Esti Listiari & Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Peserta IAYP (foto : Elisa) |
Selalu berpikiran positif dalam menghadapi berbagai
persoalan organisasi adalah merupakan strategi paling ampuh. Hal ini karena setiap persoalan pasti ada jalan
keluarnya. Cara yang paling manjur untuk mendapatkan penyelesaian pada setiap
persoalan adalah kita mampu berpikir positif, atau mencari celah-celah positif
dari setiap persoalan. Sebagai contoh, keluarnya salah satu koki andalan dari
suatu hotel adalah ’bencana’ bagi pihak manajemen. Bila hal itu tidak segera
ditangani, maka hotel bisa kehilangan pelanggannya. Sisi positif dari keluarnya
sang koki adalah memaksa pimpinan untuk mengetahui potensi memasak pada
karyawan lainnya. Dampaknya pimpinan menjadi lebih memahami karakter dan
potensi karyawan. Hubungan keduanya menjadi lebih dekat, gara-gara adanya
musibah keluarnya sang koki tersebut.
Persoalan yang sering muncul dalam pencapaian pikiran
positif bagi para pimpinan organisasi adalah mereka terjebak dalam pikiran-pikiran
negatif atau pesimis. Hal ini terjadi karena mereka kurang mendapatkan
informasi yang akurat, dan para asisten yang ada di dekatnya tidak dapat
berfungsi dengan baik atau tidak mampu membisikkan pikiran-pikiran positif.
Tulisan ini penting bagi para pimpinan organisasi yang posisinya strategis
untuk mendorong munculnya pikiran positif pada semua anak buah. Pengaruh
positif dari pimpinan akan mengarahkan para anak buah pada serangkaian perilaku
yang juga positif. Hasil akhirnya dapat ditebak yaitu produktivitas anak
buahnya akan naik. Hal ini bisa terjadi karena pemimpin mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi anak buahnya.
Apa saja resep dari pimpinan dalam berpikir positif? Pimpinan
organisasi dapat melihat tulisan Gottschalk (2013) bahwa berpikir positif mempunyai
resep yang terdiri dari 4 huruf yaitu HERO. Arti harafiah HERO adalah pahlawan,
namun kata itu sebenarnya merupakan singkatan dari Hope, Efficacy, Resilience
dan Optimism. Apa saja penjelasan
dari singaktan HERO tersebut?
Hope atau harapan adalah kepercayaan seseorang bahwa tujuan yang
diinginkan akan tercapai dan ia juga akan menemukan cara yang paling tepat
untuk mencapai tujuan itu. Efficacy
yaitu keyakinan bahwa individu mampu melakukan sesuatu untuk mencapai
tujuannya. Resilience atau ketabahan
yaitu kemampuan untuk menghadapi kegagalan dengan lapang dada. Optimism atau optimisme adalah pandangan
yang positif tentang pekerjaan dan potensi diri untuk sukses.
Bagaimana cara pemimpin mempengaruhi anak buahnya agar mereka
memahami prinsip HERO tesebut? Berdasarkan teori belajar sosial (Bandura, 1986),
cara pemimpin mempengaruhi anak buahnya yaitu dengan menjadi model perilaku. Pemimpin
adalah figur panutan, sehingga segala sesuatu yang dilakukannya akan terus
dipantau oleh anak buahnya. Apabila segala perilaku model itu mendapatkan
imbalan (reward) maka anak buah pun
akan menirunya. Hal yang sebaliknya, bila perilaku model itu justru
mendatangkan sanksi (hukuman atau punishment)
maka para pengamat tidak akan menirunya.
Ketika organisasi sedang terlibat dalam persoalan serius,
misalnya hampir bangkrut, maka pemimpin segera merancang dan melaksanakan
program-program penyelamatan organisasi. Contoh program penyelamatan organisasi
antara lain penghematan biaya listrik, yaitu segera mematikan lampu dan
komputer begitu karyawan keluar dari ruang kerja. Bila pemimpin melakukan
penghematan itu dan juga mendorong karyawan untuk melakukannya, maka semua anak
buahnya akan mengikuti suri tauladan perilakunya. Bila omongan pemimpin tidak
sesuai dengan perilakunya, jangan harap anak buah akan patuh untuk berhemat. Jadi
sebenarnya anak buah adalah pengamat yang sangat rinci terhadap semua perilaku
pimpinannya.
Bagaimana cara pemimpin menularkan hope atau harapan agar organisasi tetap bisa bertahan? Strategi
yang sering dilakukan pemimpin yaitu dengan selalu mengawali kerja dengan doa
bersama. Ritual sederhana ini sebenarnya adalah cara untuk membuat anak buah
semakin fokus dalam bekerja karena bekerja adalah bagian dari ibadah. Dalam doa
bersama itu, tidak jarang pemimpin mengingatkan karyawan akan visi dan misi
organisasi yaitu melayani masyarakat dengan produk dan jasa yang dihasilkan.
Strategi semacam ini cenderung mengobarkan harapan karyawan dalam menghadapi
masa-masa sulit organisasi.
Bagaimana cara pemimpin mendorong keyakinan diri (efikasi
diri) para karyawan? Strategi yang selama ini banyak dilakukan oleh pimpinan ada
dua cara. Cara pertama yaitu dengan memotivasi (meyakinkan) karyawan bahwa mereka
mampu. Cara ini seperti meniupkan udara ke dalam balon, sehingga balon menjadi
mekar. Kata-kata yang diucapkan pemimpin antara lain ”Kau sangat mengagumkan
dalam menyelesaikan tugas. Kau paling hebat”. Cara kedua yang dapat dilakukan
yaitu mensugesti dirinya sendiri yaitu dengan mengatakan pada diri sendiri ”Aku
bisa, aku bisa, aku bisa”. Bahkan kalau perlu sugesti itu ditulis dalam buku
harian. Nampaknya strategi itu belum cukup manjur untuk memunculkan efikasi
diri karyawan. Bandura (1986) dan Myers (1994) menyarankan strategi yang lebih
jitu yaitu pemimpin justru memberi tugas mulai dari yang mudah sampai dengan
sulit. Ketika karyawan berhasil menyelesaikan satu tugas, maka efikasi dirinya
muncul. Ia mempunyai pengalaman sendiri dalam menaklukkan suatu kesulitan.
Selanjutnya karyawan diberikan tugas yang meningkat kesulitannya, dan bila
berhasil melaksanakannya maka efikasi diri karyawan akan semakin kuat. Tentu
saja strategi mengalami langsung ini butuh waktu lama dan kesabaran yang tinggi
pada pimpinan.
Bagaimana cara pemimpin menularkan ketabahan (resilience) pada para karyawan? Masih
berdasarkan teori belajar sosial, pemimpin mengajarkan ketabahan dengan cara
bekerjasama dengan karyawan dalam mengerjakan tugas. Pemimpin yang baik adalah
orang yang selalu ada di tengah-tengah anak buahnya, bukan hanya duduk manis di
singgasananya saja. Situasi kerjasama akan menularkan kepada karyawan tentang
cara-cara cerdik dan semangat pantang menyerah dalam menyelesaikan suatu
masalah. Jadi dalam situasi kebersamaan itu, karyawan akan mendapatkan
kesempatan untuk belajar bersama.
Ketabahan juga bisa diajarkan pimpinan dengan cara membantu
karyawan yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas. Karyawan tidak
ditinggal sendiri bahkan sampai frustrasi dalam menyelesaikan suatu tugas yang
sulit. Seseorang yang sering mengalami kegagalan dan tidak segera mendapatkan
pertolongan, maka ia akan mempunyai keyakinan bahwa ia adalah orang yang gagal.
Istilah dalam psikologi sosial yaitu learned
sef-helplessness atau keyakinan bahwa dirinya adalah pecundang dan
keyakinan itu merupakan hasil belajar (Franzoi, 2003; Myers, 1994). Oleh karena
itu, pemimpin hendaknya mampu mencegah terjadinya rasa tidak berdaya ini di
kalangan karyawannya.
Bagaimana cara pemimpin menularkan rasa optimisme di kalangan
karyawannya? Masih berdasarkan teori sosial belajar, pemimpin harus mampu
memperlihatkan optimisme yang tinggi ketika menyelesaikan suatu tugas. Karyawan
tidak ditinggal sendiri ketika mereka menghadapi kesulitan. Dalam mengerjakan
tugas-tugas, pemimpin dapat memotivasi karyawannya agar mereka mempunyai internal locus of control atau kontrol
diri yang sifatnya internal (Myers, 1994). Kontrol diri internal itu adalah
segala persepsi bahwa diri sendiri adalah penyebab dari segala kegagalan yang
terjadi. Kontrol diri eksternal, sebaliknya, adalah persepsi bahwa basib
ditentukan oleh faktor lingkungan bukan dirinya sendiri.
Orang yang mempunyai kontrol diri internal cenderung untuk
sukses dalam menyelesaikan masalahnya, dan hidupnya lebih sukses daripada orang
yang kontrol dirinya eksternal. Ilustrasi untuk kontrol diri eksternal adalah karyawan
yang sering gagal dalam proses promosi jabatan, dan ia merasa bahwa
kegagalannya itu adalah karena pimpinan tidak menyukainya. Dampaknya adalah ia
tidak berusaha untuk memperbaiki strategi promosi jabatannya karena pihak yang
salah adalah pimpinannya. Ilustrasi untuk kontrol diri internal adalah karyawan
yang gagal dalam memenuhi target penjualan perusahaannya, dan ia merasa bahwa
kegagalannya itu karena ia kurang jitu dalam memilih strategi pemasarannya.
Dampaknya adalah ia segera mencoba strategi baru lainnya. Berdasarkan kedua
ilustrasi tersebut, maka orang yang mempunyai kontrol diri internal cenderung
lebih matang dalam menerima kegagalannya daripada orang yang kontrol dirinya
eksternal.
Dalam menghadapi masalah organisasi, pemimpin yang mempunyai
kontrol diri internal cenderung untuk tidak menyalahkan karyawannya meskipun
mungkin saja karyawan itu menyumbang kesalahan. Para karyawan yang mempunyai
pemimpin jenis seperti ini tentu saja merasa senang karena mereka tidak pernah
menjadi sasaran kemarahan pimpinan. Karyawan menjadi lebih tenang dan lebih
senang dalam menyumbangkan ide-ide penyelesaian masalah organisasi.
Jadi dalam menyelesaikan masalah organisasi yang ruwet sekali
pun, berpikiran positif ternyata sangat berguna. Berpikiran positif akan
menumbuhkan semangat bagi karyawan dalam berkarya untuk organisasi tempatnya
mengabdi. Untuk mengingat ampuhnya berpikiran positif ini, Gottschalk (2013) memberi
petuah yang unik yaitu ”If plan A didn’t work,
the alphabet has 25 more letters. Stay cool”. Bila rencana A tidak bekerja,
maka kita masih mempunyai 25 rencana lainnya. Jadi janganlah panik. Selamat
berkarya.
Daftar pustaka:
Bandura, A. (1986). Social
foundations of thought and action: A social cognitive theory. New Jersey:
Prentice-Hall Inc
Franzoi, S. L. (2003). Social psychology. 3rd ed.
Boston: McGraw Hill.
Gottschalk,
M. (2013). Note to managers: Positivity
matters. Venitism, June 21, 2013.
Retrieved on June 28, 2013 from: http://venitism.blogspot.com/2013/06/positivity-matters.html
Myers, D. G. (1994). Exploring
social psychology. New York: McGraw-Hill, Inc.
1 Comments
Bu Shinta, foto dan artikel kok tidak ada hubungannya ya? Di foto itu terlihat remaja-remaja berenang, sedangkan artikel membahas tentang berpikiran positif dalam organisasi. Nggak nyambung dong. Bagaimana ini?
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji