Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

ALOYSIUS NOMEN EIUS


Godelfridus Maria Beni Labi
Putera Almarhum Aloysius Rupa

Pada hari Selasa, 2 April 2013 yang lalu, ribuan warga Kedang berduyun-duyun mendatangi sebuah rumah duka di Aliuroba, Kedang – Lembata. Mereka hendak memberikan salam perpisahan untuk terakhir kalinya kepada Almarhum Bapak Aloysius Rupa. Hampir dari berbagai kalangan ketika itu datang menghadiri acara penguburan seseorang yang menurut penulis, sebetulnya adalah sosok yang biasa-biasa saja. Namun bagi sebagian besar pengunjung ketika itu, sosok seorang Aloysius Rupa bukanlah sosok yang biasa-biasa saja. Di hati sanubari sebagian besar pengunjung, sosok Aloysius Rupa, atau yang lebih dikenal sebagai Guru Alo adalah sosok yang patut dikenang dan dihargai. Ini adalah proses penguburan terakhbar di bumi Uyelewun. Belum ada sebelumnya di bumi yang dihuni etnis Kedang ini, sebuah peti jenazah diarak beramai-ramai oleh ribuan orang sejauh hampir setengah kilometer mengelilingi kampung sebelum dimasukkan ke liang lahat.
            Ada apa gerangan dengan sosok yang hanya tamatan Sekolah Guru B ini tetapi mampu merebut hati banyak warga yang berdiam di bawah kaki gunung Uyelewun? Ada apa gerangan dengan sosok yang selama hidupnya hanya berprofesi sebagai guru sekolah dasar ini sehingga kematiannya mengundang simpati banyak warga Kedang.
            Almarhum Guru Alo bukanlah seorang politisi meskipun ia sering didatangi tokoh politik terkemuka di Lembata ketika menjelang pileg atau pilkada. Almarhum bukanlah seorang pejabat meskipun semasa hidupnya sering ditemui para pejabat. Ia juga bukanlah seorang tua adat Kedang yang dihormati meskipun ia bisa dianggap cukup tahu baik dan sering menjadi rujukan dalam hal adat istiadat etnis Kedang. Hal ini dapat ditunjukkan oleh seringnya beliau dimintai pendapatnya baik oleh para mahasiswa maupun peneliti ketika membahas atau meneliti mengenai bahasa dan budaya Kedang. Penampilannya pun sederhana, jauh dari menarik. Hanya, menurut penuturan banyak pelayat ketika itu yang sempat mampir ke telinga penulis, beliau adalah seorang tokoh pendidik sekaligus tokoh agama. Benarkah demikian?
            Seorang guru pada era tahun 50-an bahkan sampai tahun 70-an rupanya berfungsi ganda; sebagai pendidik sekaligus sebagai katekis. Seorang guru ketika itu memang tidak hanya bertugas di kelas tetapi juga di bidang agama dan sosial kemasyarakatan. Guru tampil sebagai pemimpin ibadat, pengurus dewan stasi, bahkan tidak jarang menjadi kepala desa. Singkatnya, peran guru ketika itu tampak sebagai kuda beban bagi masyarakat tempat ia mengabdi. Dalam hal ini, seorang guru ketika itu dituntut untuk all round alias serba bisa. Ia harus all round di kelas, artinya bisa mengajar mata pelajaran apa saja; ilmu alam, ilmu hayat, berhitung, ilmu bumi, sejarah, agama, seni, dan berbagai mata pelajaran lainnya. Kondisi ini memang bisa di mengerti karena ketika itu tidak ada guru khusus mata pelajaran tertentu seperti saat ini. Lagi pula, saat itu karena kondisi kekurangan guru, seorang guru bisa merangkap dua atau tiga kelas sekaligus.
            Di luar kelas juga seorang guru ketika itu harus bisa bernyanyi dan bermain bola. Seorang guru dianggap baik oleh masyarakat ketika itu, jika ia mampu mengoordinasi paduan suara gereja (koor) dan mampu membentuk atau paling kurang terlibat dalam sebuah klub sepak bola, cabang olahraga yang banyak digemari masyarakat. Mengenai hal ini, ceritera pun bermunculan, antara lain; bahwa beliau adalah seorang dirigen ulung yang suatu ketika, dalam sebuah perayaan liturgi gereja pernah memimpin koor gabungan yang terdiri dari 12 suara, beliau juga menciptakan lagu-lagu gereja yang di antaranya ada yang dilombakan di tingkat Dekenat Lembata. Di tahun 60-an ia juga terlibat aktif sebagai pemain sepak bola dan bersama teman-temannya mendirikan klub sepak bola sendiri. Lantas, apakah dengan hal-hal seperti yang diceriterakan inilah yang membuat beliau mendapat simpati luar biasa di saat kematiannya? Tampaknya tidak.
            Ad captandum bene volentiam. Salah satu pemandangan unik yang terjadi pada peristiwa pemakaman ini adalah bahwa yang hadir di gereja Santa Maria Pembantu Abadi Aliuroba –Kedang ketika itu bukan hanya orang Katolik saja tetapi ada juga orang Muslim yang jumlahnya mencapai ratusan lebih orang. Ratusan wanita berjilbab dan pria berpeci Muslim hadir di sekitar altar gereja, tempat peti jenazah dibaringkan sebelum diantar ke pekuburan. Serombongan kelompok Muslim sebanyak dua mobil truk penuh berasal dari sebuah desa yang dulunya beliau pernah mengabdi sebagai guru. Mereka datang untuk menghormati Guru Alo karena bagi mereka Guru Alo tidak hanya berjasa di bidang pendidikan tetapi juga di bidang agama, khusus dalam hal pengajaran agama islam. Apakah benar demikian? Adakah masuk di akal kalau seorang Katolik dianggap berjasa dalam pengajaran agama Islam?
            Pada tahun 70-an Guru Alo menjadi Kepala SD Negeri di sebuah desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ketika itu belum ada guru khusus mata pelajaran agama, termasuk mata pelajaran agama Islam sebagaimana yang ada saat ini. Beliau mencari guru agama Islam untuk ditempatkan di sekolah yang dipimpinnya dan membiayainya sendiri gaji guru-guru agama itu. Untuk diketahui, pada waktu itu di wilayah Kedang, peran guru ngaji diambil alih oleh para Jou (atau Jou Lebe). Jumlah jou di wilayah Kedang ketika itu tidak banyak sehingga dengan demikian mereka memiliki posisi tawar tinggi. Untuk itu jika ada orangtua yang ingin agar anaknya bisa membaca dan memahami Kitab Suci Al Quran secara baik maka anaknya itu harus dititipkan pada seorang jou dan mengeluarkan biaya untuk membayar jou tersebut. Dengan adanya guru agama Islam di sekolah maka kesempatan untuk belajar membaca dan memahami Kitab Suci Al Quran terbuka luas untuk anak-anak muslim tanpa harus membayar. Mungkin inilah peran Guru Alo yang terus dikenang oleh serombongan umat muslim tadi.
            Beliau menolak dengan tegas untuk dibawa ke RS T. C. Hillers Maumere dengan alasan bahwa beliau tidak ingin anak-anaknya meninggalkan tugas karena harus menjaganya di Rumah Sakit. Maklum, dari tujuh anaknya, satu berprofesi sebagai pastor dan enam lainnya berprofesi sebagai PNS yang kebanyakan berada di luar Lembata. Dari keenam anak yang PNS itu empat di antaranya berprofesi sebagai guru, profesi yang sama digeluti beliau selama lebih dari 40 tahun. Beliau menyadari betul bahwa jika keempat anaknya yang berprofesi sebagai guru itu meninggalkan tugas karena harus menjaga beliau maka sudah barang tentu ratusan anak sekolah yang diajarkan anak-anaknya akan terlantar. Hal ini tentunya berlawanan dengan semangat dan idealisme yang sudah melekat dalam dirinya selama puluhan tahun.

Penulis yang adalah salah satu putera almarhum akhirnya tiba pada satu kesimpulan bahwa hal yang membuat Guru Alo yang meskipun orang biasa tetapi memperoleh simpati yang begitu besar adalah pengabdiannya yang tulus dan total yang ditunjukkan semasa hidupnya. Rupa-rupanya masyarakat mempunyai penilaian tersendiri terhadap seorang figur. Sesederhana apa pun cara penilaian mereka, akan tetapi itu berangkat dari apa yang mereka alami dan rasakan. Tidak ada dukung-mendukung lewat sms, twitter, email, apalagi kampanye terbuka. Semuanya berangkat dari hati sanubari mereka. Cara penilaian yang demikian objektif inilah yang membuat penulis akhirnya mengakui bahwa wajarlah kalau ia mendapatkan simpati yang begitu besar. Sementara, dalam pada itu penulis hanya mengurut dada seraya berkata, “Bapa, maafkanlah saya karena hanya mampu mengagumimu tetapi tidak sanggup meneladanimu”. Requiscat in pace.

Post a Comment

0 Comments