Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MELESTARIKAN KEBIASAAN BAIK PASCA LEBARAN




 Arundati Shinta
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Pada bulan puasa, akan mudah bagi kita untuk menahan diri, menahan emosi, berperilaku sabar, mengutamakan dialog daripada perilaku agresif, dan berperilaku teratur (dalam makan dan tidur). Kemudahan itu terjadi karena berpuasa merupakan latihan untuk tidak hanya menahan diri dari makanan tetapi juga emosi dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Latihan-latihan itu berasal dari kinerja otak yaitu pada platisitas (kelenturan) otak. Otak akan terlibat pada pembelajaran dan pengalaman baru sehingga puasa selama sebulan akan memperkuat proses latihan (Ikrar, 2012). Jadi tidak heran apabila pada bulan puasa orang mudah bangun pagi buta untuk sahur (suatu perilaku yang sangat sulit dilakukan), kemudian tidak makan minum selama sekitar 14 jam.


Di Indonesia, lingkungan sosial juga ikut mendukung bagi masyarakat untuk berpuasa. Contoh dukungan yaitu jam kerja yang diperpendek, banyak restoran tutup pada siang hari, orang-orang yang tidak berpuasa karena berbagai sebab akan meminta maaf bila harus makan pada siang hari. Segala sesuatu yang melancarkan proses puasa seolah sudah tersedia begitu saja dan kita tinggal menjalaninya saja.

Persoalan yang muncul adalah bagaimana kebiasaan baik yang diperoleh (dipelajari) selama bulan puasa itu dapat terus berlangsung. Setelah membiasakan diri untuk menahan diri dengan makan hanya dua kali sehari dan kini sehari tiga kali, maka individu tidak jarang mengalami keguncangan baik secara fisik, psikhis, dan sosial. Guncangan fisik antara lain individu tidak harus bangun pagi buta untuk sahur, sehingga pola makan menjadi kacau lagi. Guncangan psikhis, orang-orang merasa tidak perlu berperilaku sabar lagi. Guncangan sosial, orang-orang merasa tidak perlu lagi besilaturahmi lagi, karena tugas itu sudah dilakukan melalui telepon genggam. Mungkin masih banyak lagi guncangan-guncangan yang akan dihadapi kita setelah masa ‘belajar’ selama sebulan ini. Kalau demikian halnya, apa saja cara-cara yang dapat dilakukan agar kita semua tidak roboh dalam menghadapi guncangan, sehingga kebiasaan-kebiasaan baik selama bulan puasa dapat terus berlangsung?

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan kita semua untuk melestarikan kebiasaan baik. Cara pertama, adanya kesadaran bahwa kita menjadi model (panutan) bagi anak-anak. Kesadaran itu akan menuntun kita untuk menjadi lebih berhati-hati dalam bertutur kata dan berperilaku. Hal ini sesuai dengan prinsip belajar sosial (Bandura, 1986). Anak-anak akan mengamati terus dan meniru perilaku kita.

Cara kedua untuk melestarikan kebiasaan baik yaitu berpuasa lagi pada bulan Syawal ini dan dilanjutkan dengan puasa pada hari Senin dan Kamis. Cara-cara berpuasa ini meskipun hanya paruh waktu, akan mendisiplinkan pola hidup kita. Cara ketiga yaitu menggunakan lingkungan sosial secara cerdik (Bussey & Bandura, 1999). Lingkungan sosial tersebut ialah teman dalam pergaulan dan media massa. Pilihlah teman pergaulan yang dapat dipercaya. Untuk media massa, pilihlah media massa yang mampu membangkitkan semangat dan menularkan kebaikan. Segera pindah ke media massa lainnya bisa menemukan media massa yang sering memberitakan hal-hal buruk.

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Bussey, K. & Bandura, A. (1999). Social cognitive theory of gender development and differentiation. Psychological Review, 106, 676-713.
Ikrar, T. (2012). Sisi lain puasa: Membentuk struktur baru otak. Kompas, 25 Agustus, halaman 13.


  • Tulisan ini petama kali dipublikasikan di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta pada 29 Agustus 2012.
  • Semua komentar tulisan ini dialamatkan ke arundatishinta@yahoo.com


Post a Comment

0 Comments