Mega Oktaviani
Fakultas Teknik Perminyakan
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Mikirin kamu Bulik Elisa (Foto : Elisa) |
Sudah seminggu kubiarkan dia begitu. Membiarkannya
merasakan kehidupan. aku memang tidak bisa menjabarkan apa artinya kehidupan,
aku juga tidak punya pepatah yang pas untuk menggambarkan hidup, karena
menurutku hidup bukan untuk diartikan, tapi dirasakan. Merasakan hidup jauh lebih susah dari pada mengartikannya.
Anakku sedang merasakannya, merasakan kehidupannya.
Seminggu ini dia cuma diam, aku pun tak mengajaknya
bicara, karena aku membiarkannya merasakan hidup. Aku tak ingin mengganggu
prosesnya. Semua orang punya proses merasakan hidupnya masing-masing. Akan kutunggu
dia sampai dia bicara. aku hanya melihatnya,
menikmati dari jauh. Terkadang aku bingung dengan prosesnya, kadang aku
melihatnya makan sebanyak-banyaknya, sampai aku ingin muntah melihatnya, kadang
aku melihat dia tidak makan sama sekali, seperti berpuasa. Kadang dia tidak
mandi seharian, namun dilain hari dia bisa mandi berjam-jam. Kadang dia tidur
seharian, kadang begadang hingga hitam kantung matanya. Begitukah prosesnya?
Seminggu yang lalu dia jauh lebih cantik, lebih bersinar.
Seletih apapun dia karena kesibukanya dibutik dan segala persiapan
pernikahannya sinarnya tetap terpancar. Senyumnya selalu mengembang
dihadapanku, jika tidak pulang kerumah dia selalu menyempatkan untuk menelepon
sebelum aku tidur. Aku rindu mendengar suaranya melihat senyumnya dan hangat
sinarnya, tapi biarlah ini prosesnya. Aku tidak tahan, akan aku beranikan
diri untuk bertanya kepadanya nanti malam. Namun aku bersyukur karena sore ini
dia datang padaku. Pertanyaanku hilang, tak ada yang bisa aku tanyakan. Dia
yang bertanya.
“Ayah tidak keberatan aku disini seminggu lagi?”
“Tidak
nak. Ini rumahmu, kamu bisa disini selama apapun kamu mau”
“Lalu
kenapa ayah tak pernah bicara padaku?”
“Ayah
tidak ingin mengganggumu nak”
“Semenyedihkan
itukah aku yah?”
“Menyedihkan?
Sama sekali tidak nak”
“Jadi
apalagi ayah? Jika tidak menyedihkan, jadi apalagi yang tepat menggambarkan
aku? “
“apa kamu sedih nak? Jika kamu memang sedih, kenapa tidak
menangis?”
“aku ingin ayah, tapi aku lupa caranya menangis, sudah
lama aku tidak menangis, terakhir saat kepergian ibu. Ayah membuat hidupku
terlalu sempurna, hidupku selalu bahagia ayah. Semuanya terasa mudah, aku tak
pernah kesuliatan. Tapi mengapa sekarang semuanya jadi sulit, aku ingin
menangis karena sulit, tapi mengapa tidak bisa?.”
Aku cuma diam melihat anakku
“Kami
saling mencintai ayah, tak ada yang salah dengan hubungan kami, tapi mengapa
dia pergi. Mengapa hidup ini berubah sulit?”
Aku tetap diam
“Salahku
kah dia pergi? 7 tahun ayah. Selama itu tidak pernah ada masalah yang berarti
diantara kami, selalu saling mencintai. Lalu dia berubah dalam sehari. Semuanya
berubah dalam sehari. mengapa dia lari dihari dimana seharusnya kami bisa
saling memiliki? Mengapa tidak dari dulu saja?”
Aku masih diam
“Ayah apa hidup telah bosan denganku? Mengapa dia
mengambil semua kebahagiaanku?”
“Kamu
salah nak, dia bahkan sedang mengembalikannya, mengembalikan hidup,
membiarkanmu merasakan hidup. Hidup itu memang sulit nak, kalau hidup itu
gampang, itu bukan hidup namanya. Tapi mati.”
Dia pergi, salahkah aku bicara seperti itu. Biarlah itu
prosesnya, biar dia yang menentukan. Aku yakin dia pasti kembali dan bertanya
lagi. Dan diapun kembali.
“Jika
memang hidup itu sulit, mengapa ayah memilih untuk hidup? Mengapa orang-orang memilih untuk hidup?
Tidakkah semua orang ingin yang mudah? Tapi mengapa lebih banyak orang memilih
hidup dari pada mati? Bahkan banyak orang yang takut mati, padahal mati itu
mudahkan?”
“Karena
mereka ingin merasakannya nak.” Aku meraba-raba, mencari kata-kata yang tepat
untuk menjawab anakku, anakku yang dalam proses merasakan hidup. aku bingung
untuk melanjutkan, anakku menuggu. Begitu saja aku melihat jeruk dimeja makan,
dan mengambil satu buah jeruk utuh. Aku serahkan kepadanya. “penjualnya bilang
ini manis, tapi tadi waktu ayah coba rasanya asam, bagaimana menurutmu dengan
yang satu ini? Manis atau asam atau mungkin busuk ?”
Dia bingung, tapi tetap mengambil dan mengupasnya. “wah
tidak busuk, cobalah satu” masih dengan bingung ia memasukan kemulutnya dan
berkata “manis”. Aku tersenyum.
“Itulah
hidup nak”
“...” anakku diam, pandangannya bingung
“Begitulah
hidup nak, membingungkan dan memaksa. Kita dibingungkan oleh pilihan-pilihan,
pandangan-pandangan orang lain, dan bahkan tidak jarang kita dibingungkan oleh
diri kita sendiri. Namun jika tidak pernah mencoba kita tidak pernah tau
bagaimana hidup, untuk itu kita harus merasakannya sendiri. Mereka yang sudah tau bagaimana sulitnya hidup, tetap ingin hidup karena
mereka sadar bahwa hidup itu adalah merasakan. Rasakan sedihnya, bahagianya,
dan bagaimana sulitnya hidup. karena inilah hidup”
Anakku diam, dan pergi.
***
Sejak percakapan kami terakhir kami tidak bicara selama
tiga hari, sampai tadi pagi, dia membangunkanku dari tidurku, dan berkata bahwa
dia ingin kembali kerumahnya. Aku bertanya apakah aku membuatnya tidak nyaman,
tapi dia bilang tidak. Dan aku melepasnya. Melepas anakku, menjalani prosesnya,
aku tersenyum saat melepasnya. Sebelum pergi dia berkata “masih banyak jeruk
yang harus aku kupas ayah, aku tidak akan berhenti.”
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji