Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PERMAINAN POLITIK DIBALIK KERUSUHAN ANTAR ETNIS DI MALUKU



Asri Wally
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Kerusuhan Ambon (Maluku) yang terjadi 19 Januari 1999, bertepatan dengan 1 Syawal 1419 H, yaitu saatnya ummat Islam merayakan hari Idul Fitri setelah berhasil menunai-kan ibadah Puasa sebulan penuh,  hingga memasuki  berbagai periode, yang telah menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang cukup besar serta telah membawah penderitaan dalam bentuk kemiskinan dan kemelaratan bagi rakyat di Maluku pada umumnya dan kota Ambon pada khususnya.
Kerusuhan Ambon (Maluku) yang semula menurut pemahaman kalangan masyarakat awam sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh suatu tindak/peristiwa kriminal biasa, ternyata berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan adalah merupakan sebuah rekayasa yang direncanakan oleh orang atau kelompok tertentu demi kepentingannya dengan mempergunakan isu SARA dan beberapa faktor internal didaerah (seperti kesenjangan ekonomi, diskriminasi dibidang pemerintahan dll) untuk melanggengkan skenario yang ditetapkan. Kerusuhan yang diperkirakan rancangan dari pihak Kristen khususnya RMS ini telah direncanakan dengan matang untuk mencapai tujuan politik Kristen di Indonesia di mana diperkirakan Negara Boneka buatan Belanda pada tahun 1950, Republik Maluku Selatan (RMS) telah digunakan untuk mencapai tujuan politik tersebut seka-ligus mencapai cita-cita RMS untuk melepaskan Maluku Selatan dari Negara Kesatuan RI, untuk merdeka dan berdiri sendiri.
Bagi RMS umat muslim di Ambon merupakan suatu penghalang besar untuk mencapai tujuan mereka untuk berdiri menjadi negara sendiri dibawah naungan Belanda dan Israel. Walaupun tidak semua umat Kristiani di Ambon terlibat karena murni tragedi ini sudah dirancang sedemikian rupa untuk menghancurkan sendi-sendi leluhur pela gandong antar umat beragama di Ambon. Selain itu isu separatis ini muncul kembali karena suasana dalam negeri RI yang sedang dalam proses reformasi menunjukkan kekacauan hampir di seluruh wilayah Nusantara. Pemerintahan Soeharto dijatuhkan sedangkan Pemerintahan B.J. Habibie rapuh karena dinilai tidak legitimated dan tidak sah. Terlepasnya Timor-Timor dengan sutau proses yang didukung dunia internasional telah ikut merangsang pihak RMS untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Begitu matangnya rencana yang dilakukan yang diikuti dengan berbagai penyebaran isu yang menyesatkan, seperti adanya usaha-usaha dari kelompok separatis RMS (Republik Maluku Selatan) yang sengaja diidentifisir dengan Republik Maluku Serani (Kristen), adanya usaha untuk membantai umat Islam di Maluku, keterlibatan preman Kristen Jakarta, isu pemasokan senjata kepada umat Kristen di Maluku dari Israel dan Belanda, serta berbagai isu menyesatkan lainnya telah menimbulkan semakin kuat dan mengentalnya sikap dan prilaku fanatisme terhadap masing-masing agama (Islam dan Kristen).
Tragedi yang terus menerus menelan korban jiwa, harta benda serta persaudaraan yang tercerai berai, membuat kota Ambon menjadi kota kelam yang setiap harinya selalu terdengar tangisan, dentuman bom, dan senjata yang selalu ditembakan. Selain itu pihak-pihak atau warga yang tidak tahu apa-apa hanya bisa berlindung di balik pertahanan rumah-rumah Tuhan. Bahkan yang lebih tragis ikut campurnya aparatur negara seperti Brimob dari kesatuan Polisi Indonesia yang ikut membantai salah satu umat yang bukan seiman dengan mereka. Membuat traumatis sendiri bagi warga kota Ambon untuk percaya dengan Brimob.
Tampaknya permainan politik ini terus berlanjut, tahun 2004 ketika saya tengah melanjutkan studi saya di Madrasah Aliya di Al-Fatah Ambon, masih cukup jelas ingatan saya ketika pembantaian itu terjadi melalui goresan puing-puing rumah dan bangunan yang hangus terbakar yang tetap berdiri. Selain itu isu-isu tentang kerusuhan yang terus bergulir di masyarakat nampaknya menjadi santapan hangat untuk para politikus dalam melancarkan aksinya dikala pemilu. Masyarakat namapaknya jenuh dengan ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintah daerah walaupun pemerintah daerah itu sendiri sudah bersusah payah untuk mengantisipasi masalah kerusuhan. Namun kenyataannya masih ada saja segelintir orang yang mengatasnamakan politik memanfaatkan isu ini untuk memprovokasikan warga Ambon sehingga luka lama yang telah lama terkubur kini mencuat lagi.
Tepat di bulan September 2009, Ambon bergejolak lagi adanya pembagian wilayah Islam dan Kristen membuat konflik itu akan terus berkembang. Pemerintah yang hanya menyaksikan dan tidak turun tangan sendiri untuk bernegosiasi dengan masyarakat tentang problematika yang terus berkelanjutan. Hingga kami para anak negeri pun harus berupaya memberikan dorongan emosional melalui pendekatan pela gandong yang selama ini terlupakan untuk menjalin persaudaraan yang lebih baik lagi antar umat Kristiani dan Islam. Namun disamping itu kami juga mengharapkan agar pemerintah selalu menjalankan amanah masyarakat dalam menciptakan hubungan yang harmonis dan kerukunan antar umat beragama, bukan ikut ambil kesempatan untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Agar kota Ambon kembali damai seperti sedia kala walaupun hal itu mungkin hanya mimpi belaka, karena hal ini akan berakibat bagi kesenjangan negara dalam poin-poin untuk memakmurkan bangsa seperti yang diinginkan bagi para pendiri tanah air Indonesia. Selain itu infrastuktur dan otonomi daerahpun akan terhambat oleh perkembangan dan pendidikan bagi masyarakat timur khususnya di Ambon.

Citation:
Asri Willy (2013). Permainan Politik Dibalik Kerusuhan Antar Etnis di Maluku. Tulisan ini dipersiapkan untuk Lomba Penulisan Otonomi Daerah, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Isran Noor), pada Desember 2013 – Maret 2013.


Post a Comment

0 Comments