Oleh : Nunuk Priyati
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Oktober, tepat dua bulan silam. Saat
rintik hujan turun bagai embun. Aku baru saja tiba
di
ruangan, membuka nasi bungkus yang tadi aku beli di jalan. Ia tersenyum dibalik
jendela kaca,
begitu jahil menjulurkan lidahnya sebelum
pergi entah kemana. Aku hanya membalasnya
dengan
senyum.Ingin balik menjulurkan lidah, tapi aku selalu berhasil mengurungkan
niatku itu.
‘Tak
sopan’. Pikirku.
Umur dia 29 tahun, umurku tepat 19
tahun. Dia seorang pemilik wajah tampan dengan
bibir
simetris. Tatapannya senantiasa bersahabat dengan pelipis mata yang menawan.
Hidungnya
mancung keluar, terlihat mengesankan. Ia berjiwa muda, 7 tahun lebih muda
dibanding
dengan umurnya. Sebab itu, selama dua bulan aku percaya umurnya baru 22
tahunan.
“Ruangan yang nyaman. Bisa ngumpet,
tidur saja diam – diam” suaranya
mengagetkanku.
Dia berdiri disamping kiriku sekarang, tawanya lepas begitu lebar.
“sarapan mas”, aku menyahutnya
dengan senyum kakuku. Tanganku bergetar
memegang
sendok, aku benar – benar tegang sekarang dan tak hanya sekarang, tapi
disetiap
kali ia mendekatiku.
Dia menjawab tawaranku dengan balik
tersenyum, berjalan mondar - mandir
di ruangan tertutupku bermenit – menit lamanya
lantas pergi begitu saja. Ini hari pertama aku
pindah ruang, awal mula jadi editor part time
seperti dia. Dan itu berarti aku tak seruang lagi
dengannya.
Takkan adalagi yang membantuku memahami setumpuk puisi. Memilah
bahasa
dan menerapkannya.
Pukul Sembilan ada rapat kerja di
ruang auditorium, aku datang dengan tas hitam di
punggung.
“
Hei anak kecil, ngapain kesini - sini ? ini khusus untuk orang dewasa”. Ia
mulai
meledekku
dengan senyum ganjilnya. Aku tak tahu apa maknanya. Sulit dipahami,
berkalilipat
sulitnya
dibanding memahami setumpuk puisi.
“Aku sudah dewasa”.
Kataku,mengangkat muka didepannya. Bukankah aku cantik,
wajahku
beberapa tahun lebih dewasa dibanding umurku. Dan aku yakin, kini dia terpesona
denganku
yang rupawan.
***
Malam
ini adalah sejarah baru untukku. Dimana aku harus menikam perasaanku
sendiri.
Menyiram dengan kejam rinduku yang bergelora bagai api. Aku menangis tergugu,
Mengguling
– guling diatas kasur bermotif bunga sepatu. Kisah cintaku benar – benar
berakhir dengan haru. Aku memanggil dia dalam
jeritku, berpuluh – puluh kali hingga pagi.
Selama ini aku selalu bertanya –
Tanya, “apa makna dibalik senyum ganjilnya, adakah
yang lebih dari juluran lidahnya selain
kejahilan saja ?”. Dan yang aku selalu heran,
mengapa
dia selalu memanggilku dengan sebutan “anak kecil”. Selama ini
aku
kira dia sedang meneguhkan hati, meski lebih muda tapi aku tetaplah wanita
dewasa.
Wanita
yang boleh saja boleh ia cintai, wanita yang pantas ia nanti untuk
dipinangnnya.
Dan
ternyata aku salah. Umurnya terlalu matang untukku, untuk aku miliki.
Aku menggeser kruser dilayar
laptopku, mengeklik puluhan foto dalam album
facebooknya.
Itu foto pesta pernikahannya seminggu yang lalu. Aku menghapus air mataku
dengan
tissu, bahkan sungguh ia tak pernah memberitahuku tentang wanita runangannya.
Apalagi
untuk mengundangku ke pernikahannya.
“Apa
kabar rara ?”, ada satu pesan masuk lewat in box, aku membukanya. Aku
terperangah,
itu
dari dia.
“Aku baik. Selamat ya, semoga
menjadi keluarga sakinah mawadah dan
warohmah
J “.
Aku mengetik cepat, lantas mengenternya. Saat hatiku benar – benar pilu
olehnya,
bagaimana mungkin ia mnanyakan kabar. Aiishhh … benar – benar.
“ Aamiin rara. Doamu senantiasa baik
untukku, meski kau sendiri dalam keadaan
amat
kurang baik. Maafkan aku ra tak memberitahumu. Ini benar – benar mendadak.
Aku
tak bisa menjelaskannya, ceritanya panjang. Aku terpaksa ra, aku dijodohkan.
Aku sudah
tak bekerja lagi di kantor, aku pindah dari
jogja ra. Aku ikut istriku dibali, aku bekerja disana”.
“ Tak perlu meminta maaf, aku tak apa
tak kau undang”, aku berhenti mengetik disitu,
lantas
menekan tombol enter. Aku mengurungkan pertanyaan yang memenuhi otakkuku
beberapa
menit setelah membaca pesan terakhirnya, “apa yang perlu
dijelaskan
dengan perjodohanmu padaku, apa hubungannya denganku ?”.
Aku terdiam lama, membaca pesan
terakhirnya berkali kali. Terjawab sudah semua
pertanyaanku
selama ini. Dan kemudian aku tersadar, dia telah off.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji