Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

KEUTAMAAN PENGELOLAAN SAMPAH ADALAH PERILAKU BUKAN TEKNOLOGI:

 

CERAMAH & PELAYANAN MASYARAKAT DI KAMPUNG GENDENG YOGYAKARTA

Arundati Shinta

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta


Pada awal tahun 2000-an, saya sudah tertarik dengan pengelolaan sampah dapur. Ini karena timbulan sampah dapur di rumah saya semakin lama semakin menggunung dan menimbulkan aroma bau yang tidak tertahankan. Belum lagi lalat-lalat berterbangan di sekitar dapur, mengancam standar kebersihan dan kesehatan di rumah saya. Pada waktu itu, cara mengolah sampah dapur hanya dengan menguburnya di halaman belakang rumah. Setelah satu bulan, kuburan sampah sudah penuh dan ditimbun dengan tanah lagi. Selanjutnya saya membuat lubang baru lagi di sampingnya. Begitu seterusnya, sampai ada sekitar 4 lubang. Setelah lubang ke-4 penuh, saya kembali lagi ke lubang pertama dengan harapan sampah sudah musnah. Ternyata, sampah pada lubang pertama masih utuh. Saya frustrasi menghadapi situasi itu, dan kemudian memutuskan sampah dapur di buang di bak sampah umum di kota saja. Sampah kebun selanjutnya dibakar saja. Saya menjadi tidak peduli lagi dengan pengelolaan sampah.

 

Permasalahan dalam tulisan ini adalah rendahnya pengetahuan dan ketrampilan saya dalam mengolah sampah organik (sampah dapur dan sampah kebun). Idealnya, saya seharusnya bisa mengolah sampah organik secara ramah lingkungan. Ini karena saya sebagai dosen mengampu pelajaran Psikologi Lingkungan. Sungguh memalukan bila ternyata saya hanya bisa menceramahi mahasiswa saja tanpa ada suri tauladan perilaku dari dosennya. Hal yang menakjubkan, ternyata saya bisa menahan rasa malu ini sampai bertahun-tahun. Sungguh tebal muka saya, ibaratnya muka tembok. Jadi dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan tentang perjalanan pengalaman saya dari tidak peduli menjadi peduli pada pengelolaan dam pengolahan sampah yang ramah lingkungan, yang ternyata membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun.

Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri saya tentang pengelolaan sampah. Mulai dari rasa penasaran, kegagalan dalam eksperimen mengolah sampah, malu karena diejek suami, frustrasi berulang kali, menjadi tidak peduli dalam jangka waktu sangat lama, mencoba eksperimen kembali, dan akhirnya menjadi peduli lagi pada pengolahan sampah. Situasi ini sangat lazim terjadi pada berbagai praktek-praktek kreatif dan inovatif. Hal yang hendaknya dijaga terus adalah api atau semangat penasaran dan rasa ingin tahu yang tidak boleh padam.


Rasa penasaran tentang pengolahan sampah adalah ketika saya mendapat tugas sebagai pengampu pelajaran Psikologi Lingkungan. Dari berbagai sumber, saya akhirnya memahami bahwa pengelolaan sampah adalah salah satu butir pembahasan yang sangat penting Psikologi Lingkungan. Pengelolaan sampah mendapat porsi besar karena hal itu berkaitan dengan perilaku, sedangkan keberadaan teknologi merupakan alat pembantu untuk mempermudah pengolahan sampah. Artinya, tanpa adanya teknologi pun sampah dapat diolah secara ramah lingkungan, meskipun membutuhkan waktu yang sangat lama. Contoh pengolahan sampah yang sedikit membutuhkan teknologi adalah membuat kuburan sampah, seperti yang saya tulis pada bagian pembukaan. Teknologi yang dipakai adalah cangkul saja.

Setelah mengampu Psikologi Lingkungan, sampah yang saya kelola pertama kali adalah sampah dapur. Ini karena berkaitan langsung dengan praktek sehari-hari yakni memasak. Seperti telah saya sebutkan di atas, praktek menggali lubang untuk sampah organik hanya bertahan sekitar 4 bulan saja. Selanjutnya muncul perasaan malas dan tidak peduli, karena hasilnya tidak bagus atau sampah masih tetap utuh meskipun sudah dikubur selama 4 bulan. Hal ini berlangsung selama 2 tahunan.

Pada suatu hari, saya sangat beruntung karena saya membaca di harian Kompas tentang pengolahan sampah dengan peralatan yang sederhana yang disebut dengan komposter. Sang wartawan mendeskripsikan cara kerja komposter dengan sangat jelas, sehingga saya tertarik untuk membelinya. Komposter itu terbuat dari sebuah tong plastik besar berukuran diameter sekitar 50 cm dengan tinggi 100 cm, serta bertutup. Pada bagian dasar tong ada sebuah pipa kecil yang berguna untuk mengalirkan air lindi. Harga komposter pada waktu itu adalah Rp. 120.000,-. Penjual komposter sudah menjelaskan cara kerja komposter yang ternyata memang sederhana dan mudah. Saya sangat senang dan dalam angan-angan saya, timbulan sampah dapur saya akan musnah seketika.

Pada suatu hari, saya makan buah semangka. Saya menyuruh asisten rumah tangga untuk merajang kulit buah semangka dengan ukuran sekitar 5 cm x 5 cm. Tugas yang dianggap mudah itu ternyata membutuhkan waktu yang lama juga. Saya mencoba membantu, dan merasakan betapa sulitnya mengiris kulit buah semangka. Belum lagi sampah dapur yang lain, menunggu untuk dirajang. Rajangan sampah dapur itu kemudian dimasukkan dalam komposter dan ditimbun dengan tanah. Lama-lama saya bosan dan merasa terbebani. Saya heran mengapa pengelolaan sampah dengan komposter tidak semudah seperti berita di koran Kompas tersebut. Saya menjadi frustrasi lagi dan komposter itu saya onggokkan di pojok gudang. Tidak berapa lama, suami saya membersihkan gudang dan ia menemukan komposter yang menganggur. Ia tertawa terbahak-bahak sambil mengejek tentang komposter tersebut. Saya merasa bersalah karena sudah memboroskan uang, dan saya tidak berkutik. Sejak saat itu saya menjadi tidak peduli lagi dengan pengelolaan sampah. Kalau pun ada berita-berita di surat kabar, saya hanya membacanya saja dan tidak ada niatan sedikit pun untuk mempraktekkannya.

Pada pertengahan 2019, saya mencoba lagi mengolah sampah dapur namun dengan peralatan yang sederhana dan murah yakni karung gandum. Prinsip murah harus diutamakan karena saya selalu teringat dengan sejarah komposter yang mengenaskan itu. Saya melakukan puluhan percobaan dan juga mengikuti ratusan kursus pengolahan sampah baik secara tatap muka maupun daring. Akhirnya sekarang ini, saya sudah bisa mengolah sampah dapur dan sampah kebun tanpa perlu menggali lubang di halaman rumah atau pun membakarnya. Peralatannya juga sederhana yakni gentong tanah liat dengan ukuran tinggi sekitar 35 cm dan diameter 30 cm. Proses fermentasi sampah hanya sekitar 14 hari saja, dan sampah sudah berubah menjadi kompos cantik yang siap digunakan. Tampilan kompos saya tidak berbeda jauh dengan kompos yang dijual di toko-toko.

Kunci utama pengolahan sampah, baik organik maupun anorganik adalah perilaku manusia. Perilaku yang dituju adalah ketekunan, tidak menunda-nunda, tidak patah semangat dalam menghadapi kegagalan dan kreatif. Perilaku tekun penting, karena sampah selalu ada sepanjang manusia hidup dan beraktivitas. Perilaku tidak menunda-nunda penting karena sampah yang tertunda untuk diolah akan menimbulkan aroma busuk dan mengganggu kenyamanan hidup. Perilaku gigih penting karena bergaul dengan sampah adalah sulit menumbuhkan semangat / motivasi internal. Hal ini dapat dipahami karena harga sampah itu sangat murah bila dijual bahkan sering tidak laku. Selain itu, sampah juga sulit untuk diubah menjadi sesuatu yang berharga. Kalau pun sampah diubah menjadi barang bagus, maka barang itu belum tentu dibutuhkan manusia. Dampaknya, harganya menjadi sangat murah. Di sisi lain, mengolah sampah itu membutuhkan usaha-usaha yang sangat mahal. Sangat tidak sepadan bila mengharapkan imbalan finansial yang tinggi dengan cara mengolah sampah. Bagaimana pun, pengolahan sampah yang ramah lingkungan tetap harus dilakukan, karena sampah adalah bagian dari kehidupan manusia juga.

Tulisan ini adalah bagian dari kegiatan ceramah dan pelayanan masyarakat yang dilakukan di Kampung Gendeng, RT 72, RW 18, Baciro Yogyakarta. Pertemuan dilakukan pada 10 November 2022, di rumah Ibu Bening Hadilinatih. Beliau adalah Ketua PKK di Kampung Gendeng tersebut. Pertemuan dihadiri sekitar 20 ibu anggota PKK.

Post a Comment

0 Comments