MENGOLAH
RASA DAN MENGAMALKAN ILMU DI BULAN PUASA
Fx. Wahyu Widiantoro
Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45
Yogyakarta
Mahasiswa Fakultas Psikologi UP45 memiliki cara tersendiri
dalam mengolah rasa agar mampu mengembangkan empati. Mahasiswa sebagai calon-calon
sarjana yang nantinya siap berkarya di tengah masyarakat diharapkan memiliki
keterampilan sosial yang memadai. Salah satu kegiatan pengakuan diri sebagai
makhluk sosial, yaitu mahasiswa mengadakan acara berbagi takjil bersama
komunitas Iwayo (Ikatan Waria Yogyakarta), pada 9 Juni 2017.
Kegiatan berbagi takjil tersebut pada hakekatnya adalah
kegiatan filantropi (berbagi dengan sesama). Kegiatan tersebut penting untuk
melatih rasa empati pada mahasiswa psikologi. Baron & Byrne (2005),
menjelaskan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional
orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil
perspektif orang lain. Rasa empati ini harus dilatih, karena hal itu bukan
merupakan sifat turunan (genetis). Bagaimana cara melatih rasa empati ini?
Adalah sekumpulan mahasiswa Psikologi Universitas Proklamasi
45 Yogyakarta yang mempunyai ide cemerlang. Cara melatih rasa empati menurut
mahasiswa Psikologi UP45 itu adalah dengan mengunjungi komunitas yang selama
ini dipinggirkan oleh masyarakat. Komunitas itu adalah Iwayo, yang merupakan
sekumpulan para waria yang tinggal di Yogyakarta. Ada banyak persepsi negatif
terhadap komunitas waria, karena masyarakat masih terkungkung dengan stereotip
gender bahwa laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin. Bila ada
laki-laki yang feminin dan perempuan maskulin berarti mereka tidak normal. Prinsip
normal adalah yang menempati posisi mayoritas. Konsekuensinya, laki-laki
feminin dan perempuan maskulin menempati posisi minoritas. Oleh karena
minoritas, maka mereka selalu dipinggirkan, selalu diejek, selalu
disalah-salahkan. Padahal mereka juga manusia biasa, hanya berbeda orientasi
seksualnya. Kalau berbeda, pantaskah mereka dipinggirkan? Bukankah yang pantas
dipinggirkan adalah orang yang melanggar hukum? Padahal para waria itu sama sekali
tidak melanggar hukum.
Fenomena ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat
inilah yang harus dihadapi oleh mahasiswa Psikologi UP45. Mereka harus belajar
untuk tidak serta-merta memvonis seseorang karena orientasi seksualnya. Ketidakadilan
gender itu bermuara pada prasangka dan kemudian menjalar pada perilaku diskriminasi.
Prasangka terjadi karena kita tidak mengenal secara langsung objek prasangka. Jadi
cara paling efektif untuk memerangi prasangka adalah kita berkenalan langsung
dengan target prasangka. Berkenalan langsung dan diteruskan dengan silaturahmi
apalagi sambil makan-makan merupakan cara jitu untuk saling memahami.
Jadi acara kunjungan kepada komunikatas Iwayo ini sebenarnya
tidak hanya bermakna melatih rasa empati dan memunculkan kegiatan filantropi saja,
tetapi juga ajang pengamalan ilmu khususnya psikologi sosial. Acara kunjungan
pada komunitas Iwayo ini terlaksana pada 9 Juni 2017. Pencetus acara adalah 14
mahasiswa Psikologi UP45, yang mana sehari-hari mereka memang cemerlang. Mereka
selalu beradu ide, bukan beradu gosip (itu ciri orang sukses). Lokasi acara
kunjungan adalah di Kricak Kidul RW. 04 Yogyakarta. Dari pihak Iwayo, ada 6
orang perwakilan yang menemui mahasiswa. Selain itu pimpinan daerah (Bapak RT)
juga ikut hadir.
Pesan yang dapat dipetik dari acara kunjungan itu adalah mahasiswa
harus menjadi agen perubahan di masyarakat yang cenderung stereotip gender ini.
Menjadi berbeda orientasi seksual bukan berarti harus dipinggirkan. Mereka juga
punya martabat dan tentu saja patuh pada NKRI, Pancasila, serta Bhinneka
Tunggal Ika. Jadi mereka adalah saudara-saudara kita juga.
Selamat untuk para mahasiswa Psikologi UP45, yang telah
mempunyai ide-ide cemerlang tentang filantropi serta melaksanakannya dengan penuh
kasih. Ditunggu kegiatan keren berikutnya.
Referensi:
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji