Oleh Happy Susanto
Penulis adalah pengamat sosial-kemasyarakatan
Pemberitaan media akhir-akhir ini
digemparkan dengan “nikah kilat” ala Bupati Garut Aceng HM Fikri (40). Tidak
sedikit komentar kritis bahkan sinis dialamatkan kepada sang pemimpin di daerah
kabupaten ini. Satu per satu komentar sudah disampaikan Aceng ke berbagai
media, sebagai bentuk “pembelaan diri”, namun “public” tetap tidak mau menerima
apa yang dikatakannya itu.
Aceng menikahi seorang remaja putri
berusia 18 tahun, namanya Fanny Octora. Pernikahan dilakukan secara siri
(rahasia, tanpa pencatatan hokum) dan hanya berlangsung selama empat hari.
Anehnya, proses perceraian dilakukan hanya melalui SMS (short message service) dengan alasan keperawanan dan sesuatu yang sifatnya
sederhana, yakni bau mulut.
Aceng dijadikan bahan perbincangan,
tidak saja di masyarakat umum tapi juga di level pengambil kebijakan di tingkat
pemerintah provinsi maupun pusat. Aceng sendiri pernah mengeluh dirinya menjadi
korban dari pihak-pihak tertentu yang ingin menggunakan kesempatan dalam
kondisi seperti ini. Ia mempertanyakan, kenapa masalah ini baru terangkat
sekarang? Padahal, kejadiannya sudah beberapa bulan lalu. Apapun alibi sang
bupati, ia adalah seorang pejabat publik.
Ya, pejabat publik adalah figur yang
menjadi panutan di dalam masyarakat. Memang pejabat tidak sepenuhnya harus
bersih layaknya seorang malaikat, namun ia harus berhati-hati dalam bersikap
karena semua perkataan dan tindakannya layak menjadi perhatian masyarakat. Jika
segala apa yang dikatakan dan dilakukan adalah hal-hal yang baik, maka itu
tidak menjadi masalah. Namun, apa jadinya kalau itu adalah “pelecehan” terhadap
perempuan?
Sebagai pejabat publik, apa yang
dilakukan Aceng sudah dipastikan menyalahi etika sebagai seorang pemimpin
masyarakat. Sebagai bupati yang sebenarnya dipilih lewat jalur independen,
Aceng diharapkan bisa menjadi pemimpin alternatif di tengah kemerosotan moral
para pemimpin bangsa. Ia pun masuk dalam kubangan citra buruk pemimpin-pemimpin
di Negara tercinta ini.
Sebagai pemimpin, Aceng harus
mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukannya terhadap Fanny. Tindakannya
terhadap seorang perempuan, yang berasal dari latar belakang sosial dan ekonomi
biasa, bisa saja membuat masyarakat Garut khususnya dan masyarakat Indonesia
pada umumnya “sakit hati” dengan itu. Pada intinya, sang bupati harus
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai seorang pejabat publik.
Terkait pernikahan yang dilakukan secara
siri, Aceng sebenarnya sudah menyalahi posisinya sebagai pejabat publik. Dengan
kata lain, ia tidak mengikuti peraturan yang dikeluarkan pemerintah, yang itu
harus dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali seorang
pejabat presiden sekalipun. Apa peraturan yang dimaksud? Di dalam Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal ayat 2 disebutkan bahwa setiap perkawinan
harus dicatatkan. Jadi, siapa pun yang tidak mencatatkan perkawinannya, berarti
ia telah menyalahi aturan, Nah, lho!
Sebenarnya tidak berhenti di situ saja.
Sebagai seorang Muslim, Aceng pastinya paham tentang aturan agama, apalagi
dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi, ia dengan fasihnya mengungkapkan
dalil ushul fikih yang berbunyi, “dar’ul
mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (menghindari kemufsadatan itu lebih
baik dari melakukan kemaslahatan).” Yang menjadi penyataan, bukankah talak
cerai yang sudah ia tetapkan, apalagi hanya lewat SMS, bisa memunculkan
“kemafsadatan” itu snediri? Bukankah pernikahan itu harus langgeng, dibina
dengan prinsip mawaddah, sakinah, wa
rahmah?
Terakhir, perlukah Aceng mengundurkan
diri sebagai seorang bupati? Pertanyaan ini penting mengingat ia sudah
melakukan “suatu kecatatan publik” atau lebih kerasnya menyalahi “etika
publik”. sSdah sepantasnya ia mengundurkan diri saja. Selama ini tidak ada
mekanisme hukum tata negara soal pemecatan kepala daerah (termasuk bupati),
yang ada adalah aturan tentang presiden.
Semuanya kembali kepada Aceng sendiri.
Masihkah ada rasa malu dalam dirinya? Dan, ini bisa menjadi pembelajaran
penting buat pejabat-pejabat lain di berbagai daerah, termasuk juga mereka yang
ada di pusat! Pejabat publik harus punya etika!
3 Comments
Betul banget pak, si Aceng itu harus diturunkan saja. Ia tidak bermoral dan tidak bisa dicontoh tindak-tanduknya. BTW, saya terganggu dengan jenis huruf yang dipakai, kok tidak seragam dengan tulisan-tulisan lainnya di blog ini. Redakture piye ki, payah deh.
ReplyDeleteoke terimakasih masukannya. maaf, kalo boleh saya tahu. huruf yang mana ya?. apakah maksudnya yang times new roman/Arial?. sebelumnya terimakasih :)
DeleteSaya setuju banget si Aceng ini diundurkan saja. Ia bukan seorang pemimpin yang baik. Ia adalah jenis penguasa jaman dulu, yang suka 'mengambil' segala sesuatu yang ada di daerah kekuasaannya. Pemimpin adalah orang yang 'sudah selesai dengan dirinya'. Ia tidak termakan suap, karena ia sudah merasa cukup. Setuju?
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji