Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

SIAPA YANG HARUS MEMBAYAR PENDIDIKAN?



Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Ringkasan

Pendidikan itu sangat mahal, sehingga tidak banyak penduduk Indonesia yang bisa menikmati hal yang mewah itu. Lantas siapa yang harus menyediakan sarana pendidikan bagi masyarakat Indonesia, bila pemerintah tidak juga kunjung mengucurkan dana yang memadai? Tulisan ini hendak mendorong pembaca agar peduli pada pendidikan, paling tidak memberikan semcam bantuan belajar pada tetangga sekeliling yang membutuhkan.


Foto : Elisa
Sungguh beruntung keluarga besar Polgar di Hongaria, yang telah menghasilkan anak-anak yang super kualitasnya. Dr. Laszlo Polgar adalah seorang pendidik yang telah membuat sendiri program pelajaran untuk ketiga anaknya, sesuai dengan tingkat usianya. Anak-anak itu tidak diikutkan dalam sekolah formal biasa, tetapi dididik di rumah saja. Beberapa guru diminta untuk datang ke rumah dan memberi pelajaran matematika, sejarah dan geografi. Mereka juga harus belajar fotografi, karate, tenis dan bahasa asing. Hasilnya adalah ketiga anak perempuan Polgar itu paling sedikit menguasai lima bahasa asing. Mereka adalah juara catur tingkat dunia.

Sayangnya, situasi yang dinikmati oleh keluarga Polgar itu hanya bisa diimpikan saja oleh keluarga-keluarga di Indonesia. Sebab Kompas (23/4/2003) melaporkan bahwa lebih dari 64.5% penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 10 tahun ternyata hanya tamat SD, tidak tamat SD, bahkan ada yang tidak mampu bersekolah. Sebanyak 43.9% diantaranya bahkan menyandang status buta huruf. Dari angka itu, sebanyak 79.6% adalah penduduk perempuan. Cobalah bayangkan betapa kontrasnya keadaan penduduk perempuan Indonesia dengan prestasi yang diraih anak perempuan keluarga Polgar, bagaikan bumi dan langit.


Diskusi tentang pendidikan tentu tidak lepas dari pembicaraan tentang dana pendidikan. Jangankan pendidikan yang berkualitas ala keluarga Polgar, pendidikan yang seadanya saja masih terasa mewah di Indonesia. Situasi dalam keluarga Polgar bisa dicapai karena Dr. Laszlo Polgar bukanlah warga yang miskin. Ia bisa menyediakan pendidikan yang berkualitas untuk keluarganya. Di Indonesia, sangat banyak orangtua yang untuk makan sehari-hari saja uangnya tidak mencukupi. Apalagi untuk mengirim anaknya ke sekolah. Mereka memang betul-betul miskin. Oleh karena itu untuk mengatasi kemiskinan, maka para orangtua itu tidak segan-segan untuk menyuruh anaknya untuk bekerja. Misalnya menjadi pengamen, pengemis, dan sebagainya. Jadi dalam hal ini program pemerintah Wajib Belajar 9 tahun ternyata masih jauh dari angan-angan.

Menghadapi kemiskinan semacam itu kita mungkin akan merenung, apakah pemerintah sebaiknya mencukupi urusan pangan dahulu, baru pendidikan? Tetapi bukankah pendidikan yang memadai bisa merupakan sarana untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik? Kebingungan itu mungkin bisa dijelaskan dengan lebih baik melalui konsep “Lingkaran Setan Kemiskinan” yang dikemukakan oleh Ali Khomsan dalam tulisannya di Kompas (13/3/2003) yang berjudul Exit Strategy Kemiskinan. Karena penulis itu ahli gizi, maka ia menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini mempunyai status gizi dan kesehatan yang buruk. Akibatnya anak-anak tidak mampu berpikir dengan baik, sehingga tingkat pendidikannya pun rendah. Akibat selanjutnya adalah akses terhadap kesempatan kerja rendah, dan mereka berkubang dalam lumpur kemiskinan. Kemiskinan ini menyebabkan akses terhadap penggunaan pelayanan kesehatan juga rendah, sehingga angka kematian dan angka kesakitan tinggi. Situasi ini kembali lagi akan menyebabkan masyarakat mempunyai status gizi dan kesehatan yang buruk. Demikianlah lingkaran setan kemiskinan ini berputar terus. Apa yang harus dilakukan untuk memutus lingkaran setan tersebut?

Untuk bidang pendidikan, Ali Khomsan memang menyarankan agar pemerintah turun tangan. Caranya yaitu pemerintah menyediakan sarana pendidikan dasar dengan gratis. Orangtua murid tidak ditarik uang sumbangan apa pun juga, sehingga program wajib belajar 9 tahun dapat terlaksana. Juga disarankan agar masyarakat miskin tidak dibebani dengan uang BP3 atau iuran tes hasil belajar. Ide Khomsan itu itu nampaknya sejalan dengan tulisan Djauzak Ahmad di Kompas (15/4/2003) bahwa pelaksanaan SD harus diprioritaskan dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, alias gratis. Ia juga menyarankan bahwa pendidikan 9 tahun hendaknya ditunda dahulu, dan lebih diprioritaskan pendidikan 6 tahun saja. Hal ini untuk menjaga mutu kelulusannya.

Ide dari Ahmad tersebut dapat dipahami karena situasi ekonomi penduduk Inonesia sekarang ini memang sedang ‘terengah-engah’. Bila masyarakat diwajibkan untuk menyekolahkan anak-anaknya selama 9 tahun, kemungkinan justru mereka enggan melaksanakannya. Meskipun pendidikan itu gratis sama sekali. Sebab tenaga anak-anak itu bernilai ekonomi. Penduduk umumnya berpikir daripada duduk di sekolah yang tidak segera mendapatkan hasil, maka lebih baik tidak sekolah saja dan langsung bekerja membantu orangtua mencari nafkah. Selain itu pemaksaan wajib belajar 9 tahun justru akan menyebabkan turunnya kualitas pendidikan. Di samping itu, Ahmad juga memberikan ide-ide yang applicable seperti: tidak diwajibkannya pakaian seragam di daerah miskin; murid SD yang berkemampuan tinggi tetapi miskin ehndaknya diberi bea siswa sampai SLTP; siswa yang tidak mau melanjutkan sekolah hendaknya diberi ketrampilan seperti tukang kayu, pertanian, nelayan, dan sebagainya.

Ide dari Ahmad dan Khomsan itu pasti menyenangkan masyarakat pada umumnya, khususnya penduduk yang miskin. Pertanyaannya adalah apakah mungkin pemerintah diminta untuk membiayai pendidikan dasar ini secara total, sehingga masyarakat tidak perlu membayar satu rupiah pun? Pertanyaan ini nampaknya masih merupakan impian yang mewah. Pemerintah memang belum memprioritaskan pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Prioritas pemerintah mungkin sekarang ini adalah menyukseskan Pemilu pada tahun 2004 nanti. Sementara itu anak-anak kita tentu saja tidak boleh berdiam diri saja, sambil menunggu datangnya insight pada pemerintah, bahwa pendidikan itu penting. Kalau demikian halnya apa yang dapat dilakukan agar anak-anak kita tetap dapat mengenyam pendidikan yang memadai?

Hal ini penting untuk segera dilaksanakan karena anak-anak itu dikejar oleh usia dan pemenuhan kebutuhan ekonomi orangtua. Jadi di sini ada semacam ‘perlombaan tarik tambang’ antara pemerintah dan para orangtua yang miskin. Bila pemerintah menang, maka pendidikan 6, 9, atau bahkan 12 tahun akan berjalan dengan lancar. Bila masyarakat miskin menang, maka anak-anak tidak perlu sekolah dan lebih bermanfaat bila mereka membantu orangtua saja. Contohnya, Susi Ivvaty dalam Kompas (5/5/2003) telah menuliskan bahwa TPA (Tempat Penitipan Anak) Tunas Jaya di kawasan Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, telah bersusah payah membujuk para orangtua agar menitipkan anaknya di TPA tersebut. Keengganan menitipkan anak bukan karena mahalnya biaya penitipan (biayanya Rp. 2.000,-/hari) tetapi karena tenaga anak itu sangat dibutuhkan untuk membantu orangtua. Seorang anak (6 tahun) bernama Lela, ternyata dengan ceria membantu ibunya mengupas bawang. Keceriaan yang sama juga tercermin dari muka Tika yang sedang belajar berhitung di TPA tersebut.

Karena pemerintah itu memang tidak sembada (tidak mempunyai dana pendidikan yang memadai) maka ‘perlombaan tarik tambang’ itu harus diintervensi. Tujuannya adalah misi pemerintah – yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa – dapat terlaksana dan sekaligus anak-anak kita dapat mengenyam sarana pendidikan yang memadai. Kunci keberhasilan dari intervensi itu adalah pemberdayaan dari pihak-pihak yang merasa butuh secara langsung akan pendidikan ini, yaitu orangtua. Namun para orangtua ini mempunyai hambatan klasik, yaitu tidak ada dana. Jangankan untuk pendidikan anak, untuk makan sehari-hari saja tidak ada dana. Ini karena para orangtua itu memang betul-betul miskin. Dalam konsep pemberdayaan ini, tentu saja tidak semua orangtua diasumsikan berstatus miskin. Jadi dasar utama pemberdayaan ini ialah pihak yang kaya membantu yang miskin. Istilah yang populer yaitu subsidi silang (Suparno, 2003:4). Konsep pemberdayaan ini justru lebih menampilkan suasana keadilan, sebab memang pendidikan itu tidak mungkin bisa gratis. Bila gratis, maka pihak yang kaya akan menikmati fasilitas pendidikan jauh lebih banyak daripada pihak yang miskin.

Bagaimana operasionalisasi pemberdayaan orangtua untuk pendidikan ini? Meskipun para orangtua itu sudah mengetahui bahwa harus ada subsidi silang untuk pendidikan anak-anaknya, namun mereka tetap harus digerakkan oleh seorang koordinator. Tanpa kehadiran koordinator, maka para orangtua itu mungkin justru enggan untuk menyumbangkan uangnya. Koordinator itu pun harus merupakan figur yang bisa dipercaya, dan mampu mengelola keuangan secara terbuka dan bertanggung jawab. Koordinator ini bisa berasal dari LSM, atau pun salah satu dari orangtua itu sendiri. Untunglah pihak pemerintah juga mendukung, yaitu mengganti sistem proyek  di sekolah dengan sistem block grant (Kompas, 15/4/2003). Artinya sekolah dan kelompok masyarakat langsung menerima dana untuk kegiatan mereka.

Contoh kepedulian seorang warga di desa Papandangan, Kec. Aanreapi, Kab. Polmas, Sulawesi Selatan yaitu Makmur (30 tahun) mungkin bisa membangkitkan semangat kita semua untuk lebih peduli pada keadaan pendidikan di Indonesia (Kompas, 23/4/2003). Ia telah merelakan kebun kakaonya untuk lokasi kegiatan belajar luar sekolah. Inisiatif dasarnya yaitu bahwa kecerdasan akan membuat taraf hidup lebih baik. Kecerdasan ini diperoleh melalui ketrampilan membaca, menulis dan berhitung. Begitu bersemangatnya masyarakat Pappandangan mengikuti program itu, sehingga ada seorang anggota TNI yang mengikuti kelompok belajar paket C (SMU). Ia berharap ijasah persamaan SMU bisa memperbaiki nasibnya.

Selanjutnya cerita dari Kab. Purwakarta Jawa Barat, ternyata sangat menggugah semangat kepedulian pada pihak yang kurang beruntung (Kompas, 11/4/2003). Masyarakat di daerah itu telah jemu dengan ulah para pejabat yang hanya bisa membangun gedung sekolah yang bermutu rendah. Beberapa bulan setelah diresmikan, gedung itu ambruk. Masyarakat kemudian berinisiatif mengumpulkan dana, para pengusaha dan tokoh masyarakat menyumbangkan semen, batu kali, bahkan para warga setempat juga menyediakan dirinya sebagai tukang. Hasilnya adalah beberapa ruang kelas yang bermutu bagus di SDN Andir, Kec. Sukatani, SDN Cibinong Kec. Plered, dan SDN Cisarua IV Kec. Tegalwaru. Hebatnya, peresmian ruang kelas itu dilakukan oleh tiga menteri yaitu Menkesra Yusuf Kalla, Menteri Perencanaan Pembangunan Kwik Kian Gie, dan Menteri Pendidikan A. Malik Fadjar.

Semoga contoh-contoh pemberdayaan masyarakat ini tidak membuat pihak pemerintah menjadi semakin tidak mempedulikan dunia pendidikan Indonesia. Sebab bukankah ada saja anggota masyarakat yang bersedia menyumbangkan sebagian hartanya untuk pendidikan? Bagaimana pun juga, semakin banyak anak-anak Indonesia yang berpendidikan tinggi, maka semakin tinggi pula mutu SDM-nya. Hal ini bisa terlaksana bila pemerintah memfasilitasi secara optimal bidang pendidikan, masyarakat, LSM, dan para pengusaha pun bergotong royong membangun sistem pendidikan yang tangguh.

Daftar Pustaka

Ahmad, D. (2003). POMG, BP3 dan komite sekolah. Kompas. 15 April, halaman 8.
Ivvaty, S. (2003). Menunggu ibu selesai mengupas bawang. Dalam Kompas. 5 Mei, halaman 1 – 11.
Khosan, A. (2003). Exit strategy kemiskinan. Kompas. 13 Maret, halaman 4-5.
Kompas. 11 April 2003. Ketika sekolah tak lagi diproyekkan. Halaman 8.
Kompas. 15 April 2003. Pendidikan untuk semua baru sebatas jargon. Halaman 8.
Kompas. 23 April 2003. Semangat pencerdasan tanpa sekolah. Halaman 8.
Shinta, A. (2000). Peranan dan tanggung jawab orangtua dalam pendidikan. Lomba penulisan artikel pendidikan dengan tema Merancang Masa Depan Pendidikan Indonesia. Penyelenggara Universitas Negeri Yogyakarta, Mei.
Suparno, P. (2003). “Wajib mengikuti pendidikan dasar: Akan jalan?”. Kompas. 24 April, halaman 4.


Catatan:
  • Versi pertama tulisan ini adalah untuk keperluan Lomba Penulisan Artikel Pendidikan “Merancang Masa Depan Pendidikan Indonesia” yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta, pada 9 Mei 2000.
  • Korespondensi: arundatishinta@yahoo.com



Post a Comment

3 Comments

  1. Ayo perhatikan generasi muda supaya menjadi lebih baik. Jangan sampai kita mengalami 'lost generation'.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas komentar Anda. Betul, saya juga khawatir terjadi lost generation, atau generasi yang ada kualitasnya rendah. Banyak orang berpikir bahwa mereka tidak bisa mendidik karena miskin. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena seandainya mereka kaya, belum tentu anak-anaknya berkualitas bagus. Hal yang paling penting dalam mendidik anak adalah perhatian, sehingga kita sebagai orangtua dapat memberikan waktu sebaik-baiknya pada anak-anak. Ok, salam sukses untuk Anda dan keluarga, A. Shinta

      Delete
  2. PERMANENT DOCTOR NEEDED - URGENT !!!

    We are Owner and Operator a General Practice (GP) Clinic in Bandar Sungai Long, Bangi and Putrajaya (Presint Diplomatik - Klinik Pakar KASIH).

    We are looking for a dedicated Medical Officer Requirements at Bandar Sungai Long Clinic:-
    Lady doctor
    MBBS or equivalent from a recognized institution approved by Ministry of Health Malaysia
    Possess valid Annual Practicing Certificate
    Registered with Malaysia Medical Council
    Minimum 2 years working experience in Obstetric & Gynecology
    Attended an Obstetric Life Saving Skill
    Attended A Neonatal Resuscitation Program
    Working hours negotiable with minimum on-call
    Very attractive salary RM7,000 (starting)
    Kindly please send to recommend CV to: aznial@gmail.com

    Clinic information:-

    PUSAT RAWATAN SUNGAI LONG
    NO. 12 JALAN SL 1/13
    BANDAR SUNGAI LONG
    43000 KAJANG
    SELANGOR
    TEL / FAX: 03-90114833

    ReplyDelete

Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji