Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PEGAWAI PERPUSTAKAAN vs GURU


Rustianingsih
Bagian Perpustakaan Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Foto : Elisa
Benarkah karyawan bagian perpustakaan adalah posisi yang paling rendah alias devisi buangan? Apa jadinya nasib akreditasi sekolah bila tidak orang yang bersedia menjadi karyawan perpustakaan? Pertanyaan ini penting karena seorang pustakawan di daerah terpencil di Klaten mengeluh bahwa ia merasa diperlakukan seperti budak oleh guru-guru SMP. Padahal para guru SMP tersebut juga ikut bekerja di bagian perpustakaan. Meskipun deskripsi kerjanya adalah mengajar, namun para guru tersebut juga harus bekerja di perpustakaan. Alasannya adalah jam mengajar mereka kurang dari standar yang telah ditetapkan Dinas Pendidikan setempat, sehingga mereka harus mencari jam tambahan mengajar dengan cara menjadi pegawai perpustakaan sekolah. 

Apa saja perilaku guru yang menjadi karyawan perpustakaan di sela-sela jam mengajarnya? Oleh karena para guru itu tidak terbiasa melayani para pengguna perpustakaan, maka mereka hanya duduk-duduk saja sambil membaca koran di perpustakaan. Para guru tersebut telah berperilaku seperti halnya pengunjung perpustakaan yang lain, yang segala kebutuhannya dilayani oleh pegawai perpustakaan yang sesungguhnya.

Perilaku para guru tersebut adalah suatu ironi. Mereka seharusnya melayani pengunjung perpustakaan tetapi jsutru minta dilayani oleh petugas perpustakaan. Hal yang lebih menyedihkan adalah para guru itu meminta cap tanda tangan dari pegawai perpustakaan sebagai tanda bahwa para guru itu telah melaksanakan tugasnya dengan baik di perpustakaan. Perilaku guru tersebut sungguh merendahkan status karyawan bagian perpustakaan. Perilaku guru tersebut sungguh tidak terpuji dan justru menyuburkan bibit-bibit perilaku korupsi di lingkungan pendidikan.


Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah seandainya saya menjadi karyawan perpustakaan di sekolah itu, haruskah saya memberi cap dan menandatangani surat tanda telah bekerja di perpustakaan. Tentu saja peristiwa itu menimbulkan konflik batin. Apabila saya menolak menandatangani surat tersebut berarti saya ikut menyuburkan perilaku korupsi. Apabila saya menolak menandatangani surat itu, maka hubungan petemanan saya dengan guru tersebut akan memburuk. Bahkan mungkin saja dimutasi atau dipecat dari sekolah tersebut.

Sejujurnya saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat untuk mengatasi konflik batin tersebut. Lapor kepada Kepala Sekolah? Jangan-jangan justru Kepala Sekolah itu melindungi para guru tersebut. Di tengah-tengah kebingungan terbersitlah suatu ide untuk menuliskan kegalauan saya. Hasil tulisan itu akan saya publikasikan di majalah dinding sekolah tersebut. Harapannya para pembaca (termasuk para guru yang perilakunya tidak terpuji itu) akan merasa tersindir oleh kritikan saya. Hal itu berarti saya akan tetap menandatangani surat pengesahan tersebut, namun saya melakukannya dengan sangat terpaksa.

Hal berikutnya yang menarik perhatian saya dari perilaku guru teresbut adalah keengganannya untuk berubah peran. Berubah peran berarti kadangkala dari peran sebagai guru (statusnya memerintah murid) menjadi pegawai perpustakaan (statusnya harus melayani pelanggan perpustakaan termasuk muridnya sendiri). Keengganan perilaku untuk berubah tersebut menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang ketinggalan jaman. Para guru tidak menyadari bahwa kini profesi pegawai perpustakaan bisa sangat bergengsi. Hal ini karena mereka biasanya melek teknologi informasi. Mereka mampu berkomunikasi dengan orang-orang di seluruh dunia untuk menyumbangkan buku di perpustakaan. Berbekal kemampuan dalam bidang tekonologi informasi yang semakin lama semakin canggih, maka mereka juga mampu menyediakan jurnal dan literatur yang dibutuhkan mulai dari mahasiswa S1 sampai S3, secara gratis. Sungguh berarti jasa para pustakawan itu.

Sebagai akhir dari tulisan ini, saya mengharapkan generasi muda tidak mencontoh perilaku para guru yang manipulatif tersebut. Saya pun terpaksa menandatangani surat pengesahan tesebut karena saya juga takut menganggur. Bagaimanapun, tulisan ini adalah bentuk perlawanan saya terhadap perilaku guru yang suka menindas dan berperilaku sewenang-wenang tersebut.


Catatan:
Tulisan ini dipersiapkan sebagai laporan partisipasi pada Seminar Nasional “Menuju Perpustakaan Berjejaring dan Mobile” di UGM Yogyakarta pada 4 Desember 2012.

Post a Comment

2 Comments

  1. Mbak Ning yang jaga perpust UP45 itu ya? Wah ternyata pinter nulis juga ya. Hebat dong. Nulis lagi dong, tentang suka duka bergelut dengan buku. Mbak Ning juga bisa buat resensi buku-buku di UP45 kan? Kita tunggu lho.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih untuk komentarnya. Sering-sering datang ke perpustakaan ya. Saya tunggu lho. Maaf namanya siapa ya? Salam kenal.

      Delete

Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji