasus perubahan posisi kerja
dari bagian administrasi ke bagian marketing.
1. Kebiasaan. Bekerja dengan cara sama dan berulang-ulang, akan
membuat pekerjaan menjadi lebih mudah. Bekerja dengan cara baru, sebaliknya, akan
membuat tugas menjadi lebih sulit diselesaikan. Bila gajinya sama, maka orang
lebih suka bekerja dengan cara mudah daripada yang sulit. Pada ilustrasi kasus
di atas, karyawan administrasi sudah terbiasa melakukan tugasnya dengan ritme
lambat karena yang dipentingkan dalam administrasi adalah ketelitian. Pada
bagian marketing, sebaliknya, ritme kerjanya adalah cepat. Karyawan marketing
dituntut untuk cepat dalam mengambil keputusan, berpindah-pindah tempat dengan
cepat untuk mencari pelanggan baru. Perubahaan kebiasaan kerja ini akan membuat
karyawan merasa tidak nyaman, sehingga mereka menolak untuk berubah.
2. Keamanan. Karyawan merasa nyaman dan aman bila melakukan pekerjaan
dengan cara-cara yang lama, meski lingkungan di sekelilingnya telah berubah.
Orang yang yakin bahwa dirinya terancam dengan adanya perubahan itu, akan terus
menolak segala ide tentang perubahan. Target yang ditentukan untuk karyawan
administrasi lebih kepada penyelesaian tugas dalam waktu dan kualitas tertentu.
Target karyawan marketing lebih kepada seberapa banyak produk / jasa yang laku.
Apabila target karyawan marketing tidak terpenuhi maka posisi pekerjaannya
terancam. Pada karyawan administrasi, apabila targetnya tidak terpenuhi maka
posisi pekerjaannya kurang terancam bila dibandingkan dengan posisi marketing.
Oleh karena itu rasa aman karyawan bagian adminsitrasi cenderung lebih tinggi
daripada karyawan bagian marketing.
3. Faktor
ekonomi. Perubahan mungkin akan mengancam
sumber keuangan karyawan. Hal ini terjadi ketika perubahan telah menyebabkan
suatu posisi pekerjaan yang selama ini dipegangnya menjadi tidak berguna lagi. Biasanya
hal ini menyangkut spesialisasi. Individu yang mempunyai posisi sebagai
spesialis servis mesin ketik dan ditempatkan pada bagian administrasi, akan
merasa kebingungan bila ditempatkan pada bagian marketing. Hal ini karena
bagian marketing sudah menggunakan komputer yang canggih, sehingga posisi
sebagai spesialis servis mesin ketik sudah tidak diperlukan lagi. Tenaga yang diperlukan
justru spesialis servis komputer, yang tentu saja membutuhkan ketrampilan yang
jauh lebih kompleks daripada servis mesin ketik.
4.
Ketakutan pada segala sesuatu yang belum dikenali. Ketika bekerja dalam organisasi, tentu seseorang akan
terbiasa dengan hubungan sosial yang sudah ada (pola pergaulannya sudah
menetap). Hal itu membantu individu dalam menyelesaikan tugasnya. Perubahan
terhadap hal-hal yang sudah dikenali (familiar)
itu akan menyebabkan ketakutan karena hal itu mengganggu proses penyelesaian
tugas. Perubahan ritme kerja dari lambat dan teliti (bagian administrasi) ke
ritme kerja cepat (bagian marketing), akan mendorong individu untuk
bersosialisasi dengan orang-orang baru sebagai calon pelanggan. Bersosialisasi
dengan orang-orang baru untuk bagian marketing akan mendatangkan konsekuensi
perilaku baru seperti harus bisa menahan diri, harus mudah tersenyum, harus
panjang akal dalam menjawab segala pertanyaan calon pelanggan, harus
berpenampilan menarik sepanjang waktu, harus sabar menunggu waktu luang calon
pelanggan, dan harus hafal di luar kepala tentang kualitas produk / jasa yang
ditawarkan. Bersosialisasi dengan orang baru dan juga tuntutan perubahan
perilaku baru menimbulkan ketakutan tentang segala sesuatu yang belum dikenali
seperti: diejek, dikritik atau bahkan ditolak oleh calon pelanggan. Hal-hal
negatif yang datang dari lingkungan baru dipersepsikan menakutkan dan terasa
mengancam penyelesaian tugas.
5.
Kelengahan.
Kelengahan menyangkut kurangnya kewaspadaan tentang perubahan peraturan kerja,
karena keterbatasan seseorang dalam mencari informasi. Keterbatasan itu mungkin
saja berhubungan dengan lokasi pekerjaan yang terpencil (cabang organisasi di
daerah terpencil), atau individu terlalu fokus dengan penyelesaian tugasnya
sehingga ia seperti ketinggalan jaman. Ia menjadi tidak waspada tentang situasi
politik paling akhir di dalam organisasinya dan peraturan-peraturan baru yang
muncul dari manajemen.
Di samping itu, termasuk dalam kriteria
kelengahan yaitu persepsi bahwa hal buruk tidak mungkin menimpa dirinya,
perkiraan bahwa organisasi tidak akan bangkrut, bahkan sampai pada persepsi
bahwa Tuhan tidak akan memberi nasib buruk karena dirinya merasa sudah berdoa
sepanjang hari serta sudah menjalankan semua perintah agama. Kelengahan-kelengahan
tersebut akan mendorong individu untuk merasa tidak perlu berubah. Kira-kira
individu itu akan mengatakan ”Untuk apa saya berubah? Saya baik-baik saja,
sedangkan pihak yang seharusnya diperbaiki adalah organisasi. Organisasilah
yang selama ini menjadi sumber masalah. Jadi kalau ingin memperbaiki organisasi
maka manajemen harus diganti, sedangkan kami sebagai karyawan tidak perlu
diganti”. Dalam psikologi sosial, fenomena semacam itu disebut self-serving bias yaitu persepsi bahwa
diri sendiri telah mengerjakan segala sesuatu dengan baik sedangkan pihak lain
(organisasi) telah melakukan hal yang buruk (Myers, 1994).
Fenomena sef-serving bias akan mendorong inidividu untuk menyalahkan
pihak-pihak di luar dirinya, dan ia akan selalu melindungi dirinya sendiri.
Oleh karena merasa tidak bersalah maka individu merasa tidak perlu berubah.
Padahal dalam segala interaksi sosial, tidak mungkin hanya satu pihak saja yang
salah. Pihak yang salah adalah individu dan organisasi sekaligus. Sungguh tidak
adil bahwa hanya pihak manajemen organisasi saja yang harus disalahkan bagi
kemunduruan organisasi.
6. Faktor
sosial. Seseorang enggan untuk berubah karena
takut pada pendapat orang lain. Bila ia melakukan suatu perubahan, berarti ia
menjadi “berbeda” dengan anggota kelompoknya. Banyak orang yang merasa tidak
siap mental dalam situasi semacam itu. Para karyawan administrasi yang karena
dipaksa situasi organisasi tanpa bisa mengelak dan harus pindah pada bagian marketing,
cenderung membangun suatu kekompakan (cohessive).
Hal ini karena adanya persamaan nasib yaitu dipaksa untuk berubah serta
ditempatkan di luar zona nyaman. Oleh karena kelompok sudah kompak, maka
pilihan perilakunya pun harus sama dalam menghadapi kebijakan organisasi. Oleh
karena mereka merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh organisasi, maka
perilaku yang lazim muncul adalah menentang kebijakan organisasi. Jadi bila ada
individu yang mencoba perilaku baru seperti belajar program baru, belajar
menjadi karyawan marketing, belajar untuk presentasi di depan calon pelanggan
maka ia akan ditertawakan, diejek, atau bahkan dimusuhi oleh teman-teman
senasibnya.
Kembali
pada kasus di atas, karyawan administrasi yang dipaksa (terpaksa) untuk pindah
pada posisi marketing, menghadapi situasi kerja yang sangat tidak nyaman
(berbeda dengan zona nyaman). Apabila mereka melihat situasi tidak nyaman itu
sebagai peluang, maka mereka akan belajar untuk berubah ke arah yang lebih
positif meskipun mereka menghadapi tantangan dari enam faktor tersebut di atas.
Apabila mereka melihat situasi tidak nyaman itu sebagai lonceng kiamat, maka
mereka akan enggan berubah, terus menyalahkan manajemen organisasi, atau berperilaku
merusak (destruktif) terhadap manajemen organisasi, bahkan mungkin saja bunuh
diri. Semoga alternatif terakhir tersebut tidak dipilihnya.
DAFTAR PUSTAKA
Coch, L. & French Jr., J. R. P. (1960). Overcoming
resistance to change. In D. Cartwright & Al. Zander (eds.). Group dynamics: Research and theory. London: Tavistock
Publications. Pp. 319-341.
Moorhead,
Gregory and Ricky W. Griffin. 1995. Organizational
Behavior: Managing People and Organizations. Boston: Houghton Mufflin Company.
Myers, D. G. (1994). Exploring social psychology. New York: McGraw-Hill,
Inc.
4 Comments
Hasil diskusi di kelas menulis akhirnya jadi tulisan yang menarik.....hehe
ReplyDeleteTerimakasih sudah berkunjung mas Anto :). Kapan-kapan bisa bergabung di kelas menulis mas :) (Admin)
Deleteso what and why not!? lets do it!!
ReplyDeleteada satu saran dari saya yang mungkin bisa kita terapkan dalam menyiasati perubahan itu. Learning by doing, belajar dengan mempraktekannya. hal ini sangat berguna menghadapi perubahan dan juga menghadapi faktor2 internal yang muncul pada diri kita yang menghambat kita melakukan suatu perubahan.
jangan pernah kita merasa malu dan takut untuk ditertawakan, diejek, bahkan dimusuhi oleh teman2 terhadap perubahan yang kita lakukan. alasan utama kita bekerja adalah untuk suvive, so why not we try it first, not just learning than prackticing but also learning by doing it self.
live is a choise...
tulisan ini memberi inspirasi bagi saya yang sudah bekerja untuk menentukan pikiran dan menyikapi perubahan pekerjaan. saya ucapkan terimakasih untuk penulis dan pengelola blog ini.
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji