Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

SEKOLAH YANG TIDAK BERMUTU = SUMBER KREATIVITAS


Arundati Shinta
Fakultas Psikologi 


Suasana pelajaran di kelas (Foto : Elisa)
Betapa tidak menyenangkannya bersekolah di lingkungan yang budaya akademiknya tidak berjalan sementereng seperti di Harvard University Amerika Serikat. Apa saja ‘dosa-dosa’ dari sekolah kami ini? Daftar ‘dosanya’ ternyata sangat banyak antara lain:
Ø  Dosennya tidak bermutu, tidak ada yang bergelar profesor, bahkan yang bergelar doktor pun diragukan keahliannya (mungkin ijasahnya aspal, asli tapi palsu), dosen bergelar master pun juga tidak piawai ilmunya. Apalagi dosen yang hanya lulusan S1, sangat tidak berpengalaman. Metode mengajar dosen sangat lucu yaitu dengan sistem dikte, sehingga mahasiswa dianggap sebagai murid-murid SMA. Para dosen nampak seperti tidak percaya diri, bahkan nampak seperti pesakitan saja. Kalau mengajar, keringatnya bercucuran sebesar butir jagung. Sungguh tidak profesional kerja mereka. Dosen kadang kala menerapkan peraturan yang aneh dan lucu yaitu mahasiswa tidak boleh terlambat masuk ruang kuliah. Ironisnya, dosen itu justru sering terlambat.
Ø  Kurikulumnya ketinggalan jaman (tidak dapat memenuhi tuntutan pemangku kepentingan di masyarakat), kurikulumnya jauh lebih buruk daripada universitas negeri terkemuka di Yogyakarta. Kalau dibuat skala 1 (sangat buruk) sampai 5 (sangat baik), maka peringkat sekolah kami adalah minus 3 alias sangat amat sangat buruk.
Ø  Sarana dan prasarana penunjuang sekolah sangat buruk, bahkan beredar rumor bahwa sekolah kita tidak ubahnya kandang kambing yang bau. Sarana parkir buruk, sehingga lantainya banyak yang berlubang-lubang. Sarana laboratorium out of date atau ketinggalan jaman. Halaman tidak terpelihara dengan baik sehingga rumput dan ilalang tinggi dan sampah bertebaran di mana-mana. Fasilitas kamar mandi sangat memprihatinkan karena baunya menyengat, dan tidak pernah di bersihkan. WC mampet dibiarkan begitu saja. Koleksi buku perpustakaan sangat ketinggalan jaman, bahkan pelayanannya juga tidak memuaskan. Petugas perpustakaan hanya tidur-tidur saja, tidak mau melayani mahasiswa.
Ø  Yayasan dan para petinggi dianggap tidak transparan manajemen keuangannya, dan kebijakannya tidak pro mahasiswa. Para petinggi universitas tidak pernah bersikap ramah terhadap mahasiswa. Ini sangat mengherankan, karena SPP mahasiswa sebenarnya adalah gaji mereka. Perilaku para petinggi itu tidak pernah melayani mahasiswa tetapi justru memerintahkan mahasiswa untuk melayani para petinggi.
Ø  Para karyawannya juga tidak mampu melayani mahasiswa dengan baik, bahkan ada rumor bahwa ada karyawan yang bersedia melakukan jual beli nilai sehingga mahasiswa tidak perlu kuliah tatap muka tetapi pasti lulus. Para karyawan tidak mampu bekerja dengan profesional, kemampuan dalam bidang komputer juga rendah. Sistem pelayanan kartu mahasiswa saja tidak memuaskan, apalagi pelayanan yang lebih krusial seperti pelaporan nilai ujian.
Ø  Unit kegiatan mahasiswa tidak ada satu pun yang jalan, karena tidak ada biaya sama sekali. Ini menunjukkan para petinggi tidak memperhatikan eksistensi mahasiswa sebagai penyumbang utama gaji petinggi setiap bulannya.
Daftar ‘dosa’ sekolah kami dalam melayani mahasiswa itu mungkin masih lebih panjang lagi. Bahkan ‘dosa’ itu jauh lebih panjang daripada panjang seluruh jalan di Yogyakarta. Sungguh merana menjadi mahasiswa di sekolah kami ini. Sudah harus membayar SPP, tetapi tidak mendapatkan jasa seperti yang diiklankan pada brosur-brosur yang disebarkan. Analogi dari kesengsaraan mahasiswa kami adalah karakteristik pasangan hidup kita yang semakin lama semakin aneh dan tidak menyenangkan. Pasangan itu memang kita sendiri yang memilih, dan tidak ada paksaan dari orangtua. Hal itu berarti kita mengarungi biduk kehidupan dengan cinta. Kehidupan yang keras, ternyata mengubah pasangan kita menjadi aneh dan menyebalkan. Kita menjadi tersiksa serta sengsara setiap hari.

Pertanyaan untuk situasi yang menyengsarakan itu adalah, apakah yang harus kita perbuat untuk mengurangi rasa sengsara? Haruskah kita memutus sekolah kita (drop out), atau memutus hubungan dengan pasangan? Kalau kita tetap bersikeras berada dalam hubungan sosial (tetap bersekolah di univeristas kami), atau tidak berpisah dengan pasangan, maka bagaimana dengan kesehatan mental kita?
Untuk menghadapi situasi yang menyebalkan itu, maka ada empat alternatif perilaku. Empat perilaku tersebut ialah keluar, berdiskusi, tetap setia, atau tidak menghiraukan (Rusbult, Zembrodt, & Gunn, 1982). Alternatif-alternatif tersebut sebenarnya berasal dari topik relasi sosial antar individu, namun hal itu dapat juga diterapkan ketika individu berhadapan dengan kelompok atau organisasi (Matland, 1995). Bagaimana individu memutuskan perilaku yang mana yang akan dipilihnya? Keputusan individu bergantung pada tiga hal yaitu tingkat pengalaman yang menyenangkan ketika individu bergabung dalam organisasi, kemungkinan kerugian yang harus ditanggung bila individu keluar dari organisasi, dan ketersediaan alternatif di luar organisasi dalam hal jumlah yang banyak dan mutunya jauh lebih bagus (Michener & DeLamater, 1999). 
Individu memutuskan keluar dari universitas yang dipersepsikan buruk ini bila ia mempunyai persediaan uang yang lumayan banyak untuk mendaftar di sekolah lainnya. Selain itu, individu masih mempunyai persediaan motivasi untuk melanjutkan sekolah. Apabila motivasi untuk untuk menggeluti buku sudah seperti kerupuk tersiram air alias melempem, maka alternatif melanjutkan sekolah lain yang lebih bagus pasti tidak akan dipilih.
Alternatif diskusi artinya individu membicarakan (bernegosiasi) dengan pihak pengelola sekolah untuk perbaikan daftar ’dosa’ di atas. Alternatif ini dipilih bila individu mempunyai cukup energi untuk memperbaiki lingkungan sekolahnya. Berdasarkan pengamatan, alternatif ini belum pernah dilakukan oleh individu mana pun. Hal ini karena mahasiswa memang tidak ingin terlibat lebih jauh dengan kebobrokan organisasi. Ini adalah sebuah alternatif yang sangat riskan.
Alternatif ketiga yaitu tetap setia sambil berdoa agar situasi berubah menjadi lebih kondusif untuk belajar. Alternatif perilaku ini banyak dipilih oleh mahasiswa yang agak pasif dan yang mengutamakan keamanan. Alternatif ini memang kurang efektif untuk mengubah situasi. Alternatif keempat yang justru paling sering diambil oleh mahasiswa adalah protes keras terhadap pengelola sekolah dengan diiringi perilaku merusak. Para mahasiswa bahkan melakukan demonstrasi untuk memaksakan kehendaknya. Tidak jarang, banyak barang-barang yang dirusaknya untuk menimbulkan rasa takut pengelola sekolah.
Secara jujur, empat alternatif perilaku tersebut di atas sifatnya membosankan. Tidak ada sesuatu yang baru atau menginspirasi. Kalau demikian halnya, apakah ada alternatif lain yang menginspirasi? Alternatif perilaku yang saya ajukan adalah dengan mengubah diri. Syarat dari perilaku ini adalah mengubah persepsi bahwa lingkungan sekolah bobrok adalah justru sumber kreativitas paling subur (Zhou & George, 2001). Persepsi itu akan membuat kita menjadi lebih jeli terhadap peluang-peluang. Selain itu, individu hendaknya tidak menyalahkan lingkungan sekolah, tetapi justru melecut potensi diri untuk mengatasi keadaan yang kacau. Semakin ia menyalahkan lingkungannya, maka semakin ia terperosok dalam lubang ketidak berdayaan. Apa saja bentuk operasional perilaku mengubah diri itu?

Ø  Dosen yang tidak bermutu dan malas dalam mengajar, adalah peluang bagi individu kreatif untuk mengajukan diri sebagai asisten dosen. Jadi dalam hal ini dosen diberi pelajaran tentang cara-cara mengajar yang baik, oleh mahasiswaya sendiri. Tentu saja hal ini harus diiringi dengan keyakinan diri yang tinggi tentang penguasaan ilmu.
Ø  Karyawan yang pemalas adalah peluang untuk mengajarkan sistem kerja yang berbasis komputer yang canggih. Alternatif ini dipilih tentu saja kalau mahasiswa mau berlelah-lelah mengurus karyawan yang tidak bermutu.

Mungkin masih banyak daftar perilaku kreatif yang dapat dilakukan oleh individu untuk mengubah lingkungan sekolah menjadi lebih baik. Berdasarkan pengamatan, belum ada mahasiswa yang bersedia menjadi orang ’gila’ dengan memilih alternatif pengubahan diri ini. Hal ini dapat dimengerti karena mahasiswa pada umumnya berpendapat bahwa pihak sekolah yang salah, mengapa pihak mahasiswa yang harus memperbaikinya. Mahasiswa selalu berargumen bahwa prestasinya yang rendah karena pihak pengelola sekolah yang tidak bermutu. Hal yang menarik adalah mahasiswa yang vokal dalam melakukan protes kepada sekolah, ternyata kehilangan nyali bila harus berhadapan dengan mahasiswa dari sekolah lain. Mereka cenderung merasa inferior, dan selalu bersembunyi di belakang punggung mahasiswa lainnya yang dipersepsikan berani dan berprestasi. Mahasiswa pengecut itu, sayangnya, jumlahnya adalah mayoritas.
Bagaimana dengan karyawan sekolah? Karyawan sekolah sebenarnya juga mengalami rasa tidak nyaman dengan situasi tempat kerja yang tidak kondusif. Hal yang menarik ternyata perilaku karyawan hampir serupa dengan mayoritas mahasiswa. Hampir semua karyawan merasa pihak pengelola sekolah adalah pihak yang paling bersalah. Tidak terbersit sedikit pun dalam benak mereka sistem kerja mereka yang tidak profesional adalah penyumbang utama bagi buruknya situasi sekolah. Hal yang menarik adalah ternyata hanya segelintir karyawan yang agak ’gila’ dan bersedia mengubah diri untuk membuat situasi kerjanya menjadi lebih baik. Ia disebut orang ’gila’ karena ia bersedia berjalan di jalan yang sepi, tidak ada pengikut, sepi apresiasi, tetapi ramai cemoohan. Hal yang tidak terduga adalah karyawan yang ’gila’ tersebut ternyata menuai hal-hal yang menyenangkan. Potensinya menjadi lebih tergali dan sederet prestasi telah diukirnya.
Kalau memang sebaiknya mahasiswa ’gila’ dan karyawan ’gila’ disarankan dalam tulisan ini, maka pihak sekolah tidak perlu berbenah diri? Memang diakui, pihak sekolah melakukan kesalahan yaitu tidak mengadakan kontrol mutu, evaluasi dan monitoring yang tidak dilakukan, dan hilangnya perilaku keteladanan dari pemimpin. Dalam situasi yang tidak nyaman itu, menunggu berubahnya perilaku pengelola sekolah, adalah seperti menunggu godot (menunggu hal yang tidak pasti). Sekali lagi perlu ditekankan bahwa menyalahkan pihak lain adalah jauh lebih mudah itu daripada introspeksi. Jadi sekalai lagi perlu ditekankan bahwa berada pada situasi yang tidak menyenangkan adalah situasi yang harus disyukuri. Hal ini karena situasi yang tidak menyenangkan adalah merupakan situasi yang paling sesuai untuk menggali potensi diri dan kreativitas.

Daftar Pustaka

Matland, R. E. (1995). Exit, voice, loyalty, and neglect in urban school system. Social Science Quarterly 76 (3), 506-512, September.

Michener, H. A. & DeLamater, J. D. (1999). Social psychology. (4th Ed.) Philadelphia: Harcourt Brace College Publishers.

Rusbult, C. E., Zembrodt, I. M., & Gunn, L. K. (1982). Exit, voice, loyalty, and neglect:: Responses to dissatisfaction in romantic involvements. Journal of Personality and Social Psychology., 43 (6), 1230-1242.

Zhou, J. & George, J. M. (2001). When job dissatisfaction leads to creativity: Encouraging the expression of voice. Academic of Management Journal. 44(4), 682-696.

Post a Comment

0 Comments