Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

EKOFEMINISME DI INDONESIA:

 

PELUANG DAN TANTANGAN PEREMPUAN SEBAGAI RATU  LINGKUNGAN HIDUP

Arundati Shinta

 


Perempuan dan kebersihan adalah dua hal yang sangat identik. Artinya perempuan diharapkan mempunyai peran sebagai pihak yang selalu tampil bersih, cantik dan wangi sehingga perempuan adalah figur ideal untuk semua iklan kosmetika dan industri mode. Perempuan juga diharapkan menjadi figur yang senang dengan kebersihan, karena secara kultural perempuan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kegiatan bersih-bersih di lingkungan rumahnya (Hickey, 2013). Oleh karena itu, standar kebersihan untuk perempuan adalah lebih tinggi daripada laki-laki (The´baud, Kornrich & Ruppanner, 2019). Tempat utama yang paling diharapkan untuk selalu dibersihkan adalah dapur. Ini karena perempuan akrab dengan kegiatan memasak dan dapur adalah ruang yang paling banyak menghasilkan sampah dibandingkan ruang-ruang lainnya.

 

Identiknya perempuan dengan kebersihan ini menunjukkan bahwa dibanding laki-laki, perempuan adalah pihak yang lebih tinggi konsumsinya dalam hal pembelian barang dan sekaligus produser sampah. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi korban dari buruknya pengelolaan sampah dan juga sekaligus bisa berperan sebagai ‘pahlawan lingkungan’. Perempuan sebagai korban dari buruknya pengelolaan lingkungan bisa terjadi, misalnya ketika mereka memasak air yang tercemar oleh sampah. Perempuan juga bisa berperan sebagai pahlawan lingkungan ketika mereka mengelola sampah secara ramah lingkungan, misalnya dengan membuat kompos, menjadi pengelola bank sampah, menjadi guru Sekolah Adiwiyata (Shinta, 2019), menjadi penggiat isu-isu lingkungan hidup (Shinta & Patimah, 2021), dan sebagainya.

 

Secara budaya, perempuan diharapkan masyarakat sebagai pihak yang bisa mengelola sampahnya (Hickey, 2013). Kriteria sampah berarti sampah rumah tangganya sendiri. Pengelolaan itu hendaknya dilakukan secara ramah lingkungan yakni dengan menguasai ketrampilan 3R yakni reduce, reuce, recycle (Harahap, Elisa, Nugroho & Widyaningsih, 2019). Reduce berarti ketrampilan mengurangi penggunaan plastik bungkus makanan sehingga produksi sampah berkurang. Reuse berarti menggunakan kembali barang-barang yang pernah dipakainya sehingga umur barang menjadi lebih panjang dan produksi sampah berkurang. Contohnya adalah menggunakan kembali kantung belanja plastik dari super market. Recycle berarti mendaur ulang barang-barang yang bisa didaur ulang, misalnya membuat kompos dari sampah dapur.

 

Kenyataan yang ada dalam kehidupan sehari-hari, sampah rumah tangga itu masih belum terkelola dengan baik (ramah lingkungan). Komposisi sampah rumah tangga itu adalah 60% berupa sampah organik, 16% sampah plastik dan sisanya adalah jenis sampah yang lain (kertas, besi, kaca, kaleng, kain, dan sebagainya) (Yasin, Darvina & Su’adah, 2021). Sampah-sampah itu tidak dipilah berdasarkan jenisnya, namun diserahkan kepada petugas sampah yang kemudian membuangnya di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) berdasarkan metode open dumping atau ditumpuk-tumpuk begitu saja. Pada 2016, Indonesia menduduki peringkat kedua karena produksi sampah makanan adalah 300 kg / orang / tahun. Peringkat pertama adalah Saudi Arabia yang membuang sampah makanan sebesar 427 kg / orang / tahun (Kompas 21 November 2020). Situasi ini menunjukkan bahwa figur perempuan masih belum mampu berperilaku 3R, dan mereka cenderung lebih memilih menyerahkan sampahnya kepada petugas sampah tanpa dipilah terlebih dahulu.

 

Sampah rumah tangga yang tidak dipilah-pilah itu harus dikelola dengan segera, karena menimbulkan aroma busuk dan menjadi sumber penyakit. Bahkan sampah plastik yang digunakan sebagai bahan bakar untuk tungku di dapur (pembakaran di bawah suhu 1000 0C), asapnya mengancam kesehatan manusia. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan akibat pembakaran plastik yang tidak sempurna antara lain iritasi kulit, saluran pernafasan terganggu, meningkatkan masalah menstruasi, keguguran dan anak yang dilahirkan kemungkinan besar akan mengalami gangguan pertumbuhan hingga usia 12 bulan (Karuniastuti, 2013).

 

Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang peluang dan tantangan bagi perempuan Indonesia dalam pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Pengelolaan sampah yang ramah lingkungan ini sangat penting untuk dibahas karena perempuan sangat rentan menjadi korban. Berdasarkan budaya, perempuan juga akrab dengan sumber-sumber penghasil sampah (misalnya dapur), sehingga perempuan sangat potensial menjadi pahlawan atau ratu lingkungan hidup. Selanjutnya, tulisan ini juga penting karena perempuan menempati peran stategis dalam keluarga yakni sebagai pendidik anak-anaknya. Diharapkan melalui tulisan ini, perempuan bisa mendidik anak-anaknya baik perempuan maupun laki-laki untuk bertanggungjawab terhadap sampah yang diproduksinya.

 

Mengapa Perempuan Menjadi Pahlawan Lingkungan?

 

Fenomena perempuan sebagai tokoh utama dalam bidang lingkungan hidup merupakan bagian dari gerakan ekofeminisme. Ekofeminisme adalah suatu gerakan yang membahas hubungan antara perempuan dengan alam tanpa adanya dominasi pada keduanya. Dibanding laki-laki, perempuan dianggap lebih sensitif terhadap alam, punya keahlian dan pengetahuan yang lebih baik tentang alam dan mempunyai kesadaran ekologi yang tinggi (Asnani, 2021; Mago & Gunwal, 2019). Perempuan juga dianggap mampu menjadi pemimpin dalam menghadapi masalah ekologi, termasuk pengelolaan sampah secara ramah lingkungan. Perempuan juga lebih mampu melakukan revolusi ekologis untuk menyelesaikan berbagai masalah lingkungan hidup melalui komunitas-komunitas yang  dibentuknya. Komunitas-komunitas itu fleksibel dalam melibatkan masalah ekologi dalam kehidupan sehari-hari. Ekofeminisme ini merupakan gerakan untuk mendorong perempuan aktif dalam mengelola lingkungan dan mendapatkan keuntungan  dari segi ekonomi tanpa merusak lingkungan. Gerakan ekofeminisme ini dikemukakan oleh Vandana Shiva dari India (Mago & Gunwal, 2019; Yasin et al., 2021).

 

Pada komunitas-komunitas perempuan, penekanan utama dari kepedulian pada lingkungan hidup adalah justru pada keberlangsungannya atau kelestariannya, alih-alih keuntungan finansial (Mago & Gunwal, 2019; Yasin et al., 2021). Kepedulian pada lingkungan hidup sebenarnya juga memberi keuntungan finansial, namun sifatnya tidak langsung serta membutuhkan waktu yang lama. Sebagai contoh, ketika lingkungan bersih karena sampah yang ada dikelola secara ramah lingkungan, maka penduduk di sekitar menjadi sehat sehingga tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli obat. Kondisi yang sehat ini tentu menghemat keuangan keluarga. Komunitas perempuan juga berperan dalam pembentukan peraturan, namun perannya tidak signifikan. Ini karena jumlah perempuan yang duduk di kursi legislatif dan eksekutif masih sedikit.

 

Dalam budaya patriakat, laki-laki lebih mendapat kesempatan untuk berbagai hal daripada perempuan. Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, laki-laki mendapat kesempatan pertama untuk memanfaatkan sumber daya alam. Kesempatan pertama itu membuat laki-laki mendapatkan uang yang lebih banyak dan cepat. Misalnya pada isu penambangan timah, para pekerjanya mayoritas adalah laki-laki. Setelah sumber daya alam itu habis, maka lubang galian tambang akan ditinggal begitu saja. Ketika hujan, lubang-lubang itu akan menjadi rawa yang sangat dalam dan berbahaya. Oleh penambang, rawa tersebut tidak dikonservasi namun ditinggal begitu saja karena alasan finansial dan mungkin merasa tidak perlu dikonservasi. Situasi tanah berlubang seperti ini banyak terjadi di Kalimantan. Ini berarti respon laki-laki pada isu-isu lingkungan hidup penekanannya pada keuntungan finansial. Dampaknya adalah alam dimanfaatkan sebesar-besarnya tanpa perlu adanya upaya konservasi (eksploitasi), karena upaya konservasi tersebut membutuhkan biaya yang sangat tinggi (Yasin et al., 2021).

 

Apakah laki-laki juga peduli dengan isu pengelolaan sampah? Dibanding dengan isu pengelolaan sumber daya alam, laki-laki cenderung enggan tampil pertama kali dalam hal sampah. Ini karena sampah dipersepsikan sebagai sesuatu yang buruk dan tidak menimbulkan nilai-nilai intrinsik atau motivasi internal (Yoada, Chirawurah & Adongo, 2019). Persepsi tersebut bermakna bahwa seberapa pun canggihnya sampah diolah, maka pengolahan itu tidak akan memberikan keuntungan sama sekali. Meskipun demikian, laki-laki tetap ikut berperan dalam pengelolaan sampah. Perannya antara lain dalam pembuatan peraturan, pengangkutan sampah (garbage men), serta pengolahan sampah yang menggunakan peralatan-peralatan besar dan berat. Ini karena jenis-jenis pekerjaan tersebut dipersepsikan sebagai pekerjaan maskulin. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan laki-laki dalam bidang sampah merupakan profesi yang mana konsekuensinya adalah uang.

 

Peranan perempuan dalam pengelolaan sampah, berbeda dengan laki-laki. Perempuan lebih mengutamakan pengolahan sampah yang lebih ramah lingkungan dengan cara menerapkan perilaku 3R. Bagi perempuan, mengelola sampah adalah urusan perilaku bukan teknologi. Meskipun tidak tersedia peralatan yang memadai, namun perempuan tetap bersedia mengelola sampahnya. Hal ini karena perempuan mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap pengelolaan sampah (Mago & Gunwal, 2019). Contoh yang sering terlihat adalah perempuan sebagai pengurus bank sampah yang handal (Ama, 2022), menjadi ratu kompos (Diana, 2017), membuat kerajinan dari sampah plastik (Chalifah, 2022). Situasi ini menunjukkan bahwa kiprah perempuan dalam pengelolaan sampah cenderung pada keuntungan non finansial dan berkelanjutan.

 

Peluang dan Tantangan Perempuan Sebagai Ratu Lingkungan Hidup

 

Perempuan berdasarkan budaya, memang berpeluang tinggi menjadi ratu lingkungan hidup. Ini karena kegiatan sehari-hari perempuan erat hubungannya dengan dapur, dan dapur merupakan area sumber sampah dapur. Selain itu, perempuan juga sangat akrab dengan anak-anak, sehingga mereka lebih memahami kebutuhan anak-anaknya. Mereka menjadi figur penentu dalam pembelian barang-barang kebutuhan anggota keluarga (Astuti, 2013). Situasi ini menunjukkan bahwa figur ibu tinggi peluangnya untuk membuat sampah rumah tangga menjadi terkelola secara ramah lingkungan atau justru menghasilkan timbulan sampah yang tinggi.

 

Dalam masyarakat, perempuan juga tinggi peluangnya untuk menjadi ratu lingkungan hidup. Ini karena perempuan piawai dalam membuat komunitas-komunitas pemberdayaan warga (Mago & Gunwal, 2019; Yasin et al., 2021). Salah satu komunitas yang berhubungan dengan pengelolaan sampah adalah bank sampah. Contoh bank sampah unggulan adalah Bank Sampah Mutiara Timor di Lupang, Nusa Tenggara Timur (Ama, 2022). Pimpinan Bank Sampah Mutiara Timor tersebut adalah seorang perempuan. Pada awal berdirinya, April 2020, ia sanggup mengirimkan sampah plastik seberat 2 ton per bulan ke Surabaya melalui kapal. Kini, ia sanggup mengirimkan 20 ton sampah plastik per bulan. Lebih dari 80% karyawan bank sampah tersebut adalah ibu rumah tangga. Bank sampah tersebut tidak mengejar keuntungan finansial, namun lebih mengutamakan kebersihan kota Kupang.

 

Peluang dan kinerja perempuan untuk menjadi ratu lingkungan hidup, sayangnya, tidak diikuti dengan kenyataan yang ada. Sampah rumah tangga itu tidak terkelola dengan baik (ramah lingkungan). Bahkan Indonesia menjadi ‘juara dua’ tingkat dunia untuk banyaknya produksi sampah makanan pada 2016. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia belum mampu berperilaku 3R secara rutin. Perempuan kurang mendapatkan pengetahuan serta ketrampilan dalam pengelolaan sampah (Yunita, 2019). Perilaku recycle (mendaur ulang barang-barang) masih dipersepsikan sebagai hal yang tidak menyenangkan bahkan merepotkan (Chaesfa & Panjaitan, 2013). Situasi ini merupakan tantangan bagi perempuan untuk lebih peduli pada sampah yang diproduksi rumah tangganya.

 

Berdasarkan pengalaman di Desa Siti Mulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, terungkap bahwa para ibu kurang partisipasinya dalam mengelola sampah rumah tangga (Setyawati & Siswanto, 2020). Kurangnya partisipasi tersebut lebih disebabkan alasan eksternal, alih-alih alasan internal individu (adanya rasa malas). Adapun alasan eksternal yang menjadi penghalang rendahnya partisipasi tersebut antara lain:

  • Merasa kekurangan waktu karena para ibu disibukkan dengan pengurusan rumah tangga atau urusan domestik.
  • Sosialisasi yang tidak optimal dari para tokoh masyarakat tentang ketrampilan mengolah sampah.
  • Jauhnya lokasi bank sampah dengan tempat tinggalnya.
  • Terlalu berorientasi pada masalah finansial, sehingga mereka merasa harga sampah yang ditetapkan bank sampah terlalu rendah.
  • Kegiatan membuat kompos dipersepsikan maskulin karena membutuhkan tenaga yang besar.
  • Kurang mampu memasarkan barang-barang kerajinan hasil daur ulang sehingga mereka tidak termotivasi.  

 

Untuk masyarakat dengan budaya kolektif seperti Indonesia, peran otoritas (tokoh masyarakat, pemimpin daerah) adalah sangat menentukan agar terbentuk perubahan perilaku. Hal ini terlihat dari pengalaman mengelola sampah di Kabupaten Manokwari, propinsi Papua Barat (Waliki, Tjolli & Warami, 2020). Variabel arahan dan suri tauladan dari tokoh masyarakat kuat pengaruhnya terhadap kesediaan warga mengelola sampahnya. Kurangnya sarana dan prasarana pengelolaan sampah ternyata kurang kuat pengaruhnya terhadap kesediaan warga mengelola sampahnya.

 

Keadaan masyarakat Indonesia yang sifatnya kolektif ini, merupakan tantangan bagi perempuan-perempuan Indonesia yang kebetulan menempati posisi sebagai pemimpin. Sebagai contoh adalah pemimpin organisasi PKK. Bila pemimpin PKK menginginkan daerahnya menjadi bersih, sehat dan nyaman, maka warganya baik perempuan maupun laki-laki juga harus bersedia mengelola sampahnya secara ramah lingkungan. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh para perempuan pemimpin antara lain:

 

  1. Mengundang tenaga ahli dari perguruan tinggi terdekat, untuk ikut terlibat dalam perbaikan lingkungan di sekitar perguruan tinggi. Mereka diharapkan mengadakan pelatihan pada masyarakat tentang pengelolaan sampah melalui perilaku 3R. Lazimnya, pelibatan perguruan tinggi itu melalui kegiatan KKN mahasiswa secara reguler atau melalui kegiatan dosen dalam pengabdian pada masyarakat. Kegiatan mengundang pihak perguruan tinggi ini tidak membutuhkan biaya, kecuali bila ada konsekuensi peralatan-peralatan yang mahal. Dalam situasi keterbatasan keuangan, pihak perguruan tinggi justru ditantang untuk menciptakan metode dan peralatan yang harganya terjangkau, mudah dan cepat pengoperasiannya. Strategi ini bisa dilakukan terutama bila di daerah tersebut belum ada TPST (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu), bank sampah, atau keberadaan bank sampah yang mati suri. Kehadiran pihak perguruan tinggi ini diharapkan bisa memberi pemahaman kepada warga, baik perempuan maupun laki-laki, bahwa pengelolaan sampah adalah tanggung jawab pemerintah dan juga masyarakat. Peran masyarakat akan semakin kuat ketika peran pemerintah daerah belum memadai.

 

  1. Meminta bantuan perusahaan terdekat juga bisa dilakukan oleh perempuan pemimpin untuk ikut membangun perilaku 3R bagi warga setempat. Ini sudah dilakukan misalnya oleh perusahaan Unilever yang membina bank sampah melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Perusahaan minuman Coca Cola dan Aqua juga sudah membina masyarakat untuk mengelola sampah anorganik khususnya botol plastik. Strategi ini bisa dilakukan ketika di daerah tersebut sudah ada bank sampah namun bank sampah tersebut kurang berkembang. Untuk menembus CSR suatu perusahaan adalah sangat tidak mudah, karena biasanya pihak perusahaan meminta proposal kegiatan. Tidak banyak pimpinan perempuan yang bisa menghubungi CSR perusahaan. Dalam situasi ini, peran mahasiswa dan dosen perguruan tinggi sangat kuat. Mereka sangat terbiasa untuk membuat proposal kegiatan.

 

Kesimpulan

 

Perempuan mempunyai peluang yang sangat besar untuk berperan menjadi pahlawan lingkungan atau ratu lingkungan hidup, terutama dalam hal pengelolaan sampah. Peran tersebut sangat didukung oleh faktor budaya. Ini terjadi karena area rumah yang menjadi penghasil sampah paling banyak adalah dapur, dan kegiatan di dapur seperti memasak menjadi kegiatan yang paling sering dilakukan oleh perempuan. Selain faktor budaya, gerakan ekofeminisme juga menjadi faktor yang mendukung perempuan sebagai ratu lingkungan hidup. Dalam pandangan tersebut, perempuan mempunyai potensi yang kuat seperti sensistif terhadap kondisi alam, mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi untuk mengelola lingkungan tanpa mendominasinya, serta mempunyai kesadaran ekologi yang tinggi. Mengelola lingkungan termasuk sampah tidak bisa dilakukan sendiri, namun harus dilakukan dalam komunitas-komunitas. Komunitas yang sukses mengelola sampah secara ramah lingkungan adalah bank sampah Mutiara Timor di Lupang, Nusa Tenggara Timur. Pengelola komunitas bank sampah tersebut adalah perempuan yang mempunyai latar belakang pendidikan sebagai sarjana perencanaan lingkungan dan wilayah dari Grifith University, Australia (Ama, 2022).

 

Perempuan juga menghadapi tantangan dalam hal pengelolaan sampah. Meskipun perempuan piawai dalam mengelola sampah, namun jumlah sampah makanan di Indonesia ternyata menempati posisi peringkat kedua setelah Saudi Arabia pada 2016. Ini artinya potensi perempuan dalam mengelola sampahnya berdasarkan perilaku 3R, belum tergali dengan optimal. Menyalahkan pihak pemerintah karena abai dalam urusan sampah ini, adalah langkah yang tidak bijak. Ada dua strategi yang bisa dilakukan pemimpin perempuan agar warganya bersedia mengelola sampahnya secara ramah lingkungan. Strategi itu adalah mengundang pihak perguruan tinggi untuk melatih ketrampilan untuk berperilaku 3R dan meminta bantuan perusahaan melalui kegiatan CSR tentang pengelolaan sampah.

 

Daftar Pustaka

 

Ama, K.K. (2022) Meilsi Anita Mansula: Kepedulian mengelola bank sampah. Dalam Kompas. 17 Oktober, halaman, 16.

Asnani, B. (2021). Eco-Feminism: Women as environment conservationist. In V. Manjrankar, S., Mishra, V. Kumari & D.L. Barate (Editors). Agricultural science: Research and reviews. III. Nigave Khalasa, Kolhapur, India: Bhumi Publishing. pp. 109-120.

Astuti, E.D. (2013). Perilaku konsumtif dalam membeli barang pada ibu rumah tangga di kota Samarinda. eJournal Psikologi. 1(2), 148-156.

Chalifah, A. (2022). Perempuan-perempuan hebat dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Hijauku.com. 30 Juli. Retrieved on Nov. 9, 2022 from:

https://hijauku.com/2022/07/30/perempuan-perempuan-hebat-dalam-pengelolaan-sampah-di-indonesia/

Chaesfa, Y. & Pandjaitan, N.K. (2013). Persepsi perempuan terhadap lingkungan hidup dan partisipasinya dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 1(2), Agustus, 165-181.

Harahap, D.H., Elisa, Nugroho, R.W. & Widyaningsih, S.S. (2019). Kreativitas dan inovasi pada kegiatan pemanfaatan kembali sampah (reuse). Dalam A. Shinta (Ed.). Memuliakan sampah: Konsep dan aplikasinya di dunia pendidikan dan masyarakat. Yogyakarta: Deepublish. Halaman 39-52.

Hickey, G. (2013) “Really, most of the women’s work is in the kitchen, cooking, you know?”: Gender in U.S. South Asian food narratives. AIC. 11(1), 71-84.

Karuniastuti, N. (2013). Bahaya plastik terhadap kesehatan dan lingkungan. Swara Patra. 3(1), 6-14.

Kompas (21 November 2020). Makanan masih terbuang. Halaman 8.

Mago, P. & Gunwal, I. (2019). Role of women in environment coservation. SSRN Electronic Journal. January. DOI: 10.2139/ssrn.3368066

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3368066

Setyawati, E.Y. & Siswanto, R.S.H.P. (2020). Partisipasi perempuan dalam pengelolaan sampah yng bernilai ekonomi dan berbasis kearifan lokal. Jambura Geo Education Journal. 1(2), September, 55-65.

http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/jg

Shinta, A. (2019). Penguatan pendidikan pro-lingkungan hidup  di sekolah-sekolah untuk meningkatkan kepedulian generasi muda pada lingkungan hidup. Yogyakarta: Best Publisher.

Shinta, A. & Patimah, A.S. (2021). Usaha-usaha untuk mengatasi perasaan bersalah: Sebuah pengalaman dalam pendampingan sekolah untuk mencapai predikat Adiwiyata. Dalam A. Shinta (Ed.). Berkubang vs. menuntaskan masalah: Berpikir dan bertindak inovatif dalam menyelesaikan masalah. Yogyakarta: Deepublish. Halaman 91-105.

The´baud, S., Kornrich, S. & Ruppanner, L. (2019). Good housekeeping, great expectations: Gender and housework norms. Sociological Methods & Research. XX(X), 1-29. DOI: 10.1177/0049124119852395

Waliki, Y., Tjolli, I. & Warami, H. (2020). Perilaku masyarakat dalam mengelola sampah rumah tangga di Distrik Manokwari Timur Kabupaten Manokwari, Cassowary. 3(2), 127-140.

Yasin, F., Darvina, V.S. & Su’adah (2021). Gerakan ekofeminisme melalui pengelolaan sampah rumah tangga pada komunitas Zona Bening di Kota Batu Jawa Timur. Jurnal Perempuan dan Anak (JPA). 4(2), Agustus 2021, 104-119.

Yoada, R.M., Chirawurah, D. & Adongo, P.B. (2014). Domestic waste disposal practice and perceptions of private sector waste management in urban Accra. BMC Public Health. 14:697. http://www.biomedcentral.com/1471-2458/14/697

doi: 10.1186/1471-2458-14-697.

Yunita, P. (2019). Gender role in environmental protection indeveloping countries: Case study Indonesia. INTERAKTIF Jurnal Ilmu-ilmu Sosial. 11(1), 124-126.

 

Catatan:

Tulisan ini ditujukan untuk Lomba Foto dan Karya Tulis yang diselenggarakan oleh Harian Kompas dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Tema lomba adalah “Inspirasi Perempuan Indonesia”. Kompas, 2 Oktober 2022.

 

 

 

 

 

 

Post a Comment

0 Comments