Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

SEGO ABANG JIRAK GUNUNG KIDUL YANG MENGGODA PERUT



Putdy Tri Antoro
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Bagi kebanyakan kita, tiada hari terlewatkan tanpa mengonsumsi nasi putih. Keanekaragaman rasa makanan hanya tercipta dari variasi lauk pendamping nasi.
Warung Makan Sego Abang Jirak yang terletak di samping Jembatan Jirak, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, menyajikan nasi merah sebagai menu khas utama.
Sego abang atau nasi merah merupakan hasil produk pertanian di ladang tadah hujan. Di wilayah Gunung Kidul dengan curah hujan rendah dan jenis tanah berbatu, hanya padi tadah hujan yang sanggup tumbuh subur. Sebagian dari jenis padi tadah hujan tersebut menyajikan nasi berwarna merah dengan cita rasa unik, yaitu tidak lembek dan gurih.
Saat ini, beras merah memang sudah jamak beredar di pasaran. Di Warung Makan Sego Abang Jirak, nasi merah bukan sekadar sajian dari beras merah. Pemilik warung, Purwanto (62), mengaku benar-benar menjaga nilai tradisional sego abang, mulai dari cara pemetikan padi, pengolahan menjadi beras, hingga penyajian di atas meja.
Purwanto telah menjalin kerja sama dengan petani penanam padi tadah hujan jenis gogo, mendel, atau segreng yang ketiganya menghasilkan padi berwarna merah. Umur tanam padi jenis tersebut serupa dengan padi sawah, tetapi dengan produktivitas lebih rendah.
Pemanenan padi sengaja dilakukan helai per helai dengan pemotongan batang padi menggunakan ani-ani. Warung Makan Sego Abang Jirak hanya menerima buliran padi yang belum terpisah dari batangnya. Pegawai di warung tersebut kemudian yang memisahkan beras merah dari sekam dengan cara menumbuk.
Padi yang ditumbuk jumlahnya disesuaikan dengan banyaknya beras merah yang akan dimasak. Memasak beras merah pun harus menggunakan tungku tanah liat memakai kayu bakar. Beras harus diaru sebelum kemudian ditanak menggunakan kukusan dari anyaman bambu (soblok). Cara memasak tersebut membuat rasa nasi lebih gurih dan lunak, tetapi tidak lembek.
Berbeda dengan nasi putih yang matang hanya dalam setengah jam, nasi merah baru siap dihidangkan setelah dimasak selama tiga per empat jam. Nasi merah mulai siap dinikmati pengunjung dari pukul 08.00-15.00. Tingginya minat pengunjung menyebabkan warung selalu buka tujuh hari dalam sepekan, kecuali jika ada acara hajatan keluarga.
Sayur lombok ”ijo”
Dalam satu hari, menurut anak perempuan Purwanto, Parmi, mereka memasak nasi merah dua kali, yaitu pagi dan tengah hari. Selain sego abang, pengunjung di warung tersebut juga tak bakal sanggup melupakan kenikmatan sayur lombok ijo sebagai pendamping nasi.
Sayur lombok ijo yang kaya kuah santan ini diracik dari potongan cabai hijau yang dipadukan dengan tempe kedelai. Tumisan tempe yang digunakan sebagai pelengkap sayur pun bukan tempe sembarangan. Tempe tersebut harus dibuat dengan cara tradisional dan dibungkus daun pisang atau daun jati.
Kuah santan dengan racikan bumbu berupa bawang merah, bawang putih, jahe, dan kemiri ini menghadirkan rasa gurih bercampur pedas. Pengunjung yang ingin menambah rasa pedas sayur bisa menambah pesanan berupa sambal terasi serta sambal bawang.
Selain sayur lombok ijo, juga tersedia lauk lain untuk pendamping, seperti daging sapi goreng, iso babat goreng, ikan wader goreng, dan urap trancam. Sebagai buah tangan, Warung Makan Sego Abang Jirak juga menyediakan aneka camilan khas Gunung Kidul, seperti kacang mede serta belalang goreng.
Tak hanya menu makanannya yang khas, suasana di dalam warung pun mempertahankan suasana khas pedesaan. Tembok warung masih berupa dinding anyaman bambu. Pengunjung pun bisa memilih duduk di kursi maupun lesehan di atas balai-balai kayu yang dilambari alas tikar pandan. Seluruh menu makanan disajikan dalam piring-piring terpisah, seperti layaknya di rumah makan nasi padang.
Untuk seluruh kenyamanan dan kenikmatan yang diraih memang ada harga setimpal yang harus dibayar. Parmi mengaku tetap mempertahankan gaya penyajian warung yang tidak mencantumkan menu serta daftar harga. Biasanya pengunjung baru tahu harga makanan ketika membayar di kasir.

Satu porsi sego abang hanya dijual seharga Rp 2.000 dan sayur lombok hijau Rp 3.000. Sementara, satu piring daging sapi dihargai Rp 40.000, satu piring iso babat Rp 20.000, satu piring ikan wader Rp 15.000, dan Rp 2.500 untuk sepiring urap trancam.

Setelah menikmati sajian sego abang dan sayur lombok ijo di Gunung Kidul, beberapa pengunjung mengaku sering kali ketagihan. Untuk menikmati suasana yang lebih tenang dan sepi, sebaiknya tidak berkunjung ketika jam makan siang, akhir pekan, apalagi hari Lebaran. Warung akan penuh sesak. Kerinduan akan tradisi memang selalu menggairahkan untuk dinikmati, seperti sego abang dari Gunung Kidul…Sagon, Salah Satu Kue Tradisional Jogja Yang Melegenda Dan Hampir Kita Lupakan
Di Jogja ada begitu banyak jenis makanan tradisional. Salah satunya adalah Kue Sagon. Tidak diketahui dengan jelas, mengapa makanan ini dinamakan Sagon. Apakah hal ini sebagai bentuk tiruan dari kue sagu-saguan atau apa, tidak ada yang dapat memastikan.
Salah satu perajin Kue Sagon di Jogja tersebut adalah Wariyanto (54) yang beralamatkan di Jl. Wonosari KM 7, Wiyoro Lor RT 02, Kalurahan Baturetno, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Wariyanto telah memulai usaha pembuatan Kue Sagon ini sejak tahun 1950-an. Dulu ia hanya membantu kedua orang tuanya yang telah lebih dulu merintis usaha pembuatan Kue Sagon.Bagi Wariyanto tidak ada kesulitan apa pun di dalam membuat Kue Sagon ini. Hanya saja ia masih merasa belum bisa memenuhi pasar dalam skala yang luas. Pasalnya, Kue Sagon buatannya tidak pernah menggunakan pengawet apa pun. Juga tidak menggunakan pewarna apa pun. Dengan demikian, sejak tahun 1950-an hingga kini produk Kue Sagon-nya ya hanya seperti itu saja. Oleh karena tanpa pengawet, maka Kue Sagon-nya hanya bisa bertahan selama 2-3 hari saja. Lepas dari itu produk tersebut harus dibuang
Hingga kini pun Wariyanto tidak pernah punya niat untuk memberikan bahan pengawet dalam produknya. Ia juga tidak mengejar omset dan jaringan yang besar. Ia merasa sudah nyaman dengan kondisinya yang sekarang. Tidak perlu mimpi muluk-muluk. Ia ingin produknya tetap alamiah dan tradisional. Kalau toh orang kepingin membeli produknya dipersilakan datang sendiri ke alamat rumahnya karena ia memang tidak membuka cabang dan tidak menitipkan produknya ke kios atau toko-toko.Pembuatan Kue Sagon memang tidak sulit-sulit amat. Untuk membuat Kue Sagon diperlukan tepung ketan, parutan kelapa setengah tua (tidak terlalu tua dan terlalu muda), dan gula pasir. Mula-mula tepung ketan di campur dengan parutan kelapa lalu ditambahkan gula pasir. Selain itu juga diberikan tambahan sedikit garam. Semua bahan dicampur hingga padu. Usai itu, adonan tersebut dituangkan ke dalam cetakan Kue Sagon yang berbentuk bulat menyerupai panci rantang.Cetakan tersebut kemudian ditumpangkan pada anglo-anglo yang disusun berjajar. Semua anglo telah berisi arang yang membara. Pada saat cetakan ditumpangkan, pada tutup cetakan itu juga ditumpangkan bara api. Dengan demikian proses pengovenan atau pemanggangan dilakukan dari atas dan dari bawah dengan maksud agar pemanasan dapat berlangsung merata.
Proses pengovenan secara tradisional ini berjalan hanya sekitar 10-an detik. Usai itu cetakan yang telah diisi adonan tersebut diangkat untuk didinginkan. Dengan diangkatnya cetakan dari bara di anglo, maka proses pengovenan Kue Sagon telah selesai. Artinya, Kue Sagon telah jadi.Kue Sagon produk dari Wariyanto ini memang terkenal akan kekhasannya yang tetap menjaga citarasa tardisional. Kue Sagon produknya terasa cukup juicy di bagian tengahnya, namun krispi di bagian luar atau pinggirnya. Komposisi tepung ketan, parutan kelapa setengah tua/muda, sedikit garam, dan gula pasirnya yang demikian padu membuahkan citarasa yang demikian mengesankan. Rasa gurih, manis, krispi, sekaligus juicy dengan aroma khas hasil ovenan (bakaran) dari komposisi tersebut di atas (sangit-sangit gurih) menambah daya rangsang untuk segera melahapnya.Manurut Wariyanto, Kue Sagon tradisionalnya itu bisa menghasilkan aroma, wujud, tesktur, dan komposisi yang sedemikian rupa karena semuanya telah melalui perjalanan waktu yang cukup lama. Taste dari Kue Sagon-nya memang sangat khas. Salah satu kuncinya adalah pada pemilihan tepung ketan yang baik dan kelapa yang tidak terlalu tua namun juga tidak terlalu muda. Selain itu, kadar kelembaban adonan juga menjadi kunci utamanya.Selama sebulan Wariyanto bisa memproduksi 100-an biji Kue Sagon. Sedangkan menjelang hari raya / hari besar ia bisa memproduksi 200-an biji Kue Sagon. Dalam memproduksi Kue Sagon-nya ini ia dibantu oleh seorang karyawan yang bernama Tukilah (56). Tukilah sendiri membantu Wariyanto sejak 15 tahun yang lalu.

Post a Comment

0 Comments