Arundati Shinta
Fakultas Psikologi
Suasana pelajaran di kelas (Foto : Elisa) |
Betapa tidak menyenangkannya bersekolah di lingkungan yang budaya
akademiknya tidak berjalan sementereng seperti di Harvard University Amerika
Serikat. Apa saja ‘dosa-dosa’ dari sekolah kami ini? Daftar ‘dosanya’ ternyata
sangat banyak antara lain:
Ø Dosennya tidak bermutu, tidak ada yang bergelar profesor,
bahkan yang bergelar doktor pun diragukan keahliannya (mungkin ijasahnya aspal,
asli tapi palsu), dosen bergelar master pun juga tidak piawai ilmunya. Apalagi
dosen yang hanya lulusan S1, sangat tidak berpengalaman. Metode mengajar dosen
sangat lucu yaitu dengan sistem dikte, sehingga mahasiswa dianggap sebagai
murid-murid SMA. Para dosen nampak seperti tidak percaya diri, bahkan nampak
seperti pesakitan saja. Kalau mengajar, keringatnya bercucuran sebesar butir
jagung. Sungguh tidak profesional kerja mereka. Dosen kadang kala menerapkan
peraturan yang aneh dan lucu yaitu mahasiswa tidak boleh terlambat masuk ruang
kuliah. Ironisnya, dosen itu justru sering terlambat.
Ø Kurikulumnya ketinggalan jaman (tidak dapat memenuhi tuntutan
pemangku kepentingan di masyarakat), kurikulumnya jauh lebih buruk daripada
universitas negeri terkemuka di Yogyakarta. Kalau dibuat skala 1 (sangat buruk)
sampai 5 (sangat baik), maka peringkat sekolah kami adalah minus 3 alias sangat
amat sangat buruk.
Ø Sarana dan prasarana penunjuang sekolah sangat buruk, bahkan
beredar rumor bahwa sekolah kita tidak ubahnya kandang kambing yang bau. Sarana
parkir buruk, sehingga lantainya banyak yang berlubang-lubang. Sarana
laboratorium out of date atau
ketinggalan jaman. Halaman tidak terpelihara dengan baik sehingga rumput dan
ilalang tinggi dan sampah bertebaran di mana-mana. Fasilitas kamar mandi sangat
memprihatinkan karena baunya menyengat, dan tidak pernah di bersihkan. WC
mampet dibiarkan begitu saja. Koleksi buku perpustakaan sangat ketinggalan
jaman, bahkan pelayanannya juga tidak memuaskan. Petugas perpustakaan hanya
tidur-tidur saja, tidak mau melayani mahasiswa.
Ø Yayasan dan para petinggi dianggap tidak transparan manajemen
keuangannya, dan kebijakannya tidak pro mahasiswa. Para petinggi universitas
tidak pernah bersikap ramah terhadap mahasiswa. Ini sangat mengherankan, karena
SPP mahasiswa sebenarnya adalah gaji mereka. Perilaku para petinggi itu tidak
pernah melayani mahasiswa tetapi justru memerintahkan mahasiswa untuk melayani
para petinggi.
Ø Para karyawannya juga tidak mampu melayani mahasiswa dengan
baik, bahkan ada rumor bahwa ada karyawan yang bersedia melakukan jual beli
nilai sehingga mahasiswa tidak perlu kuliah tatap muka tetapi pasti lulus. Para
karyawan tidak mampu bekerja dengan profesional, kemampuan dalam bidang
komputer juga rendah. Sistem pelayanan kartu mahasiswa saja tidak memuaskan,
apalagi pelayanan yang lebih krusial seperti pelaporan nilai ujian.
Ø Unit kegiatan mahasiswa tidak ada satu pun yang jalan, karena
tidak ada biaya sama sekali. Ini menunjukkan para petinggi tidak memperhatikan
eksistensi mahasiswa sebagai penyumbang utama gaji petinggi setiap bulannya.
Daftar ‘dosa’ sekolah kami dalam melayani mahasiswa itu
mungkin masih lebih panjang lagi. Bahkan ‘dosa’ itu jauh lebih panjang daripada
panjang seluruh jalan di Yogyakarta. Sungguh merana menjadi mahasiswa di
sekolah kami ini. Sudah harus membayar SPP, tetapi tidak mendapatkan jasa
seperti yang diiklankan pada brosur-brosur yang disebarkan. Analogi dari
kesengsaraan mahasiswa kami adalah karakteristik pasangan hidup kita yang
semakin lama semakin aneh dan tidak menyenangkan. Pasangan itu memang kita
sendiri yang memilih, dan tidak ada paksaan dari orangtua. Hal itu berarti kita
mengarungi biduk kehidupan dengan cinta. Kehidupan yang keras, ternyata
mengubah pasangan kita menjadi aneh dan menyebalkan. Kita menjadi tersiksa
serta sengsara setiap hari.
Pertanyaan untuk situasi yang menyengsarakan itu adalah,
apakah yang harus kita perbuat untuk mengurangi rasa sengsara? Haruskah kita
memutus sekolah kita (drop out), atau memutus hubungan dengan pasangan? Kalau
kita tetap bersikeras berada dalam hubungan sosial (tetap bersekolah di
univeristas kami), atau tidak berpisah dengan pasangan, maka bagaimana dengan
kesehatan mental kita?
Untuk menghadapi situasi yang menyebalkan itu, maka ada empat
alternatif perilaku. Empat perilaku tersebut ialah keluar, berdiskusi, tetap setia, atau
tidak menghiraukan (Rusbult, Zembrodt, & Gunn, 1982). Alternatif-alternatif
tersebut sebenarnya berasal dari topik relasi sosial antar individu, namun hal
itu dapat juga diterapkan ketika individu berhadapan dengan kelompok atau
organisasi (Matland, 1995). Bagaimana individu memutuskan perilaku yang mana
yang akan dipilihnya? Keputusan individu bergantung pada tiga hal yaitu tingkat
pengalaman yang menyenangkan ketika individu bergabung dalam organisasi, kemungkinan
kerugian yang harus ditanggung bila individu keluar dari organisasi, dan ketersediaan
alternatif di luar organisasi dalam hal jumlah yang banyak dan mutunya jauh
lebih bagus (Michener & DeLamater, 1999).
Individu memutuskan keluar dari
universitas yang dipersepsikan buruk ini bila ia mempunyai persediaan uang yang
lumayan banyak untuk mendaftar di sekolah lainnya. Selain itu, individu masih
mempunyai persediaan motivasi untuk melanjutkan sekolah. Apabila motivasi untuk
untuk menggeluti buku sudah seperti kerupuk tersiram air alias melempem, maka
alternatif melanjutkan sekolah lain yang lebih bagus pasti tidak akan dipilih.
Alternatif diskusi artinya individu
membicarakan (bernegosiasi) dengan pihak pengelola sekolah untuk perbaikan
daftar ’dosa’ di atas. Alternatif ini dipilih bila individu mempunyai cukup
energi untuk memperbaiki lingkungan sekolahnya. Berdasarkan pengamatan,
alternatif ini belum pernah dilakukan oleh individu mana pun. Hal ini karena
mahasiswa memang tidak ingin terlibat lebih jauh dengan kebobrokan organisasi.
Ini adalah sebuah alternatif yang sangat riskan.
Alternatif ketiga yaitu tetap setia
sambil berdoa agar situasi berubah menjadi lebih kondusif untuk belajar.
Alternatif perilaku ini banyak dipilih oleh mahasiswa yang agak pasif dan yang
mengutamakan keamanan. Alternatif ini memang kurang efektif untuk mengubah
situasi. Alternatif keempat yang justru paling sering diambil oleh mahasiswa
adalah protes keras terhadap pengelola sekolah dengan diiringi perilaku
merusak. Para mahasiswa bahkan melakukan demonstrasi untuk memaksakan
kehendaknya. Tidak jarang, banyak barang-barang yang dirusaknya untuk
menimbulkan rasa takut pengelola sekolah.
Secara jujur, empat alternatif perilaku
tersebut di atas sifatnya membosankan. Tidak ada sesuatu yang baru atau
menginspirasi. Kalau demikian halnya, apakah ada alternatif lain yang
menginspirasi? Alternatif perilaku yang saya ajukan adalah dengan mengubah
diri. Syarat dari perilaku ini adalah mengubah persepsi bahwa lingkungan
sekolah bobrok adalah justru sumber kreativitas paling subur (Zhou &
George, 2001). Persepsi itu akan membuat kita menjadi lebih jeli terhadap
peluang-peluang. Selain itu, individu hendaknya tidak menyalahkan lingkungan
sekolah, tetapi justru melecut potensi diri untuk mengatasi keadaan yang kacau.
Semakin ia menyalahkan lingkungannya, maka semakin ia terperosok dalam lubang
ketidak berdayaan. Apa saja bentuk operasional perilaku mengubah diri itu?
Ø
Dosen yang tidak bermutu dan malas dalam mengajar, adalah
peluang bagi individu kreatif untuk mengajukan diri sebagai asisten dosen. Jadi
dalam hal ini dosen diberi pelajaran tentang cara-cara mengajar yang baik, oleh
mahasiswaya sendiri. Tentu saja hal ini harus diiringi dengan keyakinan diri
yang tinggi tentang penguasaan ilmu.
Ø
Karyawan yang pemalas adalah peluang untuk mengajarkan sistem
kerja yang berbasis komputer yang canggih. Alternatif ini dipilih tentu saja
kalau mahasiswa mau berlelah-lelah mengurus karyawan yang tidak bermutu.
Mungkin masih banyak daftar perilaku
kreatif yang dapat dilakukan oleh individu untuk mengubah lingkungan sekolah
menjadi lebih baik. Berdasarkan pengamatan, belum ada mahasiswa yang bersedia
menjadi orang ’gila’ dengan memilih alternatif pengubahan diri ini. Hal ini
dapat dimengerti karena mahasiswa pada umumnya berpendapat bahwa pihak sekolah
yang salah, mengapa pihak mahasiswa yang harus memperbaikinya. Mahasiswa selalu
berargumen bahwa prestasinya yang rendah karena pihak pengelola sekolah yang
tidak bermutu. Hal yang menarik adalah mahasiswa yang vokal dalam melakukan
protes kepada sekolah, ternyata kehilangan nyali bila harus berhadapan dengan
mahasiswa dari sekolah lain. Mereka cenderung merasa inferior, dan selalu
bersembunyi di belakang punggung mahasiswa lainnya yang dipersepsikan berani
dan berprestasi. Mahasiswa pengecut itu, sayangnya, jumlahnya adalah mayoritas.
Bagaimana dengan karyawan sekolah?
Karyawan sekolah sebenarnya juga mengalami rasa tidak nyaman dengan situasi
tempat kerja yang tidak kondusif. Hal yang menarik ternyata perilaku karyawan
hampir serupa dengan mayoritas mahasiswa. Hampir semua karyawan merasa pihak
pengelola sekolah adalah pihak yang paling bersalah. Tidak terbersit sedikit
pun dalam benak mereka sistem kerja mereka yang tidak profesional adalah
penyumbang utama bagi buruknya situasi sekolah. Hal yang menarik adalah
ternyata hanya segelintir karyawan yang agak ’gila’ dan bersedia mengubah diri
untuk membuat situasi kerjanya menjadi lebih baik. Ia disebut orang ’gila’
karena ia bersedia berjalan di jalan yang sepi, tidak ada pengikut, sepi
apresiasi, tetapi ramai cemoohan. Hal yang tidak terduga adalah karyawan yang
’gila’ tersebut ternyata menuai hal-hal yang menyenangkan. Potensinya menjadi
lebih tergali dan sederet prestasi telah diukirnya.
Kalau memang sebaiknya mahasiswa ’gila’
dan karyawan ’gila’ disarankan dalam tulisan ini, maka pihak sekolah tidak
perlu berbenah diri? Memang diakui, pihak sekolah melakukan kesalahan yaitu
tidak mengadakan kontrol mutu, evaluasi dan monitoring yang tidak dilakukan,
dan hilangnya perilaku keteladanan dari pemimpin. Dalam situasi yang tidak
nyaman itu, menunggu berubahnya perilaku pengelola sekolah, adalah seperti
menunggu godot (menunggu hal yang tidak pasti). Sekali lagi perlu ditekankan
bahwa menyalahkan pihak lain adalah jauh lebih mudah itu daripada introspeksi. Jadi
sekalai lagi perlu ditekankan bahwa berada pada situasi yang tidak menyenangkan
adalah situasi yang harus disyukuri. Hal ini karena situasi yang tidak menyenangkan
adalah merupakan situasi yang paling sesuai untuk menggali potensi diri dan
kreativitas.
Daftar Pustaka
Matland, R. E. (1995). Exit, voice, loyalty, and neglect in
urban school system. Social Science
Quarterly 76 (3), 506-512, September.
Michener, H. A. &
DeLamater, J. D. (1999). Social
psychology. (4th Ed.) Philadelphia: Harcourt Brace College
Publishers.
Rusbult, C. E., Zembrodt, I. M., & Gunn, L. K. (1982).
Exit, voice, loyalty, and neglect:: Responses to dissatisfaction in romantic
involvements. Journal of Personality and
Social Psychology., 43 (6), 1230-1242.
Zhou, J. & George, J. M.
(2001). When job dissatisfaction leads to creativity: Encouraging the
expression of voice. Academic of
Management Journal. 44(4), 682-696.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji