Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Univesitas Proklamsi
45
Yogyakarta
Perubahan memang suatu hal yang tidak
terelakkan dalam kehidupan kita, dan kadang kala menyakitkan bila kita tidak
siap. Oleh karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk berubah dan
menghadapi perubahan, daripada dipaksa untuk berubah oleh lingkungan. Arti
lingkungan tersebut ialah lingkungan tempat kerja, lingkungan keluarga, keadaan
masyarakat, situasi politik negara, dan lingkungan fisik. Di lingkungan tempat
kerja, kita harus mempersiapkan diri untuk perubahan mendadak yang sifatnya
positif (mendadak kita dipromosikan) atau pun yang sifatnya negatif (mendadak
dipecat dari tempat kerja). Di lingkungan keluarga, kita juga harus siap dengan
perubahan tidak terduga baik yang sifatnya positif (mendadak pasangan kita di
promosikan di luar negri sehingga kita juga harus ikut pindah ke luar negeri)
atau yang sifatnya negatif (mendadak orangtua sakit parah dan harus ditunggui
selama 24 jam).
Di lingkungan masyarakat,
perubahan-perubahan mendadak juga harus diantisipasi misalnya mendadak ada
jadwal ronda pada setiap hari sabtu malam padahal hari itu itu adalah
satu-satunya waktu luang untuk bercengkerama dengan pasangan yang bekerja di
luar kota, atau mendadak menjadi ketua RT karena tidak ada warga yang bersedia
menjadi ketua RT. Pada tingkat negara, situasi politik pun harus diantisipasi
misalnya mendadak presiden diganti sehingga harga-harga kebutuhan pokok naik,
atau mendadak wakil kita di DPRD dipecat sehingga kita tidak bisa menyampaikan
aspirasi kepada DPRD. Selain lingkungan sosial, lingkungan fisik juga dapat
berubah dengan jadwal yang tidak diduga seperti adanya musibah banjir, adanya
serangan ulat bulu, dan sebagainya. Perubahan secara mendadak pada lingkungan
fisik itu juga dapat memaksa gaya kehidupan kita sehari-hari berubah dengan
drastis.
Kalau memang kita harus mempersiapkan
diri untuk berubah, lalu apa saja yang harus kita ubah? Apakah keyakinan kita
juga harus sering diubah seperti halnya model rambut kita? Sederhana saja, hal
yang perlu kita ubah adalah yang merugikan dan yang mengancam kehidupan kita
terutama keadaan internal kita. Oleh karena
itu kita perlu membuat daftar tentang segala kekuatan dan kelemahan diri
pribadi. Kita perlu mengetahui analisa SWOT, yang berasal dari singkatan strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (kesempatan), dan threat (ancaman).
Kekuatan (strength) misalnya kepandaian berbahasa asing, pandai dalam bidang
komputer, wajah cantik, bentuk tubuh menarik, dan sebagainya. Kelemahan (weakness) misalnya badan yang sering
sakit, buruk rupa, malas, bodoh, dan sebagainya. Ancaman misalnya kita akan
dikeluarkan dari sekolah karena malas belajar, kita akan ‘di-PHK’ pacar karena
kita tidak punya modal untuk menikah, dan sebagainya. Kesempatan artinya
mengubah kelemahan, membalikkan ancaman dan memelihara kekuatan itu sehingga
semuanya itu bisa menjadi peluang bagi kita untuk hidup lebih sejahtera dan
lebih bahagia. Intinya kita menjadi lebih baik, lebih untung daripada
sebelumnya, gara-gara piawai dalam melihat peluang.
Kesempatan untuk maju bagi diri sendiri
kadang kala bersumber dari kelemahan orang lain (ketidaksiapan orang lain). Dalam
hal ini perlu ditekankan bahwa jeli melihat peluang untuk kesuksesan diri
sendiri tidak berarti harus ‘menginjak’ atau merugikan orang lain. Bukan suatu
hal yang perlu dikagumi bila kita sukses di atas penderitaan orang lain.
Strategi yang paling sering dipakai untuk ‘menginjak’ orang lain adalah menjelek-jelekkannya
(Shinta, 1996).
Strategi ’menginjak’ pihak lain sering ditampilkan
dalam berbagai iklan. Iklan itu berbunyi bahwa produk kita lebih baik daripada
produk yang sama tetapi merek lain. Misalnya iklan sabun mandi Lifebuoy hanya
meninggalkan dua kuman sedangkan sabun merek lain meninggalkan lebih banyak
kuman. Sungguh suatu kiat menjual diri yang tidak etis dan tidak kreatif
(Sidal, 1995). Bagaimana pun, kita akan tampak lebih cerdas dan dihargai oleh
lawan, bila lebih menekankan keunggulan diri sendiri daripada memburuk-burukkan
orang lain. Akan sangat tampak kerdil kepribadian kita, bila setiap hari kita
hanya membicarakan hal-hal negatif tentang orang lain. Hal itu akan membuat
orang lain muak, dan dampaknya justru akan merugikan pemasaran diri sendiri.
Siasat selanjutnya agar tampak semakin cerdas
lagi yaitu bila kita bisa menggandeng mitra yang lemah tadi untuk diajak
bersinergi dalam hal aspek kekuatan (prinsip kemitraan). Kepedulian pada orang
lain inilah yang jarang ditemui pada orang-orang. Lazimnya, pihak yang sukses
harus diri sendiri dahulu baru orang lain. Bila hal ini terjadi, sering kali
kesuksesan itu tidak bertahan lama. Ketika kesuksesan itu berada di tangan kita
dan mitra, maka kesuksesan kita cenderung bertahan lama.
Bersinergi dengan mitra yang lemah pada
hakekatnya kita sedang mengasah kemampuan, bukan sedang menolong pihak lain
yang lemah. Keberadaan mitra yang lemah telah menjadi motivator bagi kita untuk
terus berusaha agar kegiatan bersama itu menjadi sukses. Semakin kemampuan itu
di asah, semakin kita menjadi ahli dan kapasitas kita menjadi lebih kuat. Dampak
sampingan dari kesuksesan bersama itu adalah mitra kita mungkin merasa
berhutang budi. Apakah perasaan berhutang budi itu akan menggerakkan hati mitra
tersebut untuk membalas menolong pada saat kita sedang membutuhkannya? Norma
sosial memang menyebutkan bahwa kita harus membalas budi pada orang yang
menolong. Hasil penelitian yang ada justru menyebutkan bahwa perilaku balas
budi hanya terjadi bila orang yang ditolong mempersepsikan niat baik penolong
secara positif (Michener & DeLamater, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa
prinsip timbal balik (reciprocity)
tidak selalu terjadi dalam perilaku menolong.
Mungkin ada baiknya kita tidak perlu
mempersoalkan atau memperumit niat kita dalam bersinergi dengan orang lain.
Akan lebih bijaksana kalau kita mengingat nasehat-nasehat berharga (Kiyosaki
& Lechter CPA, 2002) yaitu
- Mengajarlah dan anda akan menerima.
- Jika anda menginginkan sesuatu, anda harus memberi lebih dulu.
- Tuhan tidak perlu menerima, tetapi manusia perlu memberi.
- Orang miskin itu lebih tamak daripada orang kaya.
Nasehat-nasehat berharga itu akan
menuntun kita bahwa bila kita merasa kekurangan atau membutuhkan sesuatu, maka berikanlah
dulu apa yang kita inginkan dan itu akan kembali pada kita dalam jumlah yang
berlimpah. Hal itu benar untuk uang, sesungging senyum, cinta, dan persahabatan.
Dalam pengalaman sehari-hari, cara pengembalian dari pertolongan yang diberikan
memang dilakukan secara tidak langsung, dan kadang kala bentuknya tidak sesuai
dengan harapan. Hal yang menarik adalah bentuk pengembalian itu ternyata jauh
lebih berharga daripada pertolongan yang telah diberikan.
Sebagai contoh saya memberikan kuliah
dengan sangat berkualitas bahkan jauh melebihi standar yang lazim. Mahasiswa
tentu saja senang. Apakah mahasiswa mengapresiasi kuliah dengan luar biasa,
seperti harapan saya? Ternyata tidak, mahasiswa hanya mengatakan “Bagus”. Saya
merasa kecewa berat. Setelah merenung lama, ternyata pemahaman topik kuliah
yang berkualitas itu menjadi bahan diskusi yang menarik dalam keluarga,
sehingga interaksi dalam keluarga menjadi semakin harmonis. Tidak itu saja,
topik kuliah itu telah saya tulis ulang lagi dan dikirimkan ke majalah. Saya mendapatkan
honor yang lumayan. Hal ini berarti secara tidak langsung saya mendapatkan
imbalan yang berlimpah, yaitu keluarga menjadi lebih harmonis dan berkualitas,
saya bisa memberikan suri tauladan pada anak-anak, prestasi publikasi dan
ketenaran, serta honor uang. Bukankah itu suatu gaya kehidupan yang
menyenangkan? Counting your blessing and
your life will be blessed (Shinta, 2010). Hitunglah dan bersyukurlah atas
rahmat yang kita terima maka hidup kita akan selalu dilimpahi rahmat.
DAFTAR PUSTAKA
Kiyosaki, R. T. &
Lechter C.P.A., S.L. (2002). Rich dad, poor
dad. (Cetakan ke-9). Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Michener, H. A. & DeLamater,
J. D. (1999). Social psychology. (4th
ed.). Philadelphia:
Harcourt Brace College
Publishers.
Shinta, A. (1996). Jeli
melihat peluang. Dalam Yogya Post. 27 Maret, halaman 7.
Shinta, A. (2010). Count your blessings and
your life will be blessed: A story of a spouse of a UNICEF staff member. Voices of UNICEF staff worldwide,
July, page 7-8.
Sidal, S. R. (1995). Menyoal
kreativitas dan moral iklan. Dalam Kompas.
3 Oktober, halaman 5
1 Comments
Kalau mau berubah, saya takut banget. Jangan-jangan keadaannya bertambah buruk daripada sekarang. Bagaimana dong? Lebih enak di zona nyaman. Namanya saja zona nyaman. Iya kan?
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji