Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

POTENSI OTONOMI DAERAH: Pendidikan Karakter dari Yogyakarta untuk Indonesia



Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Pendidikan karakter untuk generasi muda Indonesia sangat dibutuhkan. Hal ini karena telah banyak peristiwa kekerasan yang sayangnya diprakarsai oleh orang-orang muda. Peristiwa kekerasan itu antara lain tawuran antar sekolah, geng motor, perkosaan, penipuan, pelacuran, bahkan penjualan gadis-gadis di bawah umur telah dilakukan oleh seorang remaja perempuan yang masih duduk di bangku SMP (Haorrahman, 2013). Berita lain yang cukup memprihatinkan yaitu anak seorang polisi di Riau justru menjadi anggota geng motor,  bahkan ia menjadi salah satu pimpinan penjahat (Hapsari, 2013).
Persoalan yang muncul dengan pendidikan karakter adalah hampir semua orang bingung memulai pendidikan karakter untuk orang-orang muda. Hampir semua orang meletakkan pendidikan karakter berdasarkan pelajaran di sekolah (pelajaran budi pekerti, pendidikan agama, dan suri tauladan dari guru), pendidikan dalam keluarga (suri tauladan dari orangtua), serta pendidikan dalam masyarakat (misalnya tayangan televisi). Tiga sumber pendidikan karakter tersebut ternyata tidak sepi dari masalah.
Di sekolah, para guru sudah terlalu lelah mengajar berdasarkan kurikulum yang berubah-ubah setiap ganti menteri pendidikan. Anak-anak sekolah pun penat memikirkan pelajaran agar bisa lulus dari ujian nasional yang sulitnya seperti mencekik leher. Dalam keluarga, tidak kurang pula persoalannya yaitu orangtua tidak mempunyai waktu luang untuk memperhatikan perkembangan anak-anaknya karena sibuk mencari uang dan mempunyai anak banyak.
Dalam masyarakat, media massa justru senang menayangkan berita-berita yang sensasioanl seperti tawuran, perkosaan, dan remaja yang menjadi mucikari. Tayangan-tayangan itu bahkan disajikan secara rinci, sehingga pemirsa seperti menerima ‘modul belajar kekerasan’. Untuk tayang-tayangan yang bersifat pornoaksi, Isran Noor, Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Bupati Kutai Timur di Kalimantan, menyatakan bahwa hampir seluruh kabupaten mengundang artis dan penyanyi dangdut untuk menghibur masyarakat. Apabila pimpinan daerah tidak waspada maka tontonan itu bisa menjadi pembelajaran hal-hal negatif (Sofyan, 2012). Tayangan-tayangan negatif itulah, sayangnya, menjadi kegemaran masyarakat. Bagi media massa, bad news are good news, berita-berita buruk adalah berita yang layak disebarkan di masyarakat.
Persoalan lainnya tentang pendidikan karakter untuk orang-orang muda adalah orang-orang dewasa sering melupakan pengaruh teman sebaya serta diri pribadi orang muda itu sendiri. Pada usia remaja sampai dewasa awal, pengaruh teman sebaya adalah jauh lebih kuat daripada orangtua dan guru (Berns, 2004). Apa saja yang dikatakan dan dilakukan oleh teman sebaya, maka akan ditiru oleh individu remaja. Perilaku yang ditiru termasuk hal-hal yang sifatnya jahat. Apalagi sekarang komunikasi melalui dunia maya sudah begitu lazimnya, sehingga modul perilaku jahat sudah begitu mudahnya diperoleh.
Diri pribadi orang-orang muda sering diremehkan oleh orang dewasa, karena orang muda dianggap belum mempunyai karakter unggul seperti halnya orang dewasa. Orang muda dianggap sebagai orang yang kurang pengalaman. Hal ini sebenanrya tidak seluruhnya benar, karena orang muda bisa saja mempunyai karakter unggul bahkan melebih orang dewasa lainnya. Tengoklah berita tentang usaha tiga remaja yang telah menggagalkan percobaan pemerkosaan pada salah seorang temannya (Setyadi, 2013). Dampaknya adalah tiga remaja tersebut menjadi tokoh yang dikagumi masyarakat, menjadi tokoh panutan bagi teman-temannya dan juga orang yang lebih dewasa. Jadi dalam hal pendidikan karakter ini, sebenarnya orang muda sendiri sudah mempunyai regulasi diri. Ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kalau memang banyak hambatan dalam melakukan pendidikan karakter bagi orang-orang muda, apakah ada jalan keluarnya? Pendidikan karakter yang selama ini dikenal di Indonesia, berasal dari Yogyakarta. Tokoh pendidikan karakter adalah Ki Hadjar Dewantara, yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan seperti Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), ing madyo mangun karso (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa) dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan, selalu memberi semangat) (Zahroh, 2012). Pendidikan karakter ala Ki Hajar Dewantara tersebut lebih menekankan pada peran orangtua, guru dan tokoh masyarakat untuk menjadi pemimpin bagi orang-orang muda (anak-anaknya). Ketika anak-anak muda itu mendapatkan bimbingan dan suri tauldan yang baik, maka anak-anak itu kelak juga akan menjadi pemimpin masyarakat dan pemimpin keluarga yang baik.

Model pendidikan ala Ki Hajar Dewantara itu sudah diterapkan di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, semenjak tahun 2011. Para dosen yang yang tertarik dalam pendidikan karakter orang-orang muda, telah dilatih dan mendapat sertifikat untuk menjadi leader (seperti kakak pembina dalam kegiatan Pramuka). Pelatihan menjadi leader itu dikelola oleh program IAYP (International Award for Young People) yang pusatnya di Inggris dengan Pangeran Philip sebagai pemimpinnya. Dalam program IAYP tersebut, para leader harus mampu menjadi suri tauldan bagi para mahasiswanya, mampu memberi ide-ide kreatif serta membantu kesulitan mahasiswa ketika berada di tengah-tengah mahasiswa. Bila leader berada di belakang, maka ia tidak pernah lelah membari semangat bagi mahasiswa.
Mengapa harus Universitas Proklamasi 45? Hal ini karena program IAYP sangat sulit tumbuh di kalangan perguruan tinggi. Program tersebut lebih sering dijumpai di tingkat SMA yang berasrama, seperti pondok pesantren. Untuk tingkat perguruan tinggi di seluruh Indonesia, hanya Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta saja yang mampu menyelenggarakan sampai kini. Di perguruan tinggi lainnya program IAYP ini seperti mati suri alias tidak jalan (Shinta, 2013b).
Perilaku apa saja yang seharusnya para leader tampilkan sehingga ia menjadi panutan mahasiswa? Perilaku yang harus ditampilkan adalah disiplin, tekun, dan jujur dalam melaksanakan semua program IAYP yaitu olah raga, ketrampilan, pelayanan masyarakat, dan petualangan. Meskipun program ini ditujukan untuk orang-orang muda usia 14-25 tahun saja namun para leader juga melakukannya sebagai model perilaku dan sebagai bekal untuk memompa semangat anak-anak muda. Leader harus mampu terlibat dengan seluruh kegiatan mahasiswa dengan hati rela, tanpa paksaan (Shinta, 2013a).
Kegiatan IAYP sebenarnya sederhana, namun membutuhkan ketekunan dan kejujuran dalam menyelesaikannya. Peserta harus melakukan olah raga minimal 60 menit / minggu, dan setiap minggunya harus ada kemajuan. Sebagai contoh, bila ia senang dengan olah raga lompat tali, maka jumlah lompat tali yang dilakukan harus bertambah setiap minggunya. Kegiatan ketrampilan yang bisa dilakukan peserta misalnya mengikuti kursus bahasa Inggris. Kegiatan pelayanan masyarakat misalnya membersihkan rumah ibadah. Semua kegiatan itu juga dilakukan minimal 60 menit/minggu. Semua kegiatan ini dilakukan selama 6 bulan terus menerus, tanpa berhenti. Jadi ini adalah semacam ujian perilaku ketekunan, kedisiplinan, dan kejujuran.
Mengapa ujian kejujuran? Hal ini karena semua kegiatan itu dilakukan sendiri oleh mahasiswa, kemudian mahasiswa melaporkan kegiatan tersebut pada leader IAYP. Jadi kegiatan ini sebenarnya sangat rentan dengan penipuan. Oleh karena itu leader yang baik harus bisa berhubungan akrab dengan mahasiswa binaannya sehingga ia bisa mendeteksi apakah mahasiswa itu telah berbohong atau tidak.
Berdasarkan pengalaman, ternyata kegiatan yang dianggap aneh oleh masyarakat yaitu pelayanan masyarakat. Ada mahasiswa yang berniat membersihkan masjid saja harus lapor kepada Pak RT dan Pak RW. Padahal mahasiswa itu tidak meminta bayaran apa pun. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat selalu berada dalam kondisi curiga. Masyarakat sering tidak mempercayai bahwa ada niat baik yang timbul dari anak-anak muda.
Apa saja hasil yang membanggakan dari kegiatan IAYP di Universitas Proklamsi 45 Yogyakarta? Mayoritas peserta adalah penerima bea siswa, aktif serta berprestasi dalam kegiatan kemahasiswaan. Mereka menjadi penulis aktif di kelas menulis, harian Kompas, lomba debat bahasa Inggris tingkat propinsi, mahasiswa berprestasi tingkat propinsi, lomba dai tingkat nasional, bahkan ada yang merancang usaha bisnis di kalangan mahasiswa. Beberapa mahasiswa sudah mendapatkan penghargaan tingkat internasional tentang pembangunan karakter. Artinya mereka telah teruji pada tingkat dunia.
Apa saja resepnya agar pendidikan karakter bagi mahasiswa seluruh Indonesia dapat berjalan dengan baik? Resepnya sederhana saja yaitu adanya orang-orang yang bersedia menerapkan ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara yaitu Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), ing madyo mangun karso (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa) dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan, selalu memberi semangat). Orang-orang tersebut hendaknya melaksanakan pendidikan karakter berbasiskan ajaran Ki Hajar Dewantara secara konsisten.
Saya yakin, sangat banyak orang yang peduli pada pendidikan karakter untuk anak-anak muda. Salah satu contoh, Isran Noor, Bupati Kutai Timur, yang mewanti-wanti akan pentingnya seni budaya yang penuh etika untuk pembangunan karakter anak muda. Musik dangdut, sebagai contoh, hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga tidak menularkan hal-hal yang berbau pornoaksi kepada anak-anak muda.
Sebagai akhir kata, pendidikan karakter untuk anak-anak muda sejatinya harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Setiap pemimpin daerah hendaknya mampu menampilkan suri tauladan perilaku, mampu memberi ide untuk pengembangan diri bagi lingkungan sosialnya, dan selalu memberi semangat serta dorongan motivasi agar lingkungan sosial menjadi lebih baik.

Daftar pustaka

Berns, R. M. (2004). Child, family, school, community: Socialization and support. (6th ed). Victoria: Thomson Wadsworth.
Haorrahman (2013). Pelajar SMP broker prostitusi, beroperasi sendiri. Tribunjatim.com, 14 Juni 2013. Retrieved on July 2, 2013 from: http://jatim.tribunnews.com/2013/06/14/pelajar-smp-broker-prostitusi-beroperasi-sendiri
Hapsari, E. (2013). Wah, anak polisi malah jadi penjahat. Republika On Line, 15 Mei 2013. Retrieved o July 2, 2013 from:
Setyadi, A. (2013). Remaja penggagal perkosaan bisa jadi guru bagi pejabat publik. Okezone.com, 26 Mei 2013. Retrieved on July 2, 2013 from http://jakarta.okezone.com/read/2013/05/26/500/812874/remaja-penggagal-perkosaan-bisa-jadi-guru-bagi-pejabat-publik
Shinta, A. (2013a). Fenomena Tom and Jerry: Renungan Seorang Leader Terhadap Perilaku Peserta IAYP. Kup45iana. Published on line on January 6, 2013 at: http://lintaskampusup45.blogspot.com/2013/01/fenomena-tom-and-jerry-renungan-seorang.html
Shinta, A. (2013b). Kegiatan menulis dan bahasa inggris di up45. Kup45iana. Published on line on January 10, 2013 at:
Sofyan, A. (2012). Isran: Pemda harus cegah pornoaksi dan pembajakan. Jurnal Nasional. 6 Oktober 2012.
Zahroh, F. (2012). Ki Hajar Dewantara. Retrieved on July 3, 2013 from Merdeka.com, http://profil.merdeka.com/indonesia/k/ki-hadjar-dewantoro/


Catatan: Tulisan ini dipersiapkan untuk Lomba Menulis Otonomi Daerah yang diselenggarakan oleh APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), pada Juli 2013.

Post a Comment

0 Comments