Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

SELAMAT TIDUR

Mega Oktaviani
Teknik Perminyakan
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Foto : Elisa
Selamat tidur sayang” bisikan dari seorang ibu yang selalu aku dengar setiap malam. aku juga seorang ibu anaknya juga anakku, dia hanya mengucapkan selamat tidur dan pergi, tapi aku selalu tinggal di sini tak pernah pergi. Aku selalu menjaganya, melihatnya tertidur walau matanya tak pernah benar benar rapat, selalu ada celah diantara kelopaknya. Melihatnya mendengkur halus di sela-sela nyenyak tidurnya, kadang aku dengar dia mengigau menyebut nama-nama koleksi robotnya, sungguh damai melihat wajahnya. Aku memang tidak pernah mengucapkan selamat tidur padanya tapi aku selalu menemaninya tidak pernah meninggalkannya, karena aku ibunya.
Anakku semakin besar, ibunya yang sesungguhnya sudah meninggal dua bulan lalu, sekarang aku tidak pernah mendengar bisikan “selamat tidur sayang” lagi, aku tidak bisa melakukannya tapi aku selalu menjaga anakku, melihat matanya yang tidak pernah benar-benar tertutup disaat tidur, melihatnya mendengkur. Dengkurnya sudah tidak sehalus dulu, lebih berat, dia tidak lagi mengigau tentang nama-nama koleksi robotnya, yang disebutnya kali ini nama-nama yang tidak aku kenal, seperti nama perempuan, aku melihat betapa lelahnya dia menjalani harinya. Ah seandainya aku bisa mengucapkan selamat tidur kepadanya, ya setidaknya aku tidak pernah meninggalkannya disaat dia tidur, karena aku ibunya.
Malam ini aku sendirian, anakku sudah jarang pulang, entah dimana dia tidur, aku berandai-andai, seandainya aku bisa bergerak sedikit saja, dan aku bisa bicara sedikit saja, mungkinkah aku mengangkat gagang telepon itu, dan menanyakan dimana dia. Tapi aku tidak bisa, aku tidak ditakdirkan untuk bisa. Malam-malam berlalu tanpa kehadiran anakku, yang aku tatap hanya kasur kosong, bersih dan tidak berpenghuni, tidak ada mata yang tidak pernah benar-benar tertutup, tidak ada bunyi dengkur yang biasanya aku dengar, tidak ada lagi suara mengigau, apalagi wajah anakku. Tapi aku tetap disini, walau tidak ada yang harus aku jaga.
Sesekali anakku pulang, dia jauh berubah,  wajahnya semakin lelah, pipinya dihiasi jambang yang sepertinya bukan hanya dibiarkan tumbuh tapi juga tidak dipedulikannya. larut malam, tapi dia belum juga tidur, dia hanya melamun, entah apa yang dia pikirkan. Dipertengahan malam saat akhirnya dia terlelap, celah diantara kelopak mata itu tetap ada dan dia masih mendengkur, lebih berat dari pada yang terakhir aku dengar. Sesekali dia mengiggau nama perempuan. Kali ini sangat jelas terdengar olehku namannya, Shinta namanya. Aku tidak pernah melihatnya, tapi dulu sekali aku pernah mendengar suaranya. Aku melihat wajah anakku yang terlihat sangat lelah. Aku ingin mengucapkan selamat tidur tapi aku tidak bisa, tapi aku akan selalu di sini nak, karena aku ibumu.

Anakku semakin jarang pulang, tapi pernah suatu malam dia pulang. Membawa seorang gadis. itukah shinta?. Pertanyaanku terjawab saat anakku memanggil namanya, dia bukan shinta. Dia Laila . Nak siapa lagi siLaila ini? Ada apa dengan si shinta?. Tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Tidak ada yang tidur, tidak ada suara dengkuran yang biasa aku dengar, tidak ada yang mengigau, hanya desahannya Laila yang aku dengar dan wajah lelah anakku berganti dengan wajah yang penuh keringat dengan ekspresi yang tidak aku kenal. Apapun yang kamu lakukan nak, aku akan tetap menjagamu, karena aku adalah seorang ibu, aku ibumu.
Ada apa ini? Kenapa banyak orang yang datang ke sini? Mereka menghias kamar anaku, belakangan aku tau kalau anakku akan menikah, dan orang-orang yang masuk ke kamar tadi adalah pendekor kamar pengantin. Dengan siapa anakku menikah, dengan Shinta atau Laila ? memang tidak ada yang menjawabku, tapi nanti malam pertanyaanku pasti terjawab. Dan ternyata Laila . Aku memang tidak pernah melihat shinta, tapi aku punya perasaan baik tentang dia daripada Laila . Tapi apalah daya seorang ibu seperti aku, ibu yang tidak ditakdirkan untuk menentang tapi menerima. Aku seorang ibu yang akan selalu menjaga anakku apapun yang terjadi.
Hari-hari berlalu, aku sudah terbiasa dengan suara desahan Laila , walau sebenarnya aku rindu dengan dengkuran anakku. Terkadang disaat Laila tidak mendesah, dan anakku tidur, aku tetap tidak bisa mendengarnya mendengkur, karena suara dengkuran Laila terlalu nyaring dan mengalahkan suara dengkuran anakku. Tapi aku selalu disini, menjagamu nak, walau sudah ada Laila .
Aku kemarin terjatuh karena Laila , dia beradu mulut dengan anakku, entah karena apa, tapi aku mendengar mereka menyebut-nyebut shinta. Sepertinya dia cemburu dengan shinta, atau mungkin karena dia pernah mendengar anakku mengigau menyebut nama shinta. Entahlah. Akhir-akhir ini mereka memang sering sekali beradu mulut, Laila yang marah tidak sengaja menyenggolku, aku retak tapi biarlah, yang penting aku masih di sini, menjaga anakku. Aku tidak suka melihat mereka beradu mulut begitu, tapi aku terkadang malah menantikan saat-saat itu, karena jika sudah beradu mulut biasanya Laila akan pergi, dan anakku akan tidur sendiri. Hanya aku dan anakku, tidak ada suara desahan Laila atau suara dengkur Laila yang nyaring, hanya aku dan anakku, hanya kami, seperti dulu.
Tahun-tahun berlalu, Laila sudah tidak tinggal di sini, mereka bercerai, mungkin karena Laila tidak bisa benar-benar mengisi hati anakku seperti Shinta atau karena Laila tidak pernah bisa memberikan aku cucu, aku juga tidak tau. Hari-hari kami lewatkan berdua, aku dan anakku. Setiap malam aku kembali mendengar dengkurnya yang semakin berat, dan dia kembali mengigaukan nama shinta. Shinta yang tidak pernah aku temui sampai hari ini. Setiap malam aku pandangi wajah anakku yang tanpa aku sadari sudah muncul kerutan-kerutan halus disekitar keningnya dibawah pelupuk matanya. Tapi dia tetap anakku, anakku yang dulu setiap siang bermain robot-robotan dikasurnya, tertawa ceria, tapi sesekali menangis. Jika ada hal-hal yang diinginkkannya tapi tidak dipenuhi oleh ibunya, bukan aku tapi ibunya yang biasa mengucapkan “selamat malam sayang” dan lalu meninggalkanya. Tetapi aku, aku adalah ibunya yang tidak pernah mengucapkan “selamat malam sayang” tapi aku tidak pernah meninggalkanya.
Sudah sebulan lebih anakku tidak pernah beranjak dari kasurnya, aku ingin merawatnya, tapi aku tidak ditakdirkan untuk itu. Ada seorang perawat yang merawatnya, perawat itu yang setiap hari mondar-mandir membawakan anakku obat. Kamu sakit apa nak? Kenapa begitu tidak berdaya. Dengkurannya masih berat, kadang diselai oleh batuk. Dia masih mengiggaukan shinta. Shinta yang tidak pernah kulihat wujudnya. Aku tau anakku sangat mencintai dia. Dulu sekali aku pernah mendengar anakku berbicara dengannya, penuh semangat, sambil membawaku, tapi aku tidak melihantnya. Walaupun aku tidak tau apa yang terjadi dengan shinta, aku cukup tau anakku mencintainya, sangat mencintainya.
Sudah seharian perawat itu tidak ada mengantarkan obat, kemana si perawat itu? Yang datang cuma sopir anakku yang membawa makanan. Belakangan aku tau kalau dia pulang kampung untuk sehari. Malam semakin larut, anakku batuk tidak henti-hentinya, napasnya berat sekali. Aku melihatnya ingin meraih gelas disampingku, tapi tangannya tidak bisa menjangkaunya, ingin aku menolongnya tapi aku tidak ditakdirkan untuk bisa. Kenapa tidak ada yang datang membantunya? Aku merasa gagal menjaganya, tidak ada yang bisa aku lakukan, karena aku ditakdirkan seperti ini. Aku tidak bisa apa-apa, bahkan hal yang selama ini aku sebut menjaganya, tidak berarti apa-apa, karena aku tidak pernah melakukan apa-apa.
Batuknya berhenti, napasnya semakin berat. Kemudian aku sadar suasana semakin sunyi, tidak ada dengkurannya, tidak juga igauannya, dan napasnya yang beratpun tidak lagi terdengar. Untuk pertama kalinya mata itu benar-benar tertutup. Aku ingin menangis, tapi aku tidak ditakdirkan untuk bisa. Aku hanya ibu yang tidak pernah bisa mengucapkan selamat tidur, tapi tidak pernah meninggalkannya.  
***
Mamaaa”
Iya sayang” jawab seorang ibu kepada anaknya yang berdiri menunjuk sesuatu.
“Aku mau itu” telunjuknya mengarah kesebuah lampu tidur berbentuk hati.
Untuk apa sayang?”
“Shinta bilang lampu tidur bisa menjaga kita disaat tidur ma. Jadi supaya aku berani tidur sendirian mama harus membelikan aku lampu tidur. Aku kan anak laki-laki, dan aku anak tunggal, harus tidur sendiri”
Yakin kamu berani?”
Aku harus seperti almarhum ayah yang pemberani ma, tapi aku akan berani kalau ada lampu itu, dia pasti menjagaku seperti mama menjagaku”

Anak kecil itu berlarian ke kasir, dipelukannya ada sebuah lampu tidur berbentuk hati. Diperjalanan pulang senyumnya sumringah sekali. Sesampai di depan rumahnya dia berteriak keras sekali memanggil nama temannya.
Shinta”
Apa?” seorang gadis kecil keluar dari sebuah rumah datang menghampirinya
Aku sudah beli lampu tidur”
“Mana? Lihat”
Tidak boleh. rahasia dong”
Dia berlari kerumahnya, tepat disebelah rumah tempat gadis kecil tadi keuar. Sesampainya di rumah dibawanya lampu itu kekamarnya, diletakkanya di samping tempat tidurnya, selalu hidup, tidak pernah mati, kecuali mati listrik. Herannya lampu itu tidak pernah rusak, walau pernah terjatuh sekali, tapi tetap hidup, menerangi kamarnya hingga akhir hayatnya lampu itu terus menyala, seolah-olah menjaganya seperti seorang ibu menjaga anaknya.

Post a Comment

0 Comments