Elisa
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Foto : Elisa |
“Wajib datang dalam
technical meeting kompetisi mahasiswa
berprestasi selama dua hari 6-7 Mei 2013. Rincian sudah ada di undangan”. Pesan
SMS singkat yang masuk di ponselku dari pihak Kopertis V Yogyakarta.
Kabar ini saya
rasakan sebagai kabar buruk, meskipun di sisi lain tentu saja ini adalah kabar
baik untuk pihak Almamater, Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Tidak pernah saya
bayangkan dan tidak pernah terbesit di benak bahwa saya akan masuk dalam daftar
13 mahasiswa berprestasi se-propinsi DIY. Bagi saya, peristiwa itu tidak
mungkin terjadi tanpa campur tangan Gusti Allah. Saya merasa sangat pesimis
ketika mendaftar, mengingat ada lebih 100 universitas swasta di Yogyakarta,
yang berarti kompetisinya sangat berat.
Perasaan inferior
saya bertambah akut karena adanya kenyataan bahwa persyaratan dari Kopertis
sangat berat yaitu adanya keharusan membuat karya tulis. Karya tulis itu
kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris, saya membacanya sambil direkam,
kemudian hasil rekaman diunggah ke youtube.
Bagi saya, bahasa Inggris merupakan momok yang sangat mengerikan. Mahasiswa
yang lolos tes administratif akan diminta untuk melakukan presentasi karya
ilmiah yang telah dibuatnya. Dalam sesi presentasi itu, mahasiswa juga diminta
untuk berdiskusi dalam bahasa Inggris. Bagi saya, itu adalah peristiwa yang
mengerikan dan mungkin mendekati kiamat.
Kabar terpilihnya saya
menjadi bagian dari 13 mahasiswa berprestasi ini cukup menguras energi pikiran
dan tenaga 10 kali lipat. Hal ini karena pada waktu yang bersamaan saya memiliki
tanggung jawab untuk menyelesaikan 63 artikel. Tugas itu berasal dari sebuah
penerbitan media massa, organisasi yang selama ini menghidupi saya. Seolah
beban belum cukup berat, tetangga sebelah meminta saya untuk menjadi panitia
pernikahannya. Baju pantia pernikahan harus saya urus sendiri, karena ukuran
badan saya yang sangat mini ini. Lengkap sudah ’penderitaanku’. Saya tidak tahu
lagi mana yang harus menjadi prioritas perhatian, panitia pernikahan,
persyaratan mahasiswa berprestasi, atau tugas menyelesaikan 63 artikel.
Fisik saya lemah
karena energi sudah terkuras untuk persiapan talk show IAYP (International
Award for Young People) dan acara penyematan di Pondok Pesantren Pabelan
beberapa hari sebelumnya dan sekarang masih belum pulih. Oleh karena itu, pada
saat itu saya hanya bisa berdoa, berdoa, dan berdoa. Saya yakin pasti ada
pertolongan dari Nya, untuk mengurangi beban yang rasanya tidak terpikulkan
ini. Meskipun pada saat itu kepala saya seperti akan meledak dan saya ingin
masuk sumur saja (usaha untuk melarikan diri secara terhormat), namun saya
yakin pasti Dia akan mengirimkan seseorang untuk membantu saya.
Doa khusuk yang
saya panjatkan ternyata membuat saya menjadi lebih tenang. Semangat saya bangkit karena saya teringat dengan janji
pada diri sendiri ketika diterima di Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi
45 serta mendapat bea siswa. Saya harus bisa menyelesaikan tugas berat itu,
demi mengibarkan nama UP45 yang telah membesarkan saya. Saya telah berhutang
pada UP45, dan kinilah saatnya saya membayar sebagian hutang itu. Doa-doa yang
saya panjatkan itu juga membuat saya yakin bahwa saya akan mampu membayar
kredit motor melalui penyelesaian 63 artikel setiap bulannya. Menghadapi
tekanan berat itu, saya tahu diri dan sama sekali tidak mengharapkan menjadi
juara 3, 2, apalagi juara 1. Mengumpulkan persyaratan dengan lengkap dan tepat
waktu saja sudah merupakan prestasi luar biasa bagi saya.
Tibalah hari yang
dinantikan, yaitu saat technical meeting
pada hari Senin 6 Mei 2013 pukul 08.00 WIB. Oleh karena tidak mengetahui tempat
acara berlangsung, maka saya bertanya pada satpam Kopertis V. Ruangan technical meeting itu ternyata ber-AC
yang dipasang ekstrim sehingga saya menggigil kedinginan. Entah ini adalah
kedinginan karena AC atau karena perasaan cemas luar biasa. Sambil menunggu
petugas Kopertis, saya sempat berbincang-bincang dengan peserta dari
universitas lain.
“Hallo, dari universitas
mana?” tanyaku pada seseorang mahasiswa yang ternyata berasal dari Universitas
Sanata Dharma yang keren itu.
Kami
berdua berkenalan, dan saling bertukar informasi tentang persiapan-persiapan yang
harus dilakukan dalam rangka menghadapi perlombaan mahasiswa berprestasi ini. Dari
berbagai sumber, saya juga mendapatkan informasi bahwa universitas lain
ternyata lebih tertata persiapannya. Mereka mengadakan lomba mahasiswa berprestasi
tingkat fakultas. Pemenang tingkat fakultas kemudian diadu lagi, sehingga
keluar pemenang tingkat universitas. Pemenang tingkat universitas inilah yang
dikirim ke tingkat propinsi. Sebelum berangkat ke Kopertis, mereka mendapat
pembekalan yang intensif. Hal-hal yang diajarkan antara lain strategi wawancara
dan presentasi baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Power point
yang mereka siapkan pun ternyata sudah mendapat masukan dari para dosen yang
peduli dengan ajang bergengsi ini. Informasi itu sungguh berkebalikan 180
derajat dengan situasi pemilihan mahasiswa berprestasi di kampus Universitas
Proklamsi 45, namun hal itu tidak menyiutkan nyali saya. Saya bertekad harus
maju dalam lomba mahasiswa berprestasi ini, apa pun metode pemilihan mahasiswanya.
Saya terpilih dan menjadi wakil dari
UP45, tentu bukan suatu kebetulan belaka.
Untuk
memperkuat semangat saya, saya pun mengingat-ingat prestasi yang selama ini
sudah saya raih. Saya yakin bahwa mahasiswa dari universitas lain bisa menjadi
peserta lomba mahasiswa berprestasi ini lebih karena lembaganya sudah tertata
dengan bagus, sedangkan saya lebih karena kulitas pribadi. Cobalah tengok
prestasi saya, antara lain: mengikuti puluhan lomba menulis baik tingkat daerah
maupun nasional, sudah memenangkan beberapa lomba menulis, sebentar lagi saya
akan menerima bronze award IAYP dari
Pangeran Philips dari Kerajaan Inggris, saya menjadi ghost writer pada berbagai media massa dan elektronik, dan sudah menulis
ratusan artikel yang tersebar di seluruh Indonesia. Dua tulisan saya bahkan
sudah terpampang di Koran Kompas. Sungguh prestasi yang luar biasa, paling
tidak menurut saya pribadi.
Sambil
menyimak penyampaian materi technical
meeting, saya mencoba mengingat-ingat kualitas tulisan karya tulis sebagai
salah satu persyaratan lomba mahasiswa berprestasi ini. Saya agak menyesal karena
saya hanya menyiapkan tulisan itu dalam waktu 3 hari saja. Rasa sesal yang
muncul itu segera saya tepis, sambil berkata pada diri sendiri ”Apa pun yang
terjadi, terjadilah. Que sera-sera”.
Paling tidak saya adalah mahasiswa nomor 1 di antara seluruh mahasiswa lainnya
di UP45.
Selesai
technical meeting, saya segera pulang
dan sampai di rumah sekitar pukul 12.30. Saya merenung dan memikirkan strategi
presentasi untuk keesokan harinya. Saya sedang kebingungan. Tidak dinyana,
ponsel kesayangan berdering tanda ada pesan yang masuk. ”Elisa dear, kita berempat sedang di kantor Pak
Toni. Cepatlah kau datang ke sini dan kita bantu untuk persiapan besok pagi”.
Itulah sms dari Ibu Arundati Shinta, salah satu leader IAYP di UP45 yang selama ini pandai mengobarkan semangat
mahasiswa untuk pantang menyerah. Persis seperti ibu saya, Ibu Shinta sering
membuat saya paranoid karena nasehat-nasehatnya yang sering menohok kelemahan
saya tentang perencanaan waktu. Pak Toni juga salah satu leader IAYP di UP45, yang karakternya berkebalikan dengan Ibu
Shinta. Pak Toni lebih sabar dan lebih mengerti orang muda. Setelah merenung
sebentar, saya memutuskan bahwa sms dari Ibu Shinta tersebut bukan kebetulan.
Saya menjadi semakin yakin bahwa Gusti Allah akan selalu menolong saya dalam
segala kesulitan.
Saya
segera meluncur ke kantor Pak Toni, menggunakan sepeda motor kreditan yang
belum lunas. Untuk mempersingkat waktu, saya melewati jalan Wonosari yang
selama ini saya hindari karena sering ada tilang polisi. Saya sebenarnya agak
takut, karena saya tidak mempunyai SIM. Sepanjang perjalanan saya berdoa semoga
tidak ada cegatan tilang. Bila perjalanan normal maka perjalanan ke arah kantor
Pak Toni adalah sekitar 1 jam, namun karena berkecepatan tinggi, waktu tempuh
saya hanya sekitar 40-50 menit. Di kantor Pak Toni, saya bertemu dengan 2 teman
IAYP lainnya yaitu Wakhid (mahasiswa teknik mesin UP45) dan Cepi (mahasiswa
ekonomi UP45). Di kantor itu, saya mendapat wawasan tentang psikologi
lingkungan dari bu Shinta dan mendapat suntikan semangat dari Pak Toni serta
dua teman IAYP. Pak Toni pun sudah menyediakan satu nasi bungkus khusus untuk
saya dan saya menjadi terharu atas perhatian teman-teman serta leader IAYP. Semua yang hadir memberikan
ide agar presentasi esok pagi menjadi lebih menarik.
Ketika
arloji sudah menunjuk pukul 15.40, saya segera menyudahi pertemuan, dan
bertekad segera membuat power point. Ketika membuka laptop kesayangan, ternyata
ide-ide kreatif tidak segera muncul. Kepala rasanya berat, pikiran buntu, dan
kondisi fisik menurun drastis karena kelelahan. Untuk mengatasi kebuntuan itu,
segera saya sms mentor saya yang lain yaitu Mas Aksan Susanto. Dia dulu bekerja
di UP45. Dialah yang selalu menjadi pengobar semangat. Hal ini karena profesinya sama dengan
saya yaitu penulis dan wartawan.
”Mas Aksan, bagaimana caranya supaya
saya tidak grogi pada saat presentasi besok pagi? Tolonglah saya”. Itu sms dari
saya dengan nada yang menghiba-hiba.
Mas Aksan menjawab ”Kau akan ikut lomba
mahasiswa berprestasi? Wah hebat!. Ayo kita buat power pointnya. Kau harus
menang ya!. Kapan dan di mana kita bisa bertemu?”.
”Jangan sekarang Mas Aksan, vertigo-ku
sedang kumat. Nanti sesudah maghrib ya. Aku mau istirahat sebentar!”.
Sesudah
merebahkan badan barang 30 menit, saya segera pergi lagi ke daerah Pingit. Itu
adalah ruang belajar untuk masyarakat Bumijo yang dikelola oleh Mas Aksan. Di
tempat itu saya mendapat wawasan tentang strategi wawancara, cara menguasai
panggung, cara menjawab pertanyaan juri yang sifatnya menjebak, dan cara
menyenangkan juri. Mas Aksan juga menyarankan saya untuk menjaga kesehatan
tubuh. Sebuah saran yang bagus, tetapi saya pesimis untuk menerapkan dalam
khidupan sehari-hari, karena saya sering menulis sampai dini hari. Tidak terasa
arloji telah menunjukkan pukul 22.30. Saya harus segera pulang, membuat power
point, dan tidur. Dengan menahan kengerian, saya menembus jalan Wonosari
seorang diri, pada hampir tengah malam pula. Semoga saya tidak bertemu dengan
anggota geng motor, doa saya sepanjang jalan.
Esok
paginya, matahari merekah dan memberi semangat baru bagi orang-orang yang mampu
menikmati segarnya sinar matahari pada pagi hari, kecuali saya. Oleh karena
kurang tidur, kondisi badan saya terus turun. Saya menggigil kedinginan, dan
seluruh sarapan keluar. Saya muntah. Sia-sialah usaha untuk memperkuat tubuh.
Dengan agak sempoyongan, sedikit demam dan pusing, saya memaksa diri pergi ke
Kopertis untuk menghadapi hal yang paling mengerikan dalam hidup saya. Di
tengah kesakitan itu, terbayanglah muka salah satu dosen yang selama ini
menjadi penasehat spiritual. Saya memohon dikirimkan energi tambahan untuk
menghadapi situasi sulit pagi itu. Transfer energi jarak jauh itu ternyata manjur,
dan saya kembali tegak menghadapi pertarungan antar mahasiswa berprestasi.
Saya
datang ke Kopertis sesuai waktu yang telah ditentukan, namun ternyata saya
harus menunggu beberapa saat untuk presentasi. Saya mendapat giliran kedua.
Sambil menunggu giliran, saya berbincang dengan salah seorang peserta mahasiswa
berprestasi. Dia berasal dari Universitas Mercu Buana. Iseng-iseng saya mencari
informasi tentang teman baru itu, dan hasilnya justru membuat saya semakin
tertekan. Selain mahasiswa berprestasi di Universitas Mercu Buana, dia adalah
finalis Putri Indonesia, dan seabreg prestasi bergengsi lainnya. Beruntunglah,
Ibu Shinta segera datang menemani. Ibu
Shinta menasehati bahwa penampilan rupawan, seperti teman dari Mercu Buana itu,
bukan jaminan untuk menang. Ibu Shinta membesarkan hati saya bahwa saya adalah
seorang pejuang yang gigih. Mahasiswa lainnya hanya belajar dan belajar saja,
sedangkan saya belajar sambil bekerja untuk membayar kredit motor.
Pertarungan pun
dimulai. Ketika sedang membaca judul, ada seorang juru yang menginterupsi dan
meminta saya mengucapkan judul karya tulis dengan jelas. Judul karya tulis saya
ternyata salah penulisannya. Saya menuliskan feses seharusnya feces.
Kritikan beliau agak mengganggu saya, namun segera saya ingat pesan-pesan Mas
Aksan dan Pak Toni. Konsentrasi saya pulih. Semua pertanyaan juri saya jawab,
entah benar atau salah. Kalau saya tidak tahu, maka saya jawab dengan jujur
bahwa saya tidak tahu.
Salah satu
pertanyaan yang tidak bisa jawab adalah mengapa saya memilih judul MEMANFAATKAN
FESES SEBAGAI ENERGY GAS BERBASIS HEMAT BIAYA RUMAH TANGGA. Oleh karena saya
tidak bisa menjawab, maka juri dengan baik hati menjelaskan bahwa saya
seharusnya menulis tentang psikologi lingkungan. Misalnya, bagaimana caranya
agar masyarakat berperilaku kreatif dengan menggunakan tinja (feces) sebagai salah satu bahan energi
alternatif. Jadi bukan masalah feces
serta bahan kimia lainnya yang dibahas, tetapi masalah perilaku orang-orang
terhadap feces, perilaku orang-orang
terhadap energi yang dihasilkan dari feces
yang dihasilkannya, dan perilaku-perilaku kreatif lainnya untuk menghasilkan
sumber energi alternatif. Saya hanya bisa tersenyum kecut. Selesailah
presentasi saya yang heboh.
Sambil menyimak
presentasi mahasiswa lainnya, saya merenung bahwa saya sudah melalui tahap yang
paling sulit dalam hidup. Saya sudah menunjukkan kemampuan, ketabahan,
ketekunan, dan perjuangan tidak henti demi perlombaan mahasiswa berprestasi
tahun 2013. Saya tahu diri dengan posisi saya, dan saya sudah bisa menebak
bahwa saya tidak akan menang. Meskipun begitu, pengalaman horor ini tidak akan
terlupakan seumur hidup. Sungguh beruntung saya sekarang ini duduk di gedung
Kopertis yang megah dan mewakili UP45 sebagai salah satu peserta lomba mahasiswa
berprestasi. Seandainya saya menuntut ilmu di universitas bergengsi lainnya
seperti UII, UAD, atau yang lain, pasti saya tidak akan mendapatkan pengalaman berharga
seperti ini. Saya sangat bersyukur dapat menuntut ilmu di UP45, dan dapat bea
siswa lagi.
Di punghujung
acara, saya melhat muka teman-teman nampak harap-harap cemas. Mereka senam
jantung, namun herannya saya sama sekali tidak cemas. Saya tahu diri. Tibalah
saat pengumum pemenangnya. Pemenang juara satu, dua, dan tiga berturut-turut
adalah dari UPN, USD dan UAD. Posisi saya adalah saya masuk dalam daftar 13
besar mahasiswa berprestasi se DIY tahun 2013. Ketika mewawancarai sang juara
satu, saya menjadi tidak heran mengapa ia menempati posisi terhormat. Ternyata
ia sudah berkali-kali mewakili UPN untuk berbagai lomba bahkan sampai tingkat
internasional. Juara lainnya seperti Fajar Dwi Saputro, ternyata juga pernah
menjadi peserta lomba mahasiswa berprestasi sampai beberapa kali. Apabila
mahasiswa dengan kaliber seperti itu menjadi juara, maka hal itu bukan suatu
peristiwa yang sangat mengherankan. Mereka sudah merintis untuk mencapai masa
depan yang cerah.
Apa lesson learned yang saya peroleh dari
peristiwa lomba mahasiswa berprestasi tahun 2013 ini? Hal berharga yang dapat
saya petik dari ajang bergengsi ini adalah saya memang bukan pemenang dalam
lomba mahasiswa berprestasi ini, namun saya adalah pemenang sejati dalam lomba
melawan diri saya sendiri. Saya
sanggup mengalahkan segala ketakutan dan segala perasaan inferior saya. Benar
sekali nasehat Ibu Shinta, bahwa saya adalah seorang pejuang yang gigih atau
istilah kerennya adalah a tough warrior.
Saya merasa menjadi orang baru, dan berjanji pada diri sendiri untuk menata
masa depan dengan lebih cermat. Saya juga tidak akan silau dengan penampilan
rupawan seseorang, karena peserta dari Unviersitas Mercu Buana yang menjadi
finalis Putri Indonesia ternyata juga mendapat kritikan yang pedas dari juri.
Ia juga tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Cara menjawab pertanyaan
juri terkesan sombong. Beruntunglah saya selalu mendapat nasehat orangtua,
penasehat spiritual dan leader IAYP
bahwa saya harus tahu diri, tidak boleh sombong, selalu gigih, tidak boleh
menyerah, dan terutama disiplin dalam waktu.
Akhir kata, saya
harus menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada beberapa
orang yang berarti seperti: Ibu Latifa, Pak Bambang Irjanto serta Pak Arif
sebagai pejabat UP45 yang telah mendorong saya untuk mengikuti ajang bergengsi
ini. Ucapan terima kasih juga saya tujukan pada Cepi yang telah membantu untuk
urusan teknis perekaman serta sahabat Anya yang membantu proses penterjemahan
ke dalam bahasa Inggris. Hutang budi yang tidak mungkin saya balas dengan
tuntas adalah dari orangtua yang selalu mendoakan yang terbaik untuk saya, termasuk
mendorong saya melanjutkan studi di Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi
45. Viva psikologi UP45!!!
2 Comments
keren man, mbak ELisa hebring banget. Aku juga pingin mengikuti jejak mbak ELisa. Tapi syaratnya harus tega terhadap diri sendiri ya. Apa saya bisa mbak ELisa?
ReplyDeleteselamat malam mbak/mas plar bear, namannya unik sekali. Terkadang mengorbankan diri sendiri perlu untuk orang lain. jika pingin bisa, semua orang bisa melakukannya, tinggal mahu atau tidaknya. menjadi masalahnya adalah, tidak semua masalah diselesaikan dengan jalan keluar seperti yang diatas.
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji