Theresia
Melany Mursriniti
Fakultas
Psikologi
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Pada
tahun 1999 hingga tahun 2002 konflik antara orang Kristen
dan Muslim di Kepulauan Maluku, termasuk daerah saya di kota Tual Maluku
Tenggara berdampak pada kematian puluhan orang dan mengungsinya ribuan orang
lainnya. Kerusuhan yang meledak di Tual akhir bulan Maret 1999 ini
mempunyai banyak kesamaan pola antara kerusuhan Tual dan kerusuhan Ambon.
Artinya, telah terjadi pengulangan pola kerusuhan Ambon di Tual. Hal ini
mendukung petunjuk tentang adanya upaya pelebaran kerusuhan dan upaya
melanggengkan kerusuhan di Maluku.
Sama
dengan kerusuhan Ambon, faktor pemicu kerusuhan Tual mengandung muatan sentimen
agama. Sedikitnya, dua hari sebelum kerusuhan meledak pada tanggal 28 Maret
1999, muncul tulisan yang menghina Yesus di daerah Kiom kota Tual. Tulisan itu
kemudian bersahut di daerah Wearhir kota Tual pada tanggal 29 Maret 1999,
dengan nada mengejek Nabi Muhammad SAW. Saat itu, isu telah beredar bahwa akan
ada aksi-aksi kelompok massa tertentu dengan menggunakan warna agama dalam
penyerangan.
Pada
tanggal 30 Maret 1999, sekitar pukul 13.30 wit massa yang berasal dari desa
Dullah, Ngadi, Tamadan, Letman, Ohoitahit, bergabung dengan massa yang ada di kota
Tual dan membagi diri dalam tiga kelompok. Kelompok massa yang pertama
berkumpul di Mesjid Raya Tual dengan arahan dan komando yang menggunakan
pengeras suara. Kelompok yang kedua berkumpul di daerah Jiku Ampat dan Kiom.
Kelompok yang ketiga berkumpul di daerah Wearhir. Setiap kelompok terdiri dari
sekitar 200 sampai dengan 300 orang dengan memakai ikat kepala putih.
Penyerangan
yang dilakukan pada saat itu, mengarah ke pemukiman-pemukiman mayoritas Kristen
nampak terencana. Selain itu, penggunaan identitas yang sama, kesiapan senjata
dan taktik dari setiap kelompok penyerang mengarah ke target tertentu yang
meliputi sebagian besar pemukiman Kristen di kota Tual. Kelompok yang pertama,
menyerang melalui jalan samping lapangan Lodar El Kota Tual memasuki
kuburan umum dengan sasaran pemukiman Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh di
sekitar pekuburan umum Tual. Massa penyerang bergerak sambil menggusung keranda
atau peti mati. Massa yang diserang disekitar kuburan umum itu tidak menyangka
bahwa keranda atau peti mati yang dipikul itu penuh berisi senjata panah atau panah
api, tombak dan parang yang kemudian dipakai menyerang dan membakar pemukiman
mayoritas Kristen di Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh. Kelompok yang kedua
menyerang melalui jalan menuju ke Kuburan Cina dengan sasaran pemukiman Kristen
di daerah Kubur Cina dan Kampung Mangga di Tual. Di pemukiman ini terletak
gedung Gereja GPM Sion dan Perumahan Klasis Pulau-Pulau Kei Kecil. Kelompok
yang ketiga, menyerang melalui jalan baru Wearhir dengan sasaran Kampung Baru
dan Un di Tual namun kelompok ini dapat dihalau oleh penduduk dan serangan ini
berakhir pukul 17.30 wit.
Sama
seperti kerusuhan Ambon, kerusuhan di Tual bisa meledak karena aparat keamanan
bertindak tidak efektif. Isu penyerangan yang telah beredar sebelumnya nampak
tidak diantisipasi dengan tindakan pencegahan dini, atau membubarkan massa yang
mulai menumpuk pada tanggal 30 Maret 1999 di pusat kota Tual. Kejelasan
identitas massa yang menumpuk itu sekaligus menunjukkan adanya gerakan
terorganisasi. Tanpa gerakan penangkalan ABRI, massa dengan leluasa bergerak
sekitar pukul 04.30 wit menyerang lokasi-lokasi yang dikenal sebagai pemukiman
mayoritas Kristen, yaitu Kubur Cina, Kampung Baru, Kampung Mangga, Kampung
Pisang dan Petak Dua Puluh. Aparat keamanan yang seharusnya menangani konflik
massa malah menembak ke arah massa yang mempertahankan diri dari serangan,
sehingga terdapat tiga orang korban jatuh akibat terkena peluru aparat
keamanan.
Namun
beruntung kerusuhan yang terjadi di kota Tual tidak berlangsung lama, tepatnya
satu minggu kemudian suasana kota Tual mulai berangsur aman, karena adanya
kesadaran dari semua pihak yang menyadari tali persaudaraan antar agama yang
disebut Pela (hubungan keluarga karena perkawinan), sehingga masyarakat kota
Tual menyadari bahwa kerusuhan yang terjadi sama saja seperti melakukan perang
antar saudara. Pada akhirnya semua pihak menyadari kekeliruannya dan kembali
memperbaiki kerukunan yang sudah terkoyak dan kerusuhan yang terjadi di kota
Tual Maluku Tenggara dapat diselesaikan.
Perdamaian
di Tual memang tidak datang serta-merta. Ketika masyarakat terbelah menjadi dua
antara kelompok Islam dan Kristen, tokoh-tokoh perantauan dari Tual
segera berinisiatif untuk membuka dialog. Pada waktu kerusuhan di Ambon meletus
Januari 1999, mereka mulai menjalin komunikasi di Jakarta dan kemudian
membentuk Keluarga Besar Masyarakat Maluku Tenggara (KBMMT).
Karena
sejak dulu masyarakat di kota Tual selalu terikat dengan ‘’Ain Ni Ain’’ (kita
adalah satu) maka upaya perdamaian pun dilakukan dan diterima oleh semua pihak.
Sehingga perdamaian Tual di wilayah Maluku Tenggara kemudian menjadi salah satu
tujuan pengungsi dari wilayah Maluku lainnya seperti dari Ambon. Keadaan
ini cukup memberatkan meski masyarakat kota Tual tidak bisa menolak kehadiran
pengungsi, khususnya yang masih memiliki nenek moyang di kota Tual. Sehingga
setiap pengungsi yang datang diberi pengarahan dan diminta membuat pernyataan
untuk tidak membawa kerusuhan yang kedua kalinya ke kota Tual.
Dan
pada akhirnya, kota Tual Maluku Tenggara kini menggeliat kembali dan keadaan kota
Tual kembali normal, tetapi dampak kerusakan akibat kerusuhan cukup besar.
Namun, semua kini telah teratasi dan masyarakat kota Tual dari semua pihak baik
Islam, Kristen, maupun Katolik hidup rukun dan damai. Dari semua pihak tak ada
lagi yang ingin mengulangi pertikaian yang pernah terjadi untuk yang kedua
kalinya, semuanya tidak mau terpengaruh lagi dari pihak-pihak tertentu yang
ingin mengambil keuntungan tersendiri jika terjadi kerusuhan. Sehingga
masyarakat kota Tual lebih memilih untuk tetap menjaga ikatan ‘’Ain Ni Ain’’
dan tali persaudaraan yang sudah lama terjalin dengan baik.
Catatan:
Theresia Melany Mursriniti (2013). Kerusuhan Di Kota Tual Maluku
Tenggara. Tulisan ini
dipersiapkan untuk Lomba Penulisan Otonomi Daerah, yang diselenggarakan oleh
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Isran Noor), pada
Februari 2013
sampai April 2013.
10 Comments
Memutar balikan fakta
ReplyDeleteUmat islam di bantai Kristen
saya adalah salah satu korban pada tahun 1999 waktu usia saya 9 tahun,harus tinggal d kapal kecil tengah laut ..masih ingat waktu haus di kasih air laut...dan sedihnya dalam keadaan seperti harus terpisah dengan ayah saya...that was my great experience...
ReplyDeleteMaluku sangat kaya
ReplyDeleteMba saya mau tau awal mulanya konflik di desa kei bagaimana yah mba?
ReplyDeletesulkadri
Universitas Hasanuddin
Tual termasuk surga kecil di dunia
ReplyDeleteJustru kaum muslim yg dibantai duluan sama kristen awalnya...
ReplyDeleteMungkin tulisan diatas adalah versi kristen
ReplyDeletewaduh,, ini info dari mana ini?? Tulisan provokasi itu muncul waktu sementara kaco,, justru penyerangan dilakukan duluan oleh pihak kristen, waktu subuh - subuh..
ReplyDeleteAmbon masih membara ternyata...api dalam sekam, ini buktinya...Kristen masih saja dendam...sampai saat ini kader2 muda Kristen RMS terus main putar balik fakta....
ReplyDeletememutar balikkan fakta
ReplyDeletefaktanya Islam yang diserang
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji