Nunuk Priyati
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Pagi masih terasa sunyi, angin semilir menembus kulit ini. Rasa –
rasanya baru senin aku tiba di kebumen, tanah kelahiranku ini. Hari sudah
minggu, habis sudah waktu liburku. Mau tak mau, aku harus pergi lagi. Jogja, kota
yang aku tuju untuk bertahan meraih mimpi – mimpi yang masih saja menjadi sebuah harapan masa depan. Tapi tunggu dulu,
aku ingin penuhi titah nenekku. Kemaren ia menemuiku, ia meminta aku bersamanya
ke gubugmu, kakek tercintaku. Kau yang aku rindu.
Sekarang aku
menghampirinya, dan beberapa jam menjelang kepergianku kita berjalan
bersama. Pagi ini, orang – orang pergi berbondong – bonding ke ladang mereka
dan sebagian yang lain ke tepi sungai, tradisi di desa sejak kau masih ada. Aku
masih ingat benar, betapa kau gagah dengan cangkul yang kau pegang. Adakah
sekarang kau masih segagah dulu di gubugmu ? tunggu kami disitu, aku dan dia
akan menjengukmu.
Dia masih lincah berjalan disampingku. Punggungnya yang bungkuk
membuat ia tak lagi setinggi dulu. Kau ingat, saat ia membantumu tertatih
berjalan agar kakimu tak membesar. Ia yang selalu disampingmu saat kau merintih
tak mau ditinggal. Dimalam hari ia seringkali berjaga, mengipas tubuhmu dengan
cover bukuku.
Ah, betapa disayangkan kau pernah melukai hatinya. Kau yang telah
membiarkan air matanya jatuh hingga menetes ke dadanya. Dadanya yang sesak
menyimpan kecewa. Ia memang tak lagi secantik masa gadisnya, tapi cintanya
tetap utuh tak sedikitpun luntur bersama runtuhan air matanya. Andai kata dulu
kau tak jadi mempoligaminya, mungkin ia masih terlihat lebih muda, mungkin ia
masih ceria seperti dulu kala.
Sebelum penyakit itu menghampirimu, kau seakan melupakan dia.
Berbulan – bulan ia kau tinggalkan, kau bersenang – senang dengan istri mudamu.
Lantas dengan istri keduamu itu, kau punya anak satu. Anak laki – laki malang
itu, yang kau tinggal saat ia mulai pandai menyusu pada sang ibu, istri
keduamu.
Sebulan sebelum kepergianmu, kau kembali bersama dia yang semakin
tua saja. Ada banyak yang berubah denganmu saat itu, kau yang kurus kering, kau
yang tak lagi punya daging. Kau menderita penyakit kompleks. Entah apa namanya,
dokter sekali menyebutnya didepanku dan setelah itu aku lupa.
Aku juga masih ingat benar. Tepat pukul Sembilan malam. Matamu
benar – benar terpejam. Kau menghembuskan napas terakhirmu yang keluar dari
hidungmu perlahan. Aku melihat dia begitu tegar, dia tak menangisimu. Dia ada
disampingmu dan selalu. Sedang kau tahu, dimana istri mudamu ? bukankah dia tak
pernah berkesempatan ada saat kau membutuhkannya ?
“ Rumputnya dicabuti yang bersih, nanti baru bunganya disebar
dekat nisan “. Suaranya mengagetkanku. Dia begitu bersemangat membersihkan
gubug tuamu. Dan istri mudamu, bukankah ia tak pernah menjengukmu.
Aku benar sangat salu dengan esetiaan cintanya padamu. Tak peduli,
meski pernah kau khianati. Aku berharap bias memperistri wanita seperti dia,
tapi bukan untuk dipoligami. Aku bersumpah dalam hati, aku hanya akan punya
satu istri. Jikapun dia lebih dulu mati, aku akan menemuinya di alam baka
nanti.
Aku mulai menebar bunga dekat nisanmu, moga kau wangi selalu. Aku
melihat dia membacakan doa untukmu. Matanya kini mulai berkaca – kaca, mungkin
hatinya terasa pilu menahan rindu. Aku saksi cintanya yang abadi, cintanya yang
tetap hidup meski kau telah mati. Tak peduli, hatinya pernah remuk redam oleh
duka nestapa yang kau beri.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji