Arundati Shinta
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Dari 101 PTS di DIY, hanya
11 PTS (11%) saja yang mengikuti Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tingkat DIY 2003
yang diadakan beberapa waktu lalu. Sebelas PTS itu hanya mengirimkan 14 karya
tulis. Data yang memprihatinkan itu ditulis Ana Nadhya Abrar pada Kedaulatan
Rakyat 30 Agustus lalu. Untuk mengatasi situasi yang tidak kondusif bagi
terciptanya iklim akademik, maka Abrar mendorong para dosen tidak hanya pintar
bicara di depan kelas saja. Dosen juga harus memberi suri tauladan nyata
seperti membuat diktat, buku, menulis di jurnal, dan sebagainya. Intinya, dosen
memperlihatkan antusiasme tinggi pada kegiatan menulis. Menulis dalam hal ini
berarti membuat karya tulis, bukan menulis dengan SMS, grafiti, atau surat cinta.
Pertanyaannya adalah apakah dosen yang sudah memperlihatkan tradisi kuat pada
kegiatan menulis, lantas mahasiswanya juga akan mencontohnya? Jawabannya, tidak
selalu.
Memang ada segelintir mahasiswa yang kemudian aktif menulis.
Bahkan ada yang mengikuti lomba karya ilmiah tingkat nasional. Namun umumnya
mahasiswa enggan menulis. Agar mau dan mampu menulis dengan baik, maka mereka
harus dipaksa. Mengapa harus dipaksa? Tidak hanya mahasiswa, orang awam pun
merasakan bahwa menulis itu pekerjaan yang tidak menyenangkan. Padahal menulis
itu penting untuk membuka wacana pemikiran. Cara memunculkan perilaku menulis
yaitu harus diiringi dengan reward
(imbalan) yang penting baginya, sehingga perilaku itu menjadi semakin kuat dan
menetap sifatnya. Bila hal itu diterapkan di kalangan universitas, maka reward itu bisa dihubungkan dengan nilai
kelulusannya.
Untuk membangkitkan semangat menulis ini, dosen hendaknya
bertindak seperti layaknya seorang tutor dalam kursus menulis yang selalu
menyediakan waktu untuk menyunting tulisan mahasiswa. Tulisan tidak hanya
berbentuk makalah, tetapi juga bisa berbentuk ringkasan jurnal atau suatu bab
dalam literatur baik yang berbahasa asing maupun Indonesia. Dalam tahap ini tidak
jarang mahasiswa merasa frustrasi karena tulisannya dicorat-coret dosen. Karena
itu dosen yang berperan sebagai tutor itu juga harus bisa memotivasi mahasiswa
agar tidak putus asa. Berdasarkan hasil pengamatan, rasa frustrasi akan
memuncak bila corat-coret dosen itu tidak menunjukkan suatu solusi yang mudah
dipahami.
Dalam sistem ini perlu diingat bahwa mahasiswa harus tepat
waktu dalam mengumpulkan hasil tulisan. Mengapa? Karena mahasiswa umumnya
senang menunda waktu pengumpulan tugas. Bila mahasiswa diberi waktu satu minggu
untuk menyelesaikan suatu tugas, maka ia akan mengerjakan satu hari sebelum
waktu pengumpulan tulisan. Berapa lama pun waktu yang disediakan, mahasiswa
cenderung untuk menawar dan ia akan mengatakan bahwa waktunya terlalu sempit.
Suatu alasan yang mengada-ada, sebab kalau tugas itu dikerjakan sehari
sebelumnya memang waktunya sempit.
Langkah selanjutnya untuk mendongkrak semangat mahasiswa agar
lebih senang menulis yaitu mempublikasikan hasil karya tulisnya di media massa. Tentu saja setelah
karya itu disunting terlebih dahulu oleh dosen, sehingga kecil kemungkinan
ditolaknya karya itu oleh redaktur. Alangkah bangganya mahasiswa itu bila
namanya bisa terpampang di media massa.
Dorongan selanjutnya dari dosen yaitu mengikutkan karya tulis mahasiswa pada
berbagai kompetisi menulis. Kompetisi menulis tidak hanya datang dari
Depdiknas, LIPI, Kopertis atau lembaga sejenisnya. Kompetisi bisa datang dari
suatu LSM, atau suatu organisasi yang ingin memperkenalkan programnya di
masyarakat. Dalam hal ini dosen hendaknya harus teliti dalam mencari informasi
lomba menulis, dan kemudian mengarahkan mahasiswa untuk membuat makalah sesuai
dengan tema lomba dan sekaligus sebagai tugas kuliahnya. Jadi mahasiswa
mengerjakan satu tugas untuk mencapai dua hal. Bila ternyata mahasiswa tidak
bisa menang, maka hal itu tidak perlu disesali. Sebab yang dipentingkan adalah
partisipasi dalam menulis.
Cara-cara mendorong mahasiswa untuk giat menulis semacam ini
memang mengandung banyak kelemahan. Antara lain jumlah mahasiswa dalam satu
kelas tidak boleh terlalu banyak, dan mungkin hanya sesuai untuk pelajaran
tertentu serta mahasiswa tingkat tertentu saja. Bila mahasiswa baru dikenai
sistem semacam ini, mungkin isi kuliah justru tidak akan selesai. Kelemahan selanjutnya
yaitu rawan penjiplakan karya tulis orang lain atau makalah itu justru
dikerjakan oleh orang lain. Salah satu cara untuk mengatasinya mahasiswa
diwajibkan untuk mempresentasikan hasil tulisannya pada akhir perkuliahan. Bila
itu bukan hasil karyanya sendiri maka biasanya ia tidak bisa membawakannya
dengan baik.
Meskipun mengandung banyak kelemahan, tidak berarti hasil
pengamatan tentang perilaku mahasiswa dalam kegiatan menulis ini tidak perlu
dicoba. Ini penting agar kegiatan menulis menjadi suatu hal yang menyenangkan
dan tidak perlu dipaksakan. Bahkan menulis bisa dijadikan gantungan hidup utama
seperti halnya wartawan, sastrawan, penulis cerita sinetron, dan sebagainya.
Catatan:
- Tulisan ini pernah diterbitkan pada Majalah Siaran Pemerintah Daerah DIY, No. 12 Th. XXX, Desember 2003.
- Segala korespondensi untuk komnetar tulisan ditujukan pada arundatishinta@yahoo.com
1 Comments
Setuju bu Shinta, menulis itu memang harus dipaksa kok. Kalau tidak dipaksa, maka kita tidak akan produktif. Apa bu Shinta suka memaksa mahasiswanya? Betapa menderitanya mereka sekarang ya? Tetapi mereka akan senang pada masa depannya, karena CVnya lebih terisi daripa melompong.
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji