MENGUBAH DIRI MENJADI LEBIH BAIK MELALUI KEGIATAN OLAHRAGA
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Ketika lulus sekolah paling bergengsi, cita-cita saya adalah mengubah dunia menjadi lebih baik. Setelah lulus, saya melakukan pembenahan-pembenahan di tempat kerja. Tujuannya adalah agar situasi kerja tidak toxic. Hasilnya, teman-teman kerja justru menghina saya. Saya terpuruk. Ketika terpuruk itulah, saya membaca nasehat Jalaluddin Rumi, penyair sufi yang tersohor dan lahir pada 1207. Ia menulis “Kemarin aku merasa pintar karena itu aku ingin mengubah dunia. Sekarang aku lebih bijaksana, maka aku mulai mengubah diriku sendiri” (Latif, 2012). Nasehat Rumi adalah jawaban dari permasalahan psikologi inovasi. Semua orang ingin mengubah orang lain, kecuali dirinya sendiri. Jadi permasalahan tulisan ini adalah adanya keinginan untuk mengubah orang lain. Idealnya, harus mengubah diri sendiri terlebih daulu.
Saya termenung, apa yang harus diubah? Saya merasa segala kebiasaan saya sulit diubah. Selanjutnya terpikirlah strategi untuk mengubah diri, yakni dengan melakukan kegiatan yang:
- Sederhana
- Mudah dilakukan
- Tidak membutuhkan biaya yang tinggi, murah bahkan kalau bisa gratis.
- Bisa segera terasa dampaknya dan terukur dengan cermat.
- Pelaksanaannya dilakukan secara mandiri.
Tabel 1 dan grafik 1 memperlihatkan bahwa saya sudah melakukan pengubahan diri melalui kegiatan jogging selama 18 minggu, mulai 9 Agustus - 4 November 2022. Rentang waktu tersebut sudah memenuhi syarat terjadinya perubahan perilaku yakni tiga minggu (Arlinta, 2023), bahkan sudah mengarah pada terbentuknya kebiasaan baru. Pada setiap minggu, saya selalu mengusahakan jogging lebih dari 1 kali. Jadi data pada tabel tersebut adalah nilai rata-rata. Pada minggu pertama, jarak tempuhnya 3,9 km dalam waktu 65 menit. Pada minggu ke-18, jarak tempuhnya adalah 8,4 km dalam waktu 117 menit. Prestasi tersebut dicapai karena setiap minggu ada usaha untuk menambah jarak tempuh (disebut nilai tambah). Artinya, pada setiap kegiatan saya berusaha lebih baik daripada hari-hari sebelumnya.
Ada banyak skeptimisme tentang proses pengubahan diri ini. Berikut adalah tantangan-tantangan dalam proses pengubahan diri tersebut.
1) Munculnya rasa malas untuk memulai kegiatan. Selalu ada alasan pembenar untuk menolak berolahraga. Cara mengatasinya adalah dengan membayangkan wajah mahasiswa yang mentertawakan saya. Imajinasi itu segera memecut saya untuk berolahraga. Cara berikutnya adalah dengan menggunakan kostum olahraga yang bagus, karena saya senang dengan barang bagus. Kemampuan mengatasi rasa malas ini sangat jitu mengatasi penolakan pasif pada mahasiswa (mengerjakan tugas namun tidak serius atau penipuan kegiatan).
2) Munculnya rasa ingin jogging hanya dengan jarak 50% saja dari target. Alasannya adalah rasa lelah berkepanjangan. Cara mengatasinya adalah dengan tidak menentang keinginan tersebut namun dibumbui dengan bujukan (self-persuade). Misalnya, targetnya adalah 5 km, namun pada jarak 4,1 km saya sudah ingin berhenti saja. Mulailah usaha-usaha pembujukan diri: “Baiklah saya akan berhenti berolahraga pada jarak 4,5 km saja”. Pada jarak 4,5 km ternyata keinginan untuk berhenti telah menghilang sehingga jogging diteruskan sampai target terpenuhi. Cara selanjutnya adalah dengan jeda sejenak sambil minum minuman air mineral setelah jogging 30 menit. Pada lomba lari marathon, jeda waktu itu biasanya terjadi di area water station.
3) Munculnya rasa jengah ketika jogging dilakukan di tengah perkampungan yang padat. Para tetangga sering mengawasi, karena kostum saya celana super pendek. Maklumlah, warga perempuan seusia saya pada umumnya duduk manis di dalam rumah dan memakai baju serba tertutup. Cara untuk mengatasinya adalah dengan jogging di halaman belakang rumah yang jarak bangunan dengan dinding pembatas adalah 17 m. Jadi saya jogging bolak-balik saja. Strategi ini sangat jitu, karena pada saat itu situasi pandemi Covid-19 juga masih mencekam.
4) Munculnya sifat lupa tentang jarak yang sudah ditempuh. Strategi untuk mengatasinya yakni saya menggunakan tutup botol dari plastik sebagai penanda. Ketentuannya, 1 tutup botol = 34 m (Shinta, Yosef & Yosef, 2020). Jadi bila sudah meletakkan 128 tutup botol maka berarti saya sudah menempuh 34 x 128 = 4.352 m (4,3 km).
5) Munculnya rasa khawatir bahwa waktu tempuh sudah melebihi batas. Ini sering terjadi pada saat jumlah tutup botol sudah semakin sedikit. Cara mengatasinya adalah justru dengan tidak melihat jam dinding dan terus menambah kecepatan berlari. Cara jitu selanjutnya adalah dengan menggenggam semua tutup botol di tangan, sehingga wadah penampung tutup botol menjadi kosong. Cara ini menenangkan dan menambah keyakinan saya untuk menyelesaikan target jarak dalam waktu yang lebih cepat.
6) Munculnya rasa ingin muntah. Cara untuk mengatasinya adalah jeda sejenak dan muntahan itu memang harus dikeluarkan. Peristiwa muntah itu menandakan bahwa jenis olahraganya terlalu berat. Setelah jeda sejenak biasanya badan segar kembali.
7) Munculnya rasa ingin BAB (buang air besar) dan BAK (buang air kecil). Ini adalah penanda buruknya pengaturan jadwal makan. Cara mengatasinya adalah jeda sejenak dan bergegas pergi ke toilet. Dampak positif dari tantangan ini adalah saya menjadi cepat dalam proses BAB. Pada masa lampau (sebelum program pengubahan diri), saya terbiasa bermenung-menung di dalam toilet. Pada saat perlombaan lari marathon, tantangan jenis ini cenderung menurun karena saya mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelumnya. Misalnya makan paginya adalah buah pisang saja, dan minum teh hangat.
Bagaimana caranya agar, kegiatan pengubahan diri ini bisa berkesinambungan (sustain)? Cara jitunya adalah mengikuti lomba lari marathon secara rutin (sekali setiap bulannya). Jumlah medali yang sudah diraih mulai November 2022 sampai dengan Agustus 2023 adalah 7 buah. Jarak tempuh paling jauh adalah 8 km (waktu 105 menit). Waktu rata-rata adalah 50-54 menit untuk jarak 5 km. Tantangan berikutnya adalah membangun rasa percaya diri untuk jarak lari 10 km.
Daftar Pustaka:
Arlinta, D. (2023) Perubahan perilaku: Tiga minggu membangun kebiasaan. Kompas. 2 Januari, Hal. 8.
Latif, Y. (2012). Harapan di tengah kemurungan. Kompas, 11 Desember 2012, hal. 15.
Shinta, A., Yosef, L.G. & Yosef, F.M. (2020). Walking race sebagai strategi mengatasi rasa bosan di rumah. Buletin KPIN. 4 April.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji