Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Berkantung bolong nampaknya akan selalu menjadi nasib saya pada setiap akhir bulan. Hal ini karena karena saya merasa sering kedodoran dalam mengelola keuangan keluarga, lebih tepatnya keuangan suami. Akibatnya bisa ditebak, saya sering mengalami kebingungan dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Kebingungan rutin pada akhir bulan dapat terlihat nyata dari kurang bervariasinya menu masakan.
Sebenarnya sudah sangat sering saya mencoba berbagai cara
untuk mengatasi problem kantung bolong ini. Cara pengelolaan uang yang pernah
saya coba adalah mencatat semua pengeluaran pada buku catatan. Begitu telitinya
saya mencatat semua pengeluaran, sehingga untuk keperluan parkir kendaraan dan
memberikan sedekah pada pengemis pun saya catat. Ide ini berasal dari kebiasaan
almarhum ibu saya yang sangat teliti dalam membelanjakan uang yang berasal dari
ayah saya. Maklum, beliau mempunyai latar belakang pendidikan Belanda yang
sangat menekankan ketelitian dalam berhitung. Pada mulanya saya merasa
kesulitan, karena faktor lupa dan seringnya menunda-nunda proses pencatatan.
Meskipun merasa kesulitan, saya memaksa diri untuk tetap melakukan metode
pencatatan ini karena tertantang oleh kebiasaan pengasuh saya yang sudah tua
dan buta huruf tetapi sangat kuat daya ingatnya terutama terhadap uang yang
sudah dibelanjakannya.
Setelah beberapa lama menjalankan metode pencatatan daftar
pengeluaran ini, lama kelamaan saya merasa tidak tahan. Hal ini karena saya
sering merasa menyesal pada akhir bulan ketika melihat daftar pengeluaran yang
tinggi. Saya menyalahkan diri sendiri dan menjadi depresi. Akhirnya saya
memutuskan untuk meninggalkan metode pencatatan ini, karena saya tidak ingin
diperbudak oleh buku catatan daftar pengeluaran ini.
Setelah tidak menggunakan metode pencatatan, saya menjadi
gelisah dan merasa bersalah pada suami karena akhir bulan tetap saja berkantung
bolong. Saya berusaha mengingat-ingat masa kecil ketika saya harus hidup
bersama almarhum nenek, karena kedua orangtua saya pergi ke Colorado Amerika
Serikat untuk menuntut ilmu. Nenek saya juga berlatar belakang pendidikan
Belanda dan super teliti dalam mengatur keuangan keluarga. Nenek menjadi kepala
keluarga karena harus menghidupi lima
cucu dan sumber keuangan hanya gaji ayah saya serta pensiun kakek. Kami semua
dilatih untuk super hemat, apalagi pada masa itu (sekitar tahun 1968) situasi
negara tidak stabil sehingga harga barang-barang kebutuhan sehari-hari sulit
dikendalikan.
Cara jitu nenek saya dalam mengelola keuangan sangat
sederhana yaitu menggunakan metode amplop. Pada setiap awal bulan nenek selalu
memasukkan uang pada banyak amplop. Satu amplop hanya untuk satu kebutuhan
saja, dan kebutuhan itu tertulis pada bagian luar amplop. Amplop yang sudah
terisi kemudian direkatkan dengan lem untuk mengurangi godaan mengambil uang.
Metode ini saya tiru dan ternyata sangat ampuh untuk mengelola keuangan
keluarga. Memang ada kalanya saya harus merobek amplop untuk kebutuhan yang
tidak sesuai dengan yang tertulis di amplop, namun peristiwa itu jarang
terjadi. Suami yang melihat amplop-amplop berisi uang juga menjadi tidak
tergoda untuk membelanjakan uang. Agar lebih hemat, amplop-amplop itu dibuat
dari kertas bekas yang masih layak pakai. Jadi sekarang saya mempunyai banyak persediaan
amplop untuk menata keuangan keluarga. Saya bersyukur warisan nenek ternyata
sangat berguna dalam penataan keuangan.
Tulisan ini dimuat di Kompasiana.com
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji