Arundati
Shinta
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
foto : istimewa |
Hal
yang menarik adalah memberi dan meminta maaf justru kurang terjadi pada situasi
sehari-hari. Kalau pun memberi dan meminta maaf terjadi, itu pun cenderung
terbatas pada peristiwa yang konsekuensi kerugiannya tidak signifikan. Sangat
jarang terjadi orang bersedia memberi maaf pada pelaku yang telah membuat
kerugian tidak terkirakan. Orang juga jarang meminta maaf pada orang yang
dibencinya, karena ia merasa tidak bersalah sehingga mengapa harus meminta
maaf. Ia justru menuntut orang yang dibencinya itu meminta maaf. Alasan yang
menjadi latar belakang sesungguhnya adalah pada gengsi atau citra, yang mana
hal itu lazim terjadi pada budaya individualis. Masyarakat individualis
mempersepsikan bahwa meminta maaf erat hubungannya dengan masalah kekuasaan,
tanggung jawab, penyesalan (Maddux,
Kim, Okumura & Brett, 2011).
Oleh
karena permintaan maaf berhubungan dengan kekuasaan, maka orang yang meminta maaf
dipersepsikan gengsinya atau citra dirinya rendah. Orang cenderung menolak
suatu perilaku bilamana perilaku tersebut dipersepsikan bergengsi atau bercitra
rendah, buruk, tolol, atau negatif. Bahkan orang yang meminta maaf
dipersepsikan sebagai sang pecundang. Pada budaya individualis seperti Amerika
Serikat, permintaan maaf lebih efektif dilakukan untuk hal-hal yang sifatnya
kompetensi (intelektual;
kemampuan teknis, ketrampilan interpersonal). Pada budaya kolektif seperti
Jepang, permintaaf maaf lebih efektif ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya integritas
(nilai-nilai, moral seseorang). Alasannya adalah masyarakat individualis lebih
mengagungkan tanggung jawab individual, sehingga mereka lebih bisa menerima
permintaan maaf karena masalah kompetensi. Orang Jepang, sebaliknya, suatu
kesalahan terjadi karena situasi atau kesalahan kelompok, sehingga mereka
bersedia meminta maaf untuk hal-hal yang bersifat integrits. Tanggung jawab
pada masyarakat kolektif cenderung dilakukan bersama (Maddux et al., 2011).
Persoalannya
adalah bila tidak ada satu pun pihak yang bersedia meminta maaf. Hal itu
terutama terjadi pada situasi yang konsekuensinya sangat berat seperti: kerugian
finansial sampai ratusan ribu, jutaan atau bahkan miliaran rupiah, aib keluarga
yang sangat memalukan, menyakitkan secara fisik, menghinakan situasi psikhis, dan
menyentuh ranah hukum. Apabila konsekuensi kesalahan dirasakan terlalu berat,
maka alih-alih meminta maaf, sang pelaku mungkin saja justru melarikan diri
atau bunuh diri.
Maddux, W. W.; Kim, P. H.; Okumura, T.
& Brett, J. M. (2011). Cultural difference in the function and
meaning of apologies. International
Negotiation, 16, 405-425.
- Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, pada acara JELITA (Jendela Wanita), pada 18 Agustus 2012.
- Komentar pada tulisan ini dialamatkan pada arundatishinta@yahoo.com
3 Comments
Kalau saya sih enggan untuk meminta maaf dulu, bila saya tidak merasa bersalah. Buat apa? Bukankah dia yang salah, mengapa saya harus merendahkan diri? Kalau saya merasa bersalah, oke saya tidak segan-segan untuk minta maaf dulu. Apa komentar bu Shinta?
ReplyDeleteMinta maaf lebih dulu, padahal saya tidak merasa bersalah. Ah nggak mau, gengsi. Kalau pas Lebaran mau, kalau tidak Lebaran? Nanti kalau diketawain gimana coba?
ReplyDeleteTerima kasih untuk responnya. Kita berani minta maaf meskipun tidak merasa bersalah menunjukkan jiwa yang besar. Salam sukses, A. Shinta
DeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji