Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta – Indonesia
Foto : Sigit M. |
Anak muda yang berkarakter. Kalimat itu sering muncul dalam
berbagai media massa
untuk memberikan sanjungan kepada sejumlah anak muda yang hebat. Kehebatan itu
ditunjukkan dengan tercapainya sejumlah prestasi tinggi yang bergengsi. Contoh
prestasi yang membanggakan antara lain juara olimpiade matematika, juara dalam
pesta olah raga PON (Pekan Olah Raga Nasional), juara kelas, juara lomba
menggambar, dan masih banyak contoh prestasi yang membanggakan. Oleh karena itu
tidak heran apabila orangtua juga ikut berlomba-lomba mendorong anaknya untuk
berprestasi seperti halnya figur anak-anak muda hebat tersebut. Begitu hebohnya
para orangtua dalam mendorong (memaksa?) anaknya untuk berkarakter hebat dan
berprestasi tinggi maka sering timbul hal-hal yang menggelikan. Orangtua
mungkin saja akan menseleksi beberapa calon menantunya berdasarkan kepemilikan
sertifikat lomba. Semakin banyak piagam kemenangan yang diperoleh, semakin
besar lolos menjadi calon menantu teladan.
Persoalan yang sering timbul dengan hebohnya pendidikan
karakter itu terutama ditujukan pada anak-anak yang terlantar (marginal). Mereka mungkin saja merupakan
penghuni panti asuhan, anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, anak-anak
dari keluarga berantakan, anak-anak yang berkebutuhan khusus, anak-anak yang
harus tinggal di lembaga pemasyarakatan anak-anak karena telah melakukan tindakan
pidana, dan masih banyak anak yang kurang beruntung lainnya. Anak-anak tersebut
tentu besar di lingkungan keluarga yang kurang memikirkan pentingnya pendidikan
karakter semenjak usia dini. Apakah anak-anak tersebut mampu dan mempunyai
kesempatan untuk mempunyai karakter hebat? Kalau tidak ada kepedulian sedikit
pun dari anggota masyarakat yang lain maka mungkin saja anak-anak itu akan
menjadi anggota bagi lost generation
atau generasi yang hilang.
Tulsian ini terutama ditujukan pada anak-anak muda yang
‘biasa’, yang mungkin saja pada masa kecilnya dahulu kurang didorong oleh
orangtuanya untuk berprestasi tinggi. Kini setelah mencapai usia remaja akhir,
anak-anak ‘biasa’ tersebut tetap menjadi anak-anak muda berkarakter dan
berprestasi bisa saja. Mereka sering dijumpai di kampus-kampus dan sering
mengemukakan bahwa dirinya termasuk orang-orang yang tidak istimewa dan hanya
asyik mengejak indeks prestasi akademik yang tinggi saja. Prediksinya, ketika
mereka lulus S1 maka hanya selembar ijasah saja yang ditawar-tawarkan pada
perusahaan-perusahaan.
Apakah perusahaan bersedia menerima tenaga kerja yang hanya
bermodalkan ijasah S1 saja? Mungkin saja ada perusahaan yang mau menampung para
sarjana tersebut, namun berapa banyak perusahaan seperti itu? Bahkan berita
terbaru menyebutkan bahwa ada sekitar 90 perusahaan di Jakarta yang bangkrut,
dan 45 ribu orang terancam mengangggur (Suhendra, 2013). Berita selanjutnya
menyebutkan bahwa lebih dari 1 juta sarjana menganggur pada tahun 2010
(Joewono, 2010). Berbagai berita menyebutkan bahwa pengangguran sarjana terjadi
karena banyaknya perusahaan yang harus tutup karena ekonomi secara nasional
kurang menggairahkan. Tidak ada yang keliru dengan berita-berita itu, namun satu
hal yang belum disentuh oleh para penulis yaitu kualitas dari sisi supply atau pihak pencari kerja.
Sudahkah para sarjana pencari kerja itu memperkuat kualitasnya sehingga mereka
menjadi sumber daya manusia unggul?
Pada umumnya anak-anak muda sering berkilah bahwa mereka
tidak sempat untuk berprestasi di luar bidang akademik, karena tugas-tugas
perkuliahan sangat membebaninya. Jangan harap untuk berprestasi tingkat
kecamatan (apalagi tingkat nasional), berprestasi tingkat satu rumah pondokan
saja sangat sulit bagi anak-anak muda itu. Mereka selalu kreatif dalam
memberikan alasan untuk menutupi kemalasannya dalam berkiprah di bidang
pendidikan ekstrakurikuler.
Apa saja pendidikan ekstrakurikuler itu? Pendidikan
ekstrakurikuler merupakan pendidikan yang dilakukan di luar pendidikan akademis
yang lazim ada di berbagai sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan ekstra
kurikuler lazimnya berhubungan dengan pengembangan minat, bakat dan hobi. Pada
umumnya orang-orang berpendapat bahwa unggul di bidang pendidikan ekstra
kurikuler bukanlah hal yang penting. Sebaiknya anak-anak muda unggul dalam
bidang akademik saja. Pendapat semacam ini keliru, karena dalam pendidikan
ekstra kurikuler ini juga sangat penting terutama untuk pendidikan karakter.
Kampus ITB (Institut Teknologi Bandung) juga mengeluarkan berita tentang
pentingnya kegiatan ekstrakurikuler di kampus. Tulus, salah seorang mahasiswa
ITB yang aktif terliabt dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler di kampusnya,
telah menjadi SDM unggul. Ia telah mengikuti Vacation Trainee Schlumberger,
Summercamp AIESEC Ukraine, dan Indonesia Model United Nations (IMUN) (ITB,
2010).
Manfaat pendidikan karakter itu antara lain belajar untuk
mengelola waktu dengan bijak, individu termotivasi untuk menjaga kebugaran
tubuh, mendapatkan teman baru di luar kampus, dan berprestasi di luar bidang
non akademik. Contoh program ekstrakurikuler tingkat dunia yang pantas diikuti
anak-anak muda untuk pendidikan karakter ialah IAYP (International Award for Young People) (Shinta, 2013).
Program IAYP itu akan mendorong anak-anak muda untuk
mempunyai kebiasaan baik seperti tabah, disiplin, berani menantang diri
sendiri, dan jujur. Apabila anak-anak muda mengikuti program itu dan berhasil
mendapatkan penghargaan tingkat perunggu, perak atau emas, maka kualitas
SDM-nya akan dihargai oleh paling tidak 140 negara. Memang bukan jaminan bahwa
mendapatkan sertifikat IAYP otomatis seseorang akan diterima bekerja pada suatu
perusahan internasional. Sertifikat IAYP hanya berfungsi sebagai pendukung saja
bagi para sarjana dalam memperlihatkan karakternya. Dampak bagi pemegang sertifikat IAYP adalah mungkin
saja ia lebih diperhatikan oleh perusahaan-perusahaan, daripada sarjana lain
yang bukan pemegang sertifikat IAYP. Bagaimana pun juga, mengikuti proram IAYP yang
bergengsi adalah merupakan usaha bagi generasi muda untuk menjadi lebih unggul.
Sebagai pentup tulisan ini, hendaknya anak-anak muda tidak
perlu alergi terhadap pendidikan ekstrakurikuler. Pendidikan ekstrakurikuler
ini banyak manfaatnya terutama untuk melatih seseorang untuk mendapatkan kebiasaan-kebiasaan
baik. Kumpulan kebiasaan baik merupakan strategi cerdik untuk menjadi SDM
unggul.
Daftar Pustaka
ITB (2010). Pentingnya
kegiatan ekstrakurikuler di kampus. Berita
Institut Teknologi Bandung,
12 November 2010.
Retreived on October 8, 2013
from http://www.itb.ac.id/news/itb_berita_3024.pdf
Joewono, B. N. (2010).
1.142.751 sarjana siap jadi penganggur. Kompas.com,
23 September 2010.
Retrieved on October 8, 2013,
from http://internasional.kompas.com/read/2010/09/23/16473632/1.142.751.Sarjana.Siap.Jadi.Penganggur
Shinta, A. (2013). Character
building on young people: Investment to be a tough leader. This research was presented at the 1st
International Conference of Leadership and Social Change Laboratory of
Psychology Sebelas Maret Unviersity, 20th of August 2013.
Suhendra, Z. (2013). 90
perusahaan cabut dari DKI, 45 ribu orang terancam menganggur. Detikfinance, March 19, 2013. Retrieved on October 8, 2013 from
http://finance.detik.com/read/2013/03/19/171828/2198227/4/90-perusahaan-cabut-dari-dki-45-ribu-orang-terancam-menganggur
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Radio Republik Indonesia
(RRI) Yogyakarta, pada acara JELITA (Jendela
Wanita), pada 4 April 2013.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji