Nunuk Priyati
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Istimewa |
Kota ini memanglah selalu rame, bahkan meski rintik hujan mulai membesar.
Angkringan – angkringan di pinggir jalan mulai sesak oleh pria dan perempuan.
Sudah pasti mereka berpasangan. Aku semakin erat memegang pinggang pria
didepanku, meniru gaya sepasang kekasih yang juga berboncengan di samping kanan
– kiriku. Motorku melesat lebih cepat, aku tahu jalan yang aku lewati mengarah
ke Malioboro.
Kami memasuki warung kecil bertulisan cv didepannya. Tempat yang nyaman untuk
kencan. Begitu sepi dengan nuansa yang romantis. Aku tak melihat pengunjung
yang lain. Berarti hanya ada kita berdua, aku dan dia. Dia memesan sesuatu,
lantas duduk didepanku. Malam ini ia begitu wangi, bahkan jaket yang ia kenakan
untukku dijalan tadi.
“Kau mau makan apa?,“ Ia menawariku. Tawaran yang terdengar aneh, bukankah ia
telah memesan sesuatu. Ia menyodorkan sebuah buku menu padaku. Aku hanya
terdiam sesaat, kembali menyodorkan buku menu padanya. Tatapan mata kita
bertemu, nadiku berdenyut lebih merdu. Aku tersenyum.
“Aku sudah makan, kau saja yang pesan,” aku menelan ludah. Banyak hal yang ada
di otakku malam ini. Tentangaku dan dia, tentang hubungan kita.
Dua menit berlalu, dia hanya memandangiku. Aku tak lagi merasa risih dengan
itu. Semejak ia membacakan sebait puisi untukku dan menutupnya dengan ciuman
manis di punggung tanganku. Lantas, setiap kita bertemu dia mengusap kepalaku
lembut, entah dengan cinta atau nafsu. Tak jarang, ia melingkarkan kedua
tangannya ke pinggangku dari belakang. Seakan spontan dan aku malas untuk
melarang. Dengan itu, aku menjadi biasa, terbiasa dengan sentuhan pria, apalagi
sekadar tatapannya.
Seorang pelayan datang dengan cekatan, meletakkan pesanan di atas meja. Malam
ini menjadi sejarah baru untukku. Aku bersulang secangkir kopi dengannya,
minuman nikmat yang hanya kurasakan satu tenggak. Lagi–lagi dengan alasan
kafein itu. Ini pertama aku jalan malam hari dengannya dan kuharap ia akan
mengatakannya malam ini juga.
Ia duduk disampingku kini, menghabiskan sisa secangkir kopi milikku.
Menghabiskan ampasnnya pula seketika itu. Sebatang rokok ia keluarkan dari
sakunya, asapnya mengepul begitu saja mengenai wajahku. Aku tak dapat menahan
batukku, itu bawaan sejak dulu. Disetiap kali aku menghirup asap rokok sialan
itu.
“Kau masih saja menyebalkan. Aku tak tahu apa yang bisa membuatmu lupa dengan
batangan rokok dan cangkir–cangkir kopi itu. Mungkin saja wanita, wanita yang
akan membuatmu lupa dengan mereka. Kau tahu, seminggu setelah kita tak bertemu,
malam ini kau terlihat semakin tua saja. Kau sudah seharusnya dan sepantasnya
menjadi bapak anak–anak,“ aku sedang berusaha membuka pembicaraan tentang
hubungan kita. Aku sudah muak bertahun – tahun menjadi objek dalam ceritanya.
Aku benar ingin dimilikinya, seutuhnya. Tak hanya dalam ceritanya, yang bagiku
tetaplah saja fiksi dan maya untuk kita
“Setua
apapun, aku tetap tampan. Wajahku menyenangkan. Dan kau terpesona bukan?“
tatapannya amat indah. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Senyum yang entah
tersimpul seperti apa malam itu. Aku tahu ia takkan mengatakannya, itu yang
akan menjadikannya bujang tua. Dan aku, tak mau jadi perawan tua.
“Bulan
depan umurku menginjak tiga puluh,“ aku menghela napas kala mengatakan itu.
“Oh, ya.
Aku takkan lupa, aku punya hadiah istimewa untukmu“. Entalah, Kado macam apa
lagi yang akan ia hadiahkan untukku. Apa itu puisi cinta? puisi yang akan usang
ditelan waktu. Seusang cinta ini nanti, jika ia masih begini.
Tiga tahun yang lalu,
tepat saat umurku hampir dua puluh tujuh, aku tergila – gila dengan karya
sastra. Aku tergila – gila padanya. Aku suka puisi – puisinya, jatuh cinta pada
cerita – cerita pendeknya. Semua membuat dia begitu nampak sempurna. Dan aku
tahu, aku tak hanya kagum padanya, tapi juga jatuh cinta. Kisah yang amat
romantis biasa ia cipta. Itu dalam tulisannya, tak di dunia nyata. Apalagi untuk
itu, bahkan mengungkapkan cintapun ia tak mampu. Dan malam ini, aku merasa
karya sastra menjadi petaka. Karya sastra menjadikan ia berbeda, tak seperti
pria pada umumnya.
Tiga jam waktu telah
berlalu, dia belum juga mengatakannya. Atau boleh jadi ia tak pernah berniat
untuk itu, bahkan mungkin ia tak memiliki rasa itu. Sekarang kita tak lagi di
cv itu, kita telah sampai di depan kosku. Dia mencium tangan kananku. Ciuman
menawan, ciuman terakhir yang ia berikan. Malam ini aku telah memutuskan.
Keputusan yang kukira terbaik untukku dan entah untuk dia. Yang jelas aku tak
mau jadi perawan tua.
***
Musim hujan di jogja bagai
musim es untukku. Suhu dingin yang menyiksa batin. Entah kapan penyakit itu
akan berakhir. Bahkan suamiku seorang dokter kulitpun belum dapat mengatasi.
Benar kata asisten apoteker temanku dulu, alergi sulit disembuhkan. Bahkan obat
–obat itu, semakin hari semakin tak mempan. Aku merasa tubuhku mulai tak
karuan, begitu panas, gatal dan menyesakkan.
Malam
ini pertama kali aku bersulang secangkir kopi dengan suamiku di cv itu. Bukan
dengan dia, tapi pria yang lebih jantan darinya. Sedang dia tak datang dihari
pernikahanku, pernikahan yang berlangsung satu minggu sebelum hari ulang
tahunku. Aku tak tahu, mengapa ia melakukan itu. Bahkan yang aku tahu, ia belum
pula meminang seorang wanita, padahal umurnya sudah menginjak tiga puluh lima.
Aku juga tak pernah tahu, jika sejatinya ia akan melamar dihari ulang tahunku.
Tak juga tahu, jika aku masih menjadi objek cerita cinta dalam novelnya yang
mengharu biru. Cinta yang usang itu.
Jogjakarta, 16 Januari 2014 : 05. 01
NB : Cerpen ini telah diposting dif
ace book penulis (Nunuk Priyati)
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji