Ida
Prastiowati
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Mendengar kata
pariwisata pastilah orang akan berpikir tentang keindahan, dan segala sesuatu
yang menyenangkan yang ditawarkan di paket pariwisata tersebut. Karena itulah, maka jika industri pariwisata
mau maju, hal terpenting yang tidak bisa diabaikan adalah bagaimana sebuah
produk dikemas sedemikian apik dan menarik sehingga diminati, dikangeni dan
kemudian lagi dan lagi,....seperti iklan salah satu produk makanan di televisi.
Yogyakarta cukup
mempunyai obyek wisata yang bisa diandalkan, hanya saja banyak obyek wisata
yang terabaikan dan terkesan tidak terawat.
Andaikan keraton Yogyakarta bisa dijadikan seperti
forbidden city nya Beijing, dari sisi karisma dan performa sebenarnya tak kalah
menarik, yang kurang hanyalah sarana dan prasarana yang menyertai sebuah produk
pariwisata. Kebetulan tahun lalu ada
undangan dari KBRI Beijing berkaitan dengan urusan kantor dan
juga sekalian refreshing menikmati
jalan-jalan di beberapa sudut kota Beijing. Jujur saya terpana ketika
masuk di pintu gerbang forbidden city,....turisnya luar biasa banyak, padahal
waktu itu pas bulan ramadhan dan belum musim liburan. Saya membayangkan alangkah
banyaknya ketika musim liburan tiba. Sebut saja Cik S, dia rekanan dan salah
satu staf atase pendidikan Beijing yang sangat ramah dan menyenangkan yang
setia mengantarkan saya ke beberapa titik obyek wisata di Beijing. Menurut Cik S, memang keadaannya tiap hari
seperti ini ramainya, apalagi musim liburan. Sejak dari gerbang awal masuk
kawasan forbidden city, saya sudah disuguhi pemandangan yang cukup apik, dimana
pedagang asongan menggunakan baju khas cina yang memasarkan dagangan guide book
tentang obyek wisata yang dikemas cukup menarik, kenapa saya bilang menarik?
Karena akhirnya saya beli buku-buku tersebut. Saya membeli buku-buku itu bukan
untuk gaya-gayaan tetapi jujur saya ingin melihat bagaimana kemasan buku dan
gaya desainnya, kemudian saya bawa ke Indonesia, siapa tahu bisa dijadikan
referensi ataupun inspirasi yang positif?. Selanjutnya setelah saya memasuki bangunan
demi bangunan, lebih terpana lagi, karena
melihat bagaimana terawatnya
bangunan gedung dan segala pernak perniknya yang masih terlihat keaslian dan
arsitektur kunonya. Sampai akhirnya saya lupa berapa jam saya berjalan
menyusuri bangunan demi bangunan sampai terasa sangat pegal dan kemudian di
gerbang belakang di jemput driver dan membawa kami ke obyek wisata lainnya
seperti great wall dan beberapa obyek wisata lain yang saya lupa namanya.
Dari situ bisa
dipetik satu alasan penting kenapa banyak wisatawan rela merogoh kocek yang tidak sedikit demi menikmati
obyek wisata seperti yang saya contohkan diatas. Hal utama yang saya sangat
terkesan disana adalah, masalah kenyamanan dan keamanan yang sangat terasa
dirasakan. Di Beijing jarang sekali ada polisi ditempatkan di jalan-jalan, tapi jarang dan bahkan belum pernah saya temui
pelanggaran lalu lintas selama 10 hari saya disana, sistem cukup baik berjalan,
kenapa? karena di seluruh sudut kota ada
ribuan kamera cctv, dimana sangat sulit bagi para pelaku kejahatan melakukan
aksinya, ataupun sekedar pelanggaran lampu merah yang sering kita temui di
Indonesia ?, hal ini juga saya tanyakan
juga ke Cik S, kenapa banyak sekali cctv disini, apakah tidak mengganggu
privacy warganya?, dia bilang justru warga dan wisatawan akan merasa sangat nyaman. Pernah ada pelaku
kejahatan dan disitu tak ada pengawas polisi satupun, tapi apa yang terjadi?
Tak sampai hitungan satu jam, si pelaku kejahatan sudah tertangkap, karena dari
pantauan cctv dan hukuman disana sangat ditegakkan.
Hal lain yang tidak
bisa diabaikan untuk kawasan wisata adalah, bagaimana kita bisa mempelajari
karakteristik wisatawan dan apa yang dimaui mereka? , mulai dari fasilitas
penginapan, transportasi sumber daya
manusia dan elemen lain yang menyertai.
Di Yogyakarta akhir-akhir ini banyak sekali berdiri hotel berbintang, dan
itu sebuah sarana yang baik juga untuk menunjang kota pariwisata, tetapi ingat, harus juga disertai dengan
sumber daya manusia yang memadai, dan perlu dilakukan standarisasi pelayanan
agar tidak mengecewakan atau tepatnya memalukan.
Waktu awal pertama
saya pindah ke Yogyakarta, karena sebelumnya saya pernah mengalami hidup
nomaden mengikuti kakak yang kebetulan sering berpindah kota karena tugas pekerjaan, lupa tahun berapa.
Waktu itu saya menyempatkan makan lesehan di malioboro, kawasan yang cukup
terkenal di kota ini, kata orang bilang, jika
ke Yogyakarta belum ke malioboro serasa ada yang belum genap. Ceritanya
saya sudah lama sekali tidak makan gudeg lesehan ala malioboro, bahkan
membayangkan rasanya saja sudah lupa, saking lamanya. Maka untuk mengobati rasa kangen itu saya sempatkan
mampir, setelah makan dan minum selesai, tibalah waktunya membayar, karena
daftar menu tidak dilengkapi harga, maka setelah selesai saya tanya habis
berapa mbak? dan saya cukup kaget waktu
itu, karena harganya diluar dugaan mahalnya, untung bawa uang, kalau kurang? Betapa
malunya?. Setalah beberapa hari saya berada di kota gudeg ini barulah saya tahu
bahwa kalau jajan di lesehan malioboro kelihatan orang asing artinya orang yang
jarang makan disitu, harganya suka dimahalin, wow pantesan saya kemudian ingat
peristiwa bayar kaget saat jajan waktu itu. Nah ini salah satu yang mesti
dibenahi, karena bukan semata-mata harga berapa? Tetapi masalah
profesionalitas, masa iya kalau ga kenal dimahalin kalau kenal baru diberi harga standar? Hal ini
membuat kapok pelanggan, Karena sejak saat itu sampai puluhan tahun saya berada
di kota ini, tak pernah lagi makan di lesehan malioboro, bukan karena
semata-mata mahalnya tetapi masalah profesionalitas yang cukup mengecewakan.
Nah jangan sampai ini terulang kepada orang lain. Ada baiknya institusi yang
berwenang sekali kali turun ke jalan dan kemudian melakukan action yang bisa
memperbaiki hal ini. Karena hal ini juga masuk ke dalam daftar elemen-elemen
penting yang berperan untuk melengkapi sebuah kota pariwisata.
Pemerintah dan industri
pariwisata ada baiknya mengadakan sosialisasi standarisasi dari elemen-elemen
yang terkait bagi pelaku bisnis ini,
agar supaya terjadi sinergi yang baik dan kemudian untuk jangka panjangnya bisa
menjadi kota tujuan wisata yang mampu menarik wisatawan tidak hanya sekali
datang, tetapi datang dan pulang untuk membawa teman ataupun kerabat
kembali berwisata lagi ke kota
Yogyakarta tercinta ini.
Kata terakhir yang
mungkin bisa saya sampaikan adalah mari kita jadikan Yogyakarta sebagai salah
satu kota tujuan wisata dengan mengusung profesionalitas dan kualitas yang bisa
memuaskan para wisatawan untuk meluangkan waktunya untuk mengunjungi kota ini.
Saya juga
mengucapkan terimakasih karena ada ajang penulisan seperti ini dan paling tidak
bisa urun rembug sedikit, yang mungkin
bisa bermanfaat bagi kemajuan industri pariwisata di Indonesia dan khususnya di
Yogyakarta.
- Tulisan ini disiapkan untuk Lomba Karya Tulis Strategi Pemasaran dan Promosi Pariwisata 2013/14 DI Yogyakarta dan sekitarnya. Penyelenggara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan World Heritage, pada 20 Desember 2012.
2 Comments
Daripada makan gudeg di Malioboro yang muahal banget, mending masak sendiri. Mbak Ida kan terkenal pinter masak gudeg kan? Pelaku pariwisata Yogya memang harus belajar banyak dari Cina Beijing. Setuju banget mbak Ida.
ReplyDeleteGudeg Yogya terlalu manis, kalau gudeg Jakarta lebih enak dan tidka ebgitu manis. Apalagi gudeg Yogya harganya muaahaal di Malioboro.
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji