MENGELOLA SAMPAH DENGAN CARA LEARNING BY DOING
DI SMPN 4 PAKEM SLEMAN YOGYAKARTA
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Ada banyak orang yang tidak peduli dengan timbulan sampah di sepanjang jalan yang menimbulkan aroma busuk. Selain itu pemandangan sepanjang jalan juga sangat tidak menyenangkan. Apa yang menyebabkan terjadinya timbulan sampah yang menjijikkan ini? Ada banyak penyebabnya, namun satu penyebab yang hampir selalu dikemukakan pada banyak tulisan adalah masyarakat tidak peduli pada pengelolaan sampah. Mengapa masyarakat tidak peduli? Alasannya sederhana yakni masyarakat tidak tahu cara-cara mengelola sampah yang ramah lingkungan.
Pada umumnya, cara pengelolaan sampah oleh masyarakat adalah membakarnya, membuangnya pada sumber-sumber air (selokan, laut, danau, sungai), membuang di tanah-tanah kosong (hutan, rumah kosong, jurang, lahan terlantar), dan menyerahkan sampah pada petugas sampah. Sampah-sampah tersebut masih belum dipilah, yang mana sampah organik dan anorganik masih bercampur-baur. Sangat sedikit masyarakat (kurang dari 2%) yang mau mengelola sampahnya secara ramah lingkungan, seperti membuat kompos (Shinta, 2019).
Bagaimana cara mengingatkan masyarakat akan bahaya pengelolaan sampah yang tidak ramah lingkungan? Bagaimana caranya agar masyarakat termotivasi untuk mau mengolah sampahnya secara ramah lingkungan? Idealnya, untuk mengenalkan perilaku pro-lingkungan hidup adalah dengan mempromosikannya secara masif. Adakan banyak pelatihan tentang pengelolaan sampah. Permasalahan dari tulisan ini adalah adanya kenyataan yang pahit, yakni pelatihan-pelatihan tersebut tidak efektif. Hal ini didukung oleh suatu percobaan tentang hubungan antara sikap dan perilaku (James, 2010). Dalam eksperimen tersebut, peneliti secara sengaja ‘menebarkan’ sampah di lantai tempat pelatihan berlangsung. Hasil eksperimen adalah 94% peserta mengatakan bahwa mereka bertanggungjawab untuk membersihkan sampah-sampah tersebut. Hal yang menarik adalah hanya 2% peserta yang benar-benar secara nyata membersihkan sampah tersebut. Apa yang keliru dengan pelatihan-pelatihan tersebut?
Beranjak pada permasalahan tersebut di atas, maka penulis mendisain sebuah pelatihan pengelolaan sampah dengan penekanan pada praktek, alih-alih mendengarkan ceramah. Pelatihan diadakan di SMPN 4 Pakem Sleman Yogyakarta pada 16 Agustus 2024. Waktu yang disediakan adalah 2 jam, mulai pukul 0940-1140 WIB. Berikut adalah materi pelatihan pengelolaan sampah:
Tabel 1. Materi Pelatihan Pengelolaan Sampah Learning By Doing
No |
Keterangan |
Alat |
Waktu |
1 |
Pembukaan, perkenalan diri & asisten |
- |
2 menit |
2 |
Ceramah, judul “Mengelola sampah dengan cara learning by doing”. |
Ppt |
10 menit |
3 |
Praktek ke-1: Mengenal jenis-jenis sampah dan menyiapkan untuk pergi ke bank sampah |
o Tas kresek besar isinya berbagai sampah o Pisau / gunting (siswa) |
25 menit |
4 |
Praktek ke-2: Mengatasi rasa malas membuang sampah pada tempatnya – membuat tong sampah sendiri |
o Kertas koran o Lem |
25 menit |
5 |
Praktek ke-3: Mengolah sampah organik. Siswa menggunting daun-daun, dan mendapat penjelasan tentang cara membuat kompos. |
o Daun-daun dalam kantung o Pembagian 1 botol EM4 & 1 botol molase o Gunting (siswa) |
20 menit |
6 |
Praktek ke-4: Upcycling barang bekas menjadi cantik |
o Pembagian 1 goodie bag dari kalender o Spidol / alat menggambar (siswa) |
20 menit |
7 |
Tanya jawab |
- |
13 menit |
8 |
Penutup, pamitan & membersihkan lokasi & potret bersama. Setiap siswa mengangkat goodie bag |
- |
5 menit |
|
|
Total waktu |
120 mnt |
Tabel 1 memperlihatkan materi pengelolaan sampah yang mana porsi ceramah hanya 20% sedangkan 80% alokasi waktu ditujukan untuk praktek langsung. Ceramah yang diberikan kepada peserta hanya 7 slide saja, dan mayoritas slide berisi gambar-gambar yang menarik. Pada praktek ke-1, peserta diajak untuk mengenal jenis-jenis sampah dan langsung memilahnya. Hasil pemilahan adalah sampah siap untuk ditabung di bank sampah terdekat. Ketika pelatihan berlangsung, ternyata para siswa kurang mengetahui jenis-jenis sampah secara detil yang mana sampah tersebut bisa ditabung di bank sampah. Mungkin ini karena pemilahan sampah yang ada di SMPN4 hanya 3 yakni organik, plastik, dan kertas. Kemungkinan yang lain adalah para orangtua di rumah tidak mempraktekkan pemilahan sampah sehingga anak-anak juga tidak terbiasa memilah sampah. Ini terlihat dari banyaknya siswa yang mengakui bahwa sampahnya di rumah diambil petugas sampah.
Pada praktek ke-2, peserta diajak untuk memerangi rasa malas membuang sampah pada tempatnya berdasarkan jenisnya. Materi ini berdasarkan pada penelitian di Belanda (Leijdekkers et al., 2010) bahwa responden malas untuk meletakkan sampah pada tempatnya karena tong sampahnya penuh atau tong sampahnya tidak tersedia. Selain itu, berdasarkan pengamatan, banyak orang-orang meletakkan sampah pada tempatnya karena mager atau males bergerak. Mager ini adalah ciri khas anak-anak muda. Oleh karena itu, agar para siswa itu mau membuang sampah pada tempatnya maka mereka belajar membuat tong sampah. Bahannya adalah kertas koran. Tong sampah itu khusus untuk jenis sampah kertas, dan diletakkan di kamar belajar siswa. Ketika pelatihan berlangsung, sebagian besar siswa lancar dalam membuat tong sampah. Tangan-tangan mereka terlatih dalam tugas prakarya.
Pada praktek ke-3, peserta diajak mengolah sampah organik. Sampah organik berupa daun-daun kering. Cara mengolah sampah adalah dengan menggunting daun-daun tersebut, karena semakin kecil ukuran sampah maka semakin cepat sampah itu terurai di alam. Setiap siswa juga menerima 1 botol EM4 dan 1 botol molase, yang mana 2 ramuan tersebut mempercepat proses penguraian sampah. EM4 itu hasil dari percobaan penulis sendiri, yakni dengan cara fermentasi kulit nanas selama 2 minggu. Ketika pelatihan berlangsung, menggunting daun-daun tersebut agak asing bagi para siswa. Mereka juga tidak mengetahui cara membuat kompos. Pemberian molase dan EM4 adalah untuk memfasilitasi perilaku mengkompos sampah dapur dan sampah kebun mereka. Selanjutnya anak-anak itu juga diharapkan menjadi agen perubahan paling tidak pada skala rumah tangga mereka.
Pada praktek ke-4, peserta diajak untuk berperilaku up-cycling. Up-cycling adalah membuat cantik dan menjadi berguna sebuah sampah. Materinya adalah setiap siswa mendapatkan goodie bag yang terbuat dari kertas kalender yang sudah tidak berguna. Goodie bag itu merupakan hasil percobaan penulis selama beberapa lama, dan sangat kuat untuk membawa berbagai barang produk dari Boronia (Boronia adalah merek dari berbagai produk hasil eksperimen penulis). Ketika pelatihan berlangsung, para siswa senang mempercantik goodie bag dengan cara menggambarnya. Ide mereka dalam menggambar ternyata bagus. Goodie bag yang dihasilkan menjadi cantik.
Merancang pelatihan yang penekanannya pada praktek alih-alih teori ini memang berat, terutama dalam hal persiapannya. Penulis harus mampu menyiapkan berbagai sampah dalam kondisi bersih, kering serta jumlahnya banyak (sesuai dengan jumlah siswa). Selain itu, penulis juga harus menyiapkan materi yang merupakan karya sendiri. Contohnya adalah EM4. Penulis harus sudah menyiapkan EM4 jauh hari dalam jumlah yang sangat banyak, bahkan sebelum mengetahui adanya kesempatan untuk mengadakan pelatihan.
Bagaimana efektivitas pelatihan yang penekanannya adalah praktek alih-alih menyimak teori? Memang belum ada penelitian nyata. Meskipun demikian, ada 4 indikator pelatihan ini lumayan efektif.
1) Setelah pelatihan usai, ternyata ada banyak siswa yang mempertanyakan dengan kritis materi pelatihan. Artinya, para siswa itu tertarik pada materi pelatihan dan mereka ingin mempraktekkannya di rumah.
2) Setelah pelatihan usai, para guru bertekad mempraktekkan isi pelatihan dengan mendisain berbagai kegiatan di sekolah. Kegiatan yang sudah direncanakan adalah mempraktekkan pencacahan sampah kebun dan menjadi nasabah bank sampah terdekat.
3) Materi pelatihan ini merupakan salah satu persyaratan bagi terwujudnya Sekolah Adiwiyata tingkat nasional. Tekad untuk mewujudkan Sekolah Adiwiyata ini harus diapresiasi, karena hanya sekolah dengan kriteria tertentu saja yang sanggup mewujudkannya. Kriteria itu antara lain adalah adanya figur guru yang kuat motivasinya dalam mewujudkan green curricculum di sekolah tempatnya mengajar.
4) Pelatihan pada 16 Agustus 2024 ini adalah pelatihan kedua. Artinya, pihak manajemen SMPN 4 cukup puas dengan pelatihan dari penulis.
Apa manfaat pribadi pelatihan yang istimewa ini? Hal krusial yang diperoleh penulis adalah pentingnya perilaku menciptakan sendiri peluang untuk sukses, bukan menunggu kesuksesan tersedia di depan mata.
Daftar Pustaka:
James, R. (2010). Promoting sustainable behavior: A guide to successful communication. Berkeley, University of California: Berkeley Bright Green, Oggice of Sustainability.
Leijdekkers, S., Marpaung, Y.M., Meesters, M., Naser, A.K., Penninx, M., Van Rookhuijzen, M. & Willems, M. (2010). Effective interventions on littering behaviour of youngsters. What are the ingredients?. Thesis. Wageningen University, Netherlands.
Shinta, A. (2019). Penguatan pendidikan pro-lingkungan hidup di sekolah-sekolah untuk meningkatkan kepedulian generasi muda pada lingkungan hidup. Yogyakarta: Best Publisher.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji