Agus Priyono
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Abstract
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah kawasan wisata yang cukup
dikenal dan merupakan daerah wisata nomer 3 paling banyak dikunjungi di
Indonesia. Aktivitas wisata yang ada telah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari masyarakatnya. Mereka memanfaatkannya dengan mengelola penginapan,
rumah makan, warung, berjualan dan jasa wisata lainnya. Dengan adanya penetapan
Yogyakarta Daerah Tujuan Wisata, maka pengelolaan pariwisata akan disesuaikan
dengan pengelolaan YDTW. Kawasan Yogyakarta akan dibagi dalam beberapa zona
dengan batasan dan aturan yang mengikat sebagai kawasan wisata. Hal ini akan
mempengaruhi perkembangan kawasan wisata, termasuk perkembangan pariwisatanya.
Melalui pendekatan fisik, sosial-budaya dan spasial, penelitian ini dilakukan
untuk memperoleh gambaran mengenai prospek pengembangan berbagai jenis kegiatan
wisata, prasarana dan sarana serta pengelolaan pasca penetapan YDTW. Secara
umum kondisi pariwisata di Yogyakarta memiliki prospek yang baik karena adanya
3 hal : potensi wisata yang cukup besar, pasar wisata yang cukup luas dan
peluang yang cukup besar bagi pengembangan wisata di kawasan Yogyakarta dan
sekitarnya. Berbagai jenis kegiatan wisata baru dapat dikembangkan, untuk menunjang
pengembangan pariwisata tersebut perlu dibangun pula beberapa fasilitas penunjang,
seperti pusat informasi, pondok wisata, canopy trail dan lain-lain. Pada
akhirnya untuk keberlanjutan pengelolaan pariwisatanya, pemerintah harus
memaksimalkan peran serta masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta dan
sekitarnya.
Sejak
dipopulerkannya istilah pariwisata oleh Presiden Soekarno pada Musyawarah
Nasional Tourism kedua di Tretes Jawa Timur pada tanggal 12 -14 Juni 1958
(Musanef, 1996:9), pemerintah semakin optimis bahwa pembangunan pariwisata
dapat mendongkrak devisa Negara. Tapi, dalam perjalanannya pendapatan dari
sektor pariwisata tidak semulus yang direncanakan. Jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara dari tahun ke tahun semakin melorot walaupun rupiah mengalami
depresiasi yang mengakibatkan biaya hidup di Indonesia semakin murah tetap tidak
dapat menarik wisatawan. Menurunnya kunjungan wisatawan mancanegara ke
Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata di Indonesia kurang menarik
minat wisatawan mancanegara untuk datang berkunjung dan masih terkonsentrasi
pada Daerah Tujuan Wisata (DTW) tertentu. Menyiasati masalah tersebut pemerintah
sebaiknya melakukan gebrakan dengan menggencarkan promosi -promosi wisata di
dalam maupun di luar negeri. Sebenarnya, tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah sudah tepat bila dibarengi dengan kesiapan Daerah Tujuan Wisata yang
dipromosikannya. Sampai sekarang Daerah Tujuan Wisata tertentu saja yang siap
menerima kunjungan wisatawan. Sehingga sebaik apapun bentuk promosi yang
dilakukan oleh pemerintah tidak akan membawa hasil yang signifikan bila tidak
dibarengi oleh pengemasan produk pariwisata di Daerah Tujuan Wisata. Faktor ini
akan menimbulkan kekecewaan wisatawan karena kenyataan di lapangan berbeda
dengan janji promosi yang mereka lihat dan dengar.
Tema:
Strategi Pemasaran dan Promosi Pariwisata 2013/2014 DIY dan sekitarnya
Produk Pariwisata
Menurut
Spillane (1994:14), kegiatan pariwisata dapat menjadi besar disebabkan tiga
hal. Pertama, penampilan yang
eksotis dari pariwisata, kedua,
adanya keinginan dan kebutuhan orang modern yang disebut hiburan waktu senggang
dan ketiga, memenuhi kepentingan
politis pihak yang berkuasa dari Negara yang dijadikan daerah tujuan turisme.
Dapat dikatakan bahwa pariwisata adalah aktivitas yang dilibatkan oleh orang
-orang yang melakukan perjalanan. Memang, sebagian besar aktivitas pariwisata
berhubungan dengan mobilitas dengan istilah pariwisatanya disebut tur yaitu
suatu kegiatan perjalanan yang mempunyai ciri–ciri tersendiri yang memberi
warna wisata, bersifat santai, gembira, bahagia, dan untuk bersenang-senang. Berdasarkan
aktivitasnya, penyelenggaraan pariwisata harus memenuhi tiga determinan yang menjadi syarat mutlak. Pertama, harus ada komplementaritas antara motif wisata dan
atraksi wisata, kedua, komplementaritas
antara kebutuhan wisatawan dan jasa pelayanan wisata, ketiga, transferbilitas, artinya kemudahan untuk berpindah tempat
atau bepergian dari tempat tinggal wisatawan ke tempat atraksi wisata. Dipertegas
oleh Witt dan Motinho (1994:29), sistem pariwisata menunjukkan bahwa pariwisata
berada di dalam lingkungan fisik, teknologi, sosial, budaya, ekonomi dan
politik. Sistem ini melibatkan dua tipe area yaitu area yang menghasilkan dan
area yang menerima. Bagian dari area yang menghasilkan terdiri dari pelayanan
tiket, tur operator, dan agen perjalanan, ditambah dengan pemasaran dan kegiatan
promosi dari persaingan kawasan tujuan. Saluran tranportasi dan komunikasi yang
menghubungkan bagian dari sistem pariwisata melalui tranportasi udara, daratan
dan air yang membawa turis ke/ dan/dari adalah ketiga bagian tersebut.
Sedangkan area penerima menyediakan fungsi akomodasi, catering, minuman, industri
hiburan, obyek dan atraksi wisata, tempat pembelanjaan dan pelayanan wisata.
Atas penegasan tersebut memperjelas bahwa produk pariwisata meliputi
keseluruhan pelayanan yang diperoleh, dirasakan
atau dinikmati wisatawan, semenjak ia meninggalkan rumah dimana biasanya ia
tinggal, sampai ke daerah tujuan wisata yang telah dipilihnya dan kembali ke
rumahnya (Yoeti, 1996:172)..
Baud-Bovy menambahkan,
produk pariwisata adalah sejumlah fasilitas dan pelayanan yang disediakan dan
diperuntukkan bagi wisatawan yang terdiri dari tiga komponen, yaitu sumber daya
yang terdapat pada suatu Daerah Tujuan Wisata, fasilitas yang terdapat di suatu
Daerah tujuan Wisata dan transportasi yang membawa dari tempat asalnya ke suatu
Daerah Tujuan Wisata tertenta. Bagaimana kalau seorang wisatawan yang melakukan
perjalanan wisata secara individu dan membeli komponen paket wisata secara terpisah
(tiket dipesan sendiri, kamar hotel dicari pada waktu di kota yang dikunjungi,
makan dipilih dimana mereka suka, hiburan sesuai dengan event yang ada, obyek
dan atraksi wisata dipilih setelah sampai di Daerah Tujuan Wisata yang
dikunjungi) yang mana dalam hal ini dapat disebut sebagai produk industri
pariwisata? (Yoeti, 2002:128)
Dijelaskan Yoeti
(2002:128), si wisatawan membeli ketengan secara terpisah (buy
separately) yang langsung membeli kepada unit -unit usaha yang termasuk
dalam kelompok industri pariwisata. Hal seperti ini tidak dapat dikatakan
membeli produk industri pariwisata, tetapi membeli produk Airline (tiket),
Hotel (kamar), Restourant (food and beverages), Entertainment
(cultural performance), Tourist Attractions (natural and cultural
resources). Dari uraian tersebut, semakin jelas
bahwa produk industri wisata merupakan produk gabungan (composite product),
campuran dari berbagai (as a amalgam of) obyek dan atraksi wisata (tourist
attractions), tranportasi (transportation), akomodasi (accommodations)
dan hiburan (entertainment). Tiap komponen disuplai oleh masing-masing
perusahaan atau unit kelompok industri pariwisata. Kini semakin jelas, bila
dilihat dari sisi wisatawan produk industri pariwisata itu tidak lain adalah
suatu pengalaman yang lengkap semenjak ia meninggalkan Negara asal dimana ia
biasa tinggal berdiam, selama di Daerah Tujuan Wisata yang dikunjungi, hingga
ia kembali pulang ke tempat asalnya semula di mana ia biasa tinggal. Berkaitan
dengan produk pariwisata manfaat dan kepuasan berwisata ditentukan oleh dua
faktor yang saling berkaitan, yaitu pertama, tourist resources yaitu
segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar
orang-orang mau datang berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata dan kedua,
tourist service yaitu semua fasilitas yang dapat digunakan dan aktifitas
yang dapat dilakukan yang pengadaannya disediakan oleh perusahaan lain secara
komersial. Wisatawan akan melakukan perjal anan wisata bila terdapat hubungan
antara motif melakukan wisata dengan daerah yang dituju. Sedangkan perjalanan
wisata dapat dilakukan bila ada sarana untuk mencapai tempat tersebut, seperti
pesawat terbang, kereta api, kapal laut dan kereta. Sarana ini tidak cukup
memenuhi syarat bila di area yang menjadi Daerah Tujuan Wisata tidak dilengkapi
sarana untuk keperluan hidup wisatawan selama berwisata, seperti jasa makanan
dan minuman, akomodasi, liburan, tempat
perbelanjaan dan sarana tranportasi yang dapat mengantarkan ke tempat-tempat
wisata yang lainnya. Agar perjalanan wisata ke Daerah Tujuan Wisata dapat
terpuaskan, maka diperlukan pengemasan produk pariwisata yang sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan wisatawan.
Mengemas Fasilitas
Langkah
awal yang dianjurkan oleh Kotler, Bowen & Makens (2002:251) dalam mengemas produk
pariwisata adalah membagi pasar menjadi kelompok -kelompok pembeli khas yang mungkin
membutuhkan produk disebut dengan segmentasi pasar. Langkah selanjutnya adalah membidik
pasar dengan cara mengevaluasi daya tarik masing -masing segmen dan memilih
satu atau beberapa segmen pasar. Maksudnya, tindakan yang harus dilakukan
setiap Daerah Tujuan Wisata adalah mengemas produknya disesuaikan dengan
keinginan dan kebutuhan wisatawan mancanegara yang dibidiknya. Mendukung
tindakan tersebut, Daerah Tujuan Wisata harus mengembangkan posisi bersaing
produk pariwisatanya dengan Daerah Tujuan Wisata yang lainnya yang disebut
menetapkan posisi. Banyak obyek dan atraksi wisata di Indonesia yang ditawarkan
akan tetapi pada beberapa tempat dikeluhkan oleh Tour Leader luar negeri
karena tidak ada perubahan (Yoeti:1997:58). Ini perlu diperhatikan, karena Tour
Leader adalah perwakilan dari tur operator yang mempromosikan
dan membawa wisatawan datang ke Daerah Tujuan Wisata. Bilamana obyek yang
dipromosikan terbatas pada atraksi yang terbatas, suatu saat dia akan
menghentikan promosi daerah tersebut kemudian memilih Daerah Tujuan Wisata
lain. Harus disadari bahwa wisatawan
melakukan perjalanan wisata ke suatu Daerah Tujuan Wisata tertentu adalah untuk
mencari pengalaman-pengalaman baru, menemukan sesuatu yang aneh dan belum
pernah disaksikannya. Wisatawan biasanya lebih menyukai sesuatu yang berbeda (something
different) dari apa yang pernah dilihat, dirasakan, dilakukan di negara di mana
biasanya ia tinggal. Yoeti (1997) menyarankan bahwa mengemas produk pariwisata
harus mempertahankan keaslian lingkungan karena selalu lebih menarik daripada
yang dibuat -buat. Oleh karena itu, menciptakan suatu lingkungan yang tidak
asli (artificial) dari keadaan yang sebenarnya pasti tidak akan bertahan
lama dan bagi promosi kepariwisataan jangka panjang tidak menguntungkan bagi
Indonesia. Bukan hanya keasliannya, tetapi keseluruhan pelayanan yang diberikan
kepada wisatawan hendaknya memiliki style yang beda dari yang lain
tetapi tetap memuaskan wisatawan. Style produk sangat diperlukan dalam
mengemas Daerah Tujuan Wisata, tujuannya ialah untuk memperbaharui dan
menguasai pasar ( to re-new dan re-sell the market) sehingga dapat
menjamin penjualan.
Dikatakan oleh Yoeti (1997:59) dalam
kepariwisataan product style yang baik, misalnya (1) obyek harus menarik
untuk disaksikan maupun diperlajari, (2) mempunyai kekhususan dan berbeda dari
obyek yang lain, (3) prasarana menuju ke tempat tersebut terpelihara dan baik,
(4) tersedia fasilitas something to see, something to do dan something
to buy, (5) kalau perlu dilengkapi dengan sarana-sarana akomodasi dan hal
lain yang dianggap perlu. Bilamana produk yang ditawarkan oleh berbagai
produsen dianggap sama oleh wisatawan, maka perbedaan yang menguntungkan
terletak pada product style yang dimiliki. Oleh sebab itu, diperlukan
suatu seni (art) untuk mengolah satu obyek wisata sedemikian rupa
sehingga dengan adanya obyek tersebut beserta segala fasilitas yang tersedia
dapat menjadikan suatu Daerah Tujuan Wisata yang menarik untuk dikunjungi.
Mendukung mengemas product style system pariwisata perlu diadakan survey
obyek dan atraksi wisata yang potensial untuk ditawarkan. Hadinoto
(1996:69-70) menjelaskan bahwa survey diadakan untuk penggolongan obyek dan atraksi
wisata yang digolongkan, menjadi (1) penggolongan Jenis Kepariwisataaan berupa destination
tourism (untuk wisatawan yang tinggal lama), touring tourism (untuk wisatawan
yang tinggal sebentar), (2) penggolongan atraksi berupa atraksi utama ( core
attraction), atraksi pendukung (supporting attraction), (3)
penggolongan jenis atraksi terdiri dari resource-based attraction, dan user-oriented
attraction. Pada penjelasan di atas yang dimaksud dengan touring tourism
ialah atraksi, transportasi, fasilitas pelayanan, dan pengarahan promosi
yang digunakan di dalam tour ke beberapa lokasi selama perjalanan akhir minggu
atau libur. Atraksi terletak dekat rute perjalanan, dipersimpangan jalan, dan
hanya dikunjungi satu kali oleh masing-masing kelompok pengunjung. Aktivitas
hampir pasif karena waktu hampir terbatas, sebab jadwal perjalanan tertentu.
Distribusi
geografis adalah suatu sirkuit, bukan suatu titik. Sedangkan destination
tourism adalah geografis suatu kelengkapan sendiri. Semua aktivitas
dilakukan di satu titik destinasi, yang harus direncanakan untuk kunjungan
berulang (Hadinoto, 1996:29 -30). Mengemas obyek dan atraksi wisata sesuai
bentuk touring tourism bertujuan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang
tinggal sebentar, sebaliknya untuk wisatawan yang hendak tinggal lebih lama
dikemas dalam bentuk destination tourism. Mengemas obyek wisata candi
Borobudur, candi Prambanan dan Monjali di Jawa Tengah merupakan bagian dari
konsep touring karena obyek tersebut tidak didukung oleh sarana yang
dapat menahan lama wisatawan. Sedangkan pengemasan berdasarkan konsep destination
tourism dapat diperhatikan pada obyek wisata Pantai Kuta di Bali, Gunung Bromo
di Jawa Timur, dan Pantai Senggi gi di Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini
dipenuhi oleh fasilitas-fasilitas yang menahan wisatawan seperti hotel,
restoran, tempat hiburan dan sejenisnya. Disamping itu, perlu pula diperhatikan
dalam penataan obyek wisata dan atraksi wisata yang menarik. Tindakan yang
harus dilakukan adalah menetapkan obyek dan atraksi wisata sebagai obyek wisata
inti (core attraction) dan pendukungnya (supporting attraction).
Contoh penataan ini dapat dipelajari pada Daerah Tujuan Wisata di Bali di mana
inti atraksinya adalah Danau Kintamani dengan pendukungnya adalah kesenian tari
Barong, kerajinan perak, pasar Sukowati, pemandian tirta empul dan sejenisnya.
Jarak antara obyek inti dan pendukungnya dekat sehingga dapat dikunjungi kurang
dari satu hari dan rutenya dirancang be rbentuk lingkaran (cycle) sehingga
dapat kembali ke tempat keberangkatan semula. Dalam menata obyek dan atraksi
wisata penyelenggara di Daerah Tujuan Wisata lebih mencermati jenis atraksinya
yang mampu mendatangkan wisatawan jarak jauh/luar negeri, atraksi jenis ini
misalnya Candi Borobudur, Danau Toba, Gunung Bromo dan sejenisnya. Perlu digolongkan
pula obyek dan atraksi wisata yang mampu menarik orang lokal berekreasi, misalnya
air terjun Sedudo, Kolam Renang Selecta dan lain -lain. Penggolongan atraksi
pertama yang disebut dengan resource-based attraction sedangkan
penggolongan kedua disebut sebagai user-oriented attraction.
Selain
obyek dan atraksi wisata, sarana akomodasi harus direncanakan secara matang
dalam mengembangkan dan menetapkan lokasinya. Sarana akomodasi berperan sangat
penting dalam pariwisata sebab wisatawan yang meninggalkan tempat tinggalnya
memerlukan sarana penginapan di Daerah Tujuan Wisata yang mereka kunjungi.
Perencanaan pengem -bangan sarana akomodasi yang dikerjakan secara sembarangan
akan berdampak pada lama tinggal ( length of stay) wisatawan di Daerah
Tujuan Wisata, maka dalam mengembangkan sarana akomodasi yang baik harus
memenuhi persyaratan fasilitas, pelayanan, tarif dan lokasi (Soekadijo, 1997:95).
Syarat-syarat fasilitas akomodasi yang terpenting, yaitu pertama, bentuk
fasilitas akomodasi harus dapat dikenal (recognizable), misalnya
fasilitas mandi di dalam hotel yang paling baik dalam kepariwisataan ialah bak
mandi rendam ( bathtub). Kedua, semua fasilitas-fasilitas di dalam hotel
harus berfungsi dengan baik. Ketiga, penempatan fasilitas yang terdapat
di dalam hotel harus dapat dilihat oleh wisatawan sehingga mempermudah
wisatawan untuk mempergunakan; Keempat, fasilitas-fasilitas yang digunakan di
dalam hotel harus memiliki kualitas yang baik atau bermutu. Sedangkan syarat
pelayanan wajib memperhatikan tentang unsur aktornya terutama mengenai kegiatan
aktornya, apa yang dikerjakan dalam memberikan pelayanan. Pelayanannya harus
dapat diandalkan dan kemudahan untuk dihubungi serta selalu siap membantu
kesulitan wisatawan.
Demikan
pula kualitas pelayanannya harus bermutu, artinya pelayanan yang dikerjakan
oleh actor tersebut harus bebas dari kesalahan. Agar hotel dapat memberikan
jasa dengan baik, disamping fasilitas dan pelayanannya factor menetapkan tarif
tidak boleh diabaikan. Tarif akomodasi dalam pariwisata tidak berdiri sendiri, akan
tetapi merupakan komponen dari biaya perjalanan seluruhnya yang harus
dikeluarkan oleh wisatawan. Penetapan tarif akomodasi harus rencanakan dengan
cermat karena merupakan salah satu bahan pertimbangan wisatawan untuk berwisata
ke suatu Daerah Tujuan Wisata.
Disamping
persyaratan-persyaratan yang telah dijelaskan di atas, pembangunan dan pengembangan
sarana akomodasi harus memperhatikan masalah lingkungan. Persyaratan lingkungan
hotel menuntut bahwa citra hotel dengan citra lingkungan itu harus saling
sesuai, artinya menetapkan lokasi pengembangan dan pembangunan sarana akomodasi
harus dapat mengangkat citra lingkungannya di mana hotel tersebut berdiri.
Jangan sampai berdirinya suatu hotel berakibat timbulnya ekses-ekses dan citra
negatif di lingkungan masyarakat. Dalam merencanakan kawasan sarana akomodasi
wisata patut mempertimbangkan juga syarat sentralitas akomodasi, maksudnya
lokasi sarana akomodasi diusahakan berada di tengah-tengah atau berdekatan
dengan tempat atraksi wisata. Jauh dan dekat di sini harus diartikan berdasarkan
kenyamanan, waktu dan biaya untuk mencapainya. Meskipun jaraknya jauh, kalau
dapat dicapai dalam waktu singkat dan nyaman dengan biaya murah, jarak itu
adalah dekat. Sebaliknya, jarak yang dekat menjadi jauh kalau untuk mencapainya
diperlukan waktu yang lama dan perjalanan yang tidak enak dan dengan biaya
mahal. Persyaratan sentralitas perlu dipertimbangkan karena berhubungan dengan
aktivitas wisatawan yang sebagaian besar waktunya untuk mengunjungi obyek dan
atraksi wisata. Bila jarak antara atraksi wisata dengan akomodasi berjauhan
menyebabkan wisatawan mengalami kelelahan akibatnya wisatawan tidak betah
tinggal lama di Daerah Tujuan Wisata tersebut. Apabila persyaratan sentralitas
itu menghubungkan sarana akomodasi dengan atraksi wisata, maka sarana itu juga
dituntut memenuhi syarat untuk mudah ditemukan dan mudah dicapai. Lokasi yang
amat tepat adalah dekat terminal-terminal angkutan, bandar udara, stasiun
kereta api dan pelabuhan. Sedangkan lokasi lainnya dapat berada di sepanjang
jalan raya atau jalan poros kota. Akomodasi yang terletak di sepanjang
jalan-jalan itu dengan sendirinya akan dilalui wisatawan. Mengemas obyek dan
atraksi wisata dan sarana akomodasi yang baik belum cukup untuk mendatangkan
wisatawan ke Daerah Tujuan Wisata bila tanpa adanya kemudahan aksesbilitas menuju
ke atraksi wisata. Sarana untuk mempermudah akses dan mobilitas wisatawan dapat
dipenuhi dengan menyediakan sarana tranportasi baik melalui darat, udara dan
laut. Dalam mengemas sarana transportasi yang baik perlu direncanakan di mana
jasa kendaraan angkutan itu dapat diperoleh. Sebaiknya, jasa angkutan itu diselenggarakan
anta ra tempat pemberangkatan (point of departure) dan tempat tujuan (point
of arrival). Agar memiliki nilai tambah di mata wisatawan, transportasi di
Daerah Tujuan Wisata harus memiliki fasilitas yang berkualitas, pelayanan yang
sempurna dan keramah tamahan. Mengemas ketiga hal yang telah dijelaskan di atas
kurang lengkap bila tidak tersedia jasa pendukung lain, seperti restoran,
bengkel, SPBU, katering, tempat hiburan dan sejenisnya. Sebagai contoh, jika
jalan dan kendaraan menuju ke obyek dan atraksi wisata sudah bagus, orang masih
akan berpikir apakah ia berani mengadakan perjalanan. Soalnya, ditengah
perjalanan pengendara memerlukan makan, kendaraan bermotor memerlukan bahan
bakar, kalau ada kerusakan mesin memerlukan bengkel. Tanpa jasa –jasa pendukung
kegiatan pariwisata tidak akan bisa beroperasional secara konsisten Penyempurna
pengemasan, patut diperhatikan penataan lima jenis komponen Daerah Tujuan Wisata
oleh Hadinoto (1996:36), berupa (1) gateway atau pintu masuk, pintu
gerbang berupa bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, dan terminal
bis, (2) tourist centre atau pusat pengembangan pariwisata (PPP), yang
dapat berupa suatu kawasan wisata ( resort) atau bagian kota yang ada,
(3) attraction atau atraksi kelompok satu atau lebih, (4) tourist
corridor atau pintu masuk wisata, yang menghubungkan gateway dengan tourist
centre, dan dari tourist centre ke attraction, (5) hinterland
atau tanah yang tidak digunakan untuk 4 komponen tersebut. Wisatawan
lazimnya datang lewat gateway, kemudian menuju ke PPP dimana ia
menemukan akomodasi dan semua usaha jasa pelayanan pendukung wisata, seperti
restoran, toko cinderamata, biro perjalanan wisata, persewaan kendaraan, dan
lain-lain. Dari PPP ia mengadakan perjalanan wisata ke atraksi wisata, melewati
koridor wisata. Sambil berjalan di koridor wisata, ia menikmati pemandangan
indah dan kehidupan rakyat (desa, pengolahan tegal, dan sawah) yang disebut sebagai hinterland.
Hinterland ini perlu tetap
menarik, dan tidak diubah menjadi bangunan tinggi, pabrik dan sebagainya.
Penetapan lokasi sebagai pusat pengembangan pariwisata (PPP) wajib memperhatikan
sarana akomodasi, tempat hiburan, toko cinderamata, jarak menuju ke atraksi wisata
tidak boleh terlalu jauh, dan armada transportasi perlu dibenahi dalam segi
kuantitas, kualitas dan pelayanan karena sarana ini yang mengantarkan wisatawan
ke obyek dan atraksi wisata yang hendak dikunjunginya.
Mengemas Pelayanan
Pengemasan
fasilitas-fasilitas produk pariwisata yang baik tidak akan cukup menarik
wisatawan bila tidak diberi roh. Pelayanan adalah roh yang akan menggerakkan
aktivitas pariwisata sebab yang dibeli oleh wisatawan adalah pelayanan sejak
dia berangkat, datang ke Daerah Tujuan Wisata dan kembali lagi ke tempat asal.
Menurut Sugiarto (1999:36) pelayanan
adalah tindakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang lain (konsumen,
pelanggan, tamu, klien, pasien, penumpang, dan lainnya) yang tingkat pemuasnya
hanya dapat dirasakan orang yang sedang melayani maupun yang dilayani. Berkaitan
dengan memberikan pelayanan yang perlu diperhatikan adalah tingkat kepuasan wisatawan.
Agar wisatawan terpuaskan selama melakukan perjalanan wisata, maka jasa-jasa pariwisata
harus dapat menunjukkan kualitas jasanya. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi
kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service.
Apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas
jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui
harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang
ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan,
maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas
jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan wisatawan
secara konsisten (Tjiptono, 2002:60). Berkaitan dengan memperlihatkan kualitas
jasa yang berperan sangat penting adalah contact personnel atau
orang-orang yang terlibat dalam pariwisata, seperti pegawai pemerintah daerah, masyarakat
dan industri jasa. Mereka inilah aktor utama yang dapat memuaskan wisatawan. Sehingga
upaya-upaya yang harus ditempuh untuk memuaskan wisatawan dengan cara setiap
orang yang terlibat melayani wisatawan harus memberikan pelayanan yang unggul (
service excellence), seperti disarankan Elhaitammy (Tjiptono, 2002: 58)
yaitu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan;
berupa kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan.
Keempat
komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang terintegrasi, maksudnya
pelayanan atau jasa menjadi tidak unggul bila ada komponen yang kurang. Untuk mencapai
tingkat unggul setiap orang harus memiliki ketrampilan tertentu, di ataranya berpenampilan
baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan sikap selalu
siap melayani, tenang dalam bekerja, tepat waktu, tidak tinggi hati karena
merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya, mampu berkomunikasi dengan baik,
bisa memahami bahasa isyarat (gesture) wisatawan, dan memiliki kemampuan
menangani keluhan wisatawan secara tepat. Mengemas pelayanan yang unggul
bukanlah pekerjaan mudah. Akan tetapi bila hal tersebut dapat dilakukan, maka
Daerah Tujuan Wisata yang menyelenggarakan pariwisata akan dapat meraih manfaat
yang besar, terutama berupa kepuasan dan loyalitas wisatawan yang besar.
Untuk
mewujudkan hal tersebut, perlu didukung komponen pariwisata yang terlibat,
seperti pemerintah daerah, masyarakat, industri jasa. Wujud dukungan yang harus
dilakukan oleh komponen pariwisata adalah bekerjas ama dan berkomitmen
membangun pariwisata.
Komitmen dan Kerjasama
Industri
pariwisata bukan suatu industri yang berdiri sendiri melainkan terdiri dari
berbagai komponen-komponen yang saling terkait. Penyelenggaraan sistem
pariwisata dapat berjalan dengan sempurna bila komponen-komponen tersebut
melebur menjadi satu dan saling mendukung satu dengan lainnya. Komponen
-komponen kepariwisataan yang berperan dalam penyelenggaraan sistem industri
pariwisata secara garis besar terdiri dari tiga komponen, yaitu, pemerintah,
jasa-jasa kepariwisataan dan masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata. Kewajiban
pemerintah daerah adalah bersama-sama merencanakan, pembangunan,
pengorganisasian, pemeliharaan dan pengawasan dengan pemerintah daerah lainnya
dalam
segala
sektor yang mendukung kegiatan pariwisata. Pemerintah daerah berserta instansi-instansinya,
industri jasa dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk duduk bareng bekerja sama
dengan pemerintah daerah lainnya dalam mengemas paket-paket wisata. Tindakan
itu patut dilakukan karena aktivitas pariwisata tidak dapat dilakukan hanya
pada satu area saja dan tersekat-sekat. Aktivitas pariwisata memerlukan ruang
gerak dan waktu yang fleksibel. Adanya kerjasama dan komitmen akan terbentuk
kemitraan yang saling mengisi, maka aktivitas berwisata yang memiliki mobilitas
tanpa batas itu tidak akan mengalami kendala karena jalur-jalur yang
menghubungkan antar atraksi wisata yang satu dengan yang lainnya sudah tertata,
terhubung dengan baik dan dari segi keamanan dapat dikoordinasikan bersama.
Kegiatan promosi dapat dilakukan bersama-sama antara pemerintah daerah dan
swasta. Demikian pula jika terdapat kekurangan-kekurangan baik sarana dan
sumber daya manusia yang kurang terampil pemerintah dapat membantu dalam bentuk
fasilitator, bantuan dana maupun pelatihan-pelatihan dan lain-lain. Sedangkan
industri jasa harus memberikan pelayanan yang unggul dalam differensiasi dan
inovasi produk. Sebab, dengan memberikan pelayanan yang excellent dibarengi
dengan diferensiasi dan inovasi produk wisatawan tidak akan pernah bosan untuk
datang kembali. Mereka akan selalu menemukan hal baru di Daerah Tujuan Wisata. Demikian
pula masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata harus ikut berpatisipasi
yang diwujudkan ke dalam tindakan memberikan perasaan aman yang berupa
keramahan dan perasaan yang tulus ketika menerima kedatangan wisatawan. Disamping
itu, masyarakat harus ikut terlibat dalam mengambil keputusan pembangunan pariwisata,
berpartisipasi bersama-sama pemerintah daerah dan jasa-jasa kepariwisataan memelihara
sarana-sarana yang terdapat di obyek dan atraksi wisata dan ikut andil
mendukung kegiatan pariwisata dalam bentuk berjualan produk khas daerah
tersebut dengan tidak lupa memperhatikan faktor higienis dan sanitasinya serta pelayanannya.
Daftar Pustaka
Anonim, Pariwisata Jawa Timur dalam
Angka (Surabaya: Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Timur, 2005).
Hadinoto, Kusudianto, Perencanaan
Pengembangan Destinasi Pariwi -sata (Jakarta: UI Press, 1996).
Kotler, Philip, & John Bowen,
James Makens, Pemasaran Perhotelan dan Kepariwisataan I (Jakarta:
Pren-hallindo, 2002).
Mill, Robert Christie, The Tourism
International Business (Jakarta: Raja Grafika Persada, 2000).
Musanef, Manajemen Usaha Pariwisata
di Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1996).
Nuriata, Tata, Perencanaan
Perjalanan Wisata (Jakarta: Departemen Pendidik-an dan Kebudayaan, 1992).
Soekadijo, Anatomi Pariwisata (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1997).
Sugiarto, Endar, Psikologi
Pelayanan da-lam Industri Jasa (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 1999).
Spillane, James J., Pariwisata
Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,
1994).
Tjiptono, Fandy, Manajemen Jasa (Yogyakarta:
ANDI, 2002).
Witt, Stephen F, & Luiz Motinho, Tourism
Marketing and Managemen Handbook (British: Prentice Hall International,
1994).
Yoeti, Oka A., Pengantar Ilmu
Pariwista (Bandung: Angkasa, 1996).
Yoeti, Oka A., Perencanaan dan
Pengem-bangan Pariwisata (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997).
Yoeti, Oka A., Perencanaan
Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002).
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji