Singgih Purwanto
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Kasih ibu sepanjang
jalan-kasih anak sepanjang galah. Kata
itu tidak asing di telinga kita. Namun, realitas belakangan ini banyak anak
yang meragukan hal itu. Alasan mereka bermacam-macam, dan alasan itu selalu
saja ada. Misal contoh yang sepele, saat si-anak pulang sekolah, haus dan
didapati tidak ada air yang dingin, lalu dengan mudahnya anak itu berkata “Ibu
tidak sayang padaku, tidak pengertian” dan sebagainya. Tapi pernahkah mereka
berfikir kenapa sampai air saja belum dingin? Itu karna sibuknya si Ibu dengan
pekerjaannya.
Bicara pekerjaan,
sebenarnya untuk apa sih orang tua bekerja membanting tulang memeras keringat
seperti itu? Bukankah sebagian besar itu untuk diri kita dan masa depan kita.
Pernahkah kita berfikir sampai situ. Mungkin itu sebuah contoh dari keluarga
yang kurang beruntung.
Kalangan keluarga yang
lebih beruntung pun masih banyak anak yang meragukan kasih sayang orangtua.
Mulai dari tidak diturutinya permintaan atas sesuatu barang dan sebagainya. Hal
tersebut secara spontan menimbulkan persepsi si anak yang meragukan kasih
sayang orangtua, yang belakangan ini menjadi fenomena yang hampir bisa dijumpai
dimana saja.
Tapi sebaliknya, sebesar
apapun anak menyakiti orang tua, selalu ada maaf disitu. Sekecewanya orangtua,
tidak sampai mereka tidak memberi kita makan, tidak sampai menyuruh kita keluar
sekolah bahkan menyuruh kita pergi meninggalkan rumah dan tidak boleh pulang.
Bukankah demikian. Itulah kenapa kasih sayang orangtua itu sepanjang jalan,
bahkan kasih sayang orangtua itu adalah kasih sayang yang paling sempurna
antara manusia dengan sesamanya.
Lalu bagaimanakah
seharusnya ketika kita meragukan kasih sayang orangtua?. Hal yang paling mudah ketika
kita meragukannya adalah dengan kita membayangkan bertukar peran dengan mereka.
Kalau hal itu dirasa sulit maka yang paling mudah adalah mengingat kebaikan
mereka, dan menyadari bahwa mereka seperti itu hanya demi kita.
Mencoba mengasosiasikan. Membayangkan
diri sendiri untuk merenungi. Apa jadinya jika kita terlahir di dunia dan harus
menghadapi kenyataan hidup bahwa orangtua kita telah tiada, seperti yang
dialami segelintir anak di luar sana, yang tidak pernah merasakan kasih sayang
orangtuanya. Bahkan melihatnya pun tidak akan pernah bisa?. Tentunya yang
mereka rasakan jauh lebih sakit daripada kita karena kita hanya membayangkan
sejenak, sedangkan mereka menanggungnya sepanjang hidupnya. Buat yang masih
diberi kebahagiaan bersama orangtua, maka kita hormati mereka, sayangi mereka
dan yang pasti selalu berbaik sangka kepada mereka. Bagi orangtua yang telah
tiada, mendo’akan salah satu cara untuk menyayanginya.
2 Comments
Mas Singgih, tulisannya bagus. Saya jadi teringat pada orangtua yang sudah almarhum. Saya belum sempat membahagiakan mereka. Sesuai saran mas Singgih, saya hanya bisa mendoakan mereka, semoga dosa-doasanya diampuni Gusti Allah. Kini, saya sebagai orangtua sering emrasa jengkel dan sakit hati bila anak tidak mematuhi instruksi-instruksi saya. Hati saya seperti diiris-iris. Memang yang terjadi di lagu-lagu (hati teriris-iris)saya juga mengalaminya. Kok bisa ya?
ReplyDeletehati yang teriris-iris yang dirasakan orangtua ketika anak tidak mematuhi perintah dan nasehatNya adalah bukti kepedulian orangtua terhadap anaknya, walaupun juga itu termasuk ungkapan kekecewaan sesaat..
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji