UPAYA
PENINGKATAN MUTU MANAJEMEN PRODI
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Bisakah saya menjadi pemimpin? Apakah saya pemimpin yang
baik? Kalau betul saya pemimpin baik dengan indikator telah memenangkan
berbagai kejuaran kaprodi, mengapa saya hanya diam saja melihat situasi buruk
di tempat saya bekerja? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sangat mengganggu,
karena saya sering merasa tidak percaya diri menjadi Kaprodi. Saya selalu silau
oleh kinerja kaprodi lainnya baik di lingkungan UP45 maupun di universitas
lainnya. Mereka selalu lebih baik daripada kinerja saya.
Untuk memecah keraguan tentang kepemimpinan itu, beruntunglah
saya mendapatkan informasi tentang pendaftaran bagi calon pemimpin nasional
yang diadakan oleh Lembaga Pertahanan Nasional atau Lemhannas. Informasi pendaftaran peserta kursus Lemhannas itu diperoleh
melalui Kopertis V Yogyakarta. Kesempatan itu hanya untuk dosen-dosen yang mempunyai
persyaratan-persyaratan tertentu yang sangat berat. Persyaratan itu antara lain:
Ø
Maksimum berusia 5 tahun sebelum pensiun.
Ø
Mempunyai jabatan akademik minimal Lektor Kepala
Ø
Mempunyai latar belakang akademik Doktor.
Ø Menduduki posisi sebagai pimpinan di lingkungan organisasi
tempat berkarya sekarang ini.
Ø Lulus tes kesehatan lengkap.
Ø Mempunyai kompetensi dalam bidang komputer
Ø Mempunyai kompetensi dalam bahasa asing dengan menyerahkan
nilai TOEFL asli.
Ø Diusulkan oleh pimpinan tertinggi organisasi tempat bekerja.
Setelah bersusah
payah melengkapi persyaratan administrasi dan mengirimkannya ke Kantor Lembaga
Ketahanan Nasional RI, di jalan Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110,
maka saya tinggal menunggu tahap seleksi berikutnya. Pada 29 November 2017,
datanglah surat panggilan dengan nomor R/125/14/22/1/SET dan ditandatangani
oleh Drs. Arif Wachyunasi, Komisaris Jendral Polisi uyang menjadi Sekretaris
Utama di Lemhannas tersebut. Surat tersebut mengundang saya untuk hadir
mengikuti Tes Potensi Akademikm (TPA) dan tes psikologi (psikotes) pada 11-12
Desember 2017 di kantor Lemhannas.
Hari pertama saya mengikuti
TPA pada 11 Desember 2017, saya sangat lelah. Hal ini karena materi tesnya
sangat menguras energi. Berbagai tes potensi akademik dengan angka-angka yang
mengerikan terus menteror saya mulai dari jam 07.30 pagi sampai dengan 17.00.
Hari kedua, tes psikologi yang tidak kalah beratnya kembali menghadang saya.
Mulai dari tugas menjumlahkan angka-angka yang sederhana, bentuk-bentuk
geometris yang dijungkar balikkan, sampai dengan menggambar manusia, pohon,
harus saya lalui. Tidak kalah mengerikannya adalah tes membuat ringkasan dari
sebuah artikel dengan tema intoleransi yang semakin marak di Indonesia. Jumlah
kertas hanya 7 lembar saja. Beruntunglah saya terbiasa membuat ringkasan materi
kuliah.
Tahap selanjutnya
adalah presentasi dari ringkasan artikel intoleransi tersebut. Presentasi
dilakukan di kelompok saya yang terdiri dari 5 orang saja, dan saya
satu-satunya perempuan. Oleh karena perempuan, maka peserta yang agak dominan
(ia dalah dari militer) menunjuk saya menjadi juru tulis. Saya keberatan karena
hal itu melanggengkan gender stereotype.
Beruntunglah seorang polisi dari Sulawesi Tenggara bersedia menjadi juru tulis.
Kesan saya, pemaparan dari teman-teman saya terlalu umum, dan sama sekali tidak
ada informasi tentang apa saja yang sudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
untuk mengurangi kasus intoleransi. Beruntunglah saya sering melakukan kegiatan di bank sampah
yang merupakan bagian dari pendidikan karaker saya. Pengalaman di bank sampah
itulah yang saya kemukakan pada teman-teman kelompok.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji