Nurul Istiyani
Fakultas Psikologi
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Foto : Elisa |
Budaya tradisional masih berpandangan
pada peran gender yang stereotip. Hampir
semua orang tua selalu membiasakan anak-anaknya untuk berperan dan memilih
segala sesuatu yang sesuai dengan peran gender. Kebiasaan orang tua ini karena
adanya budaya sekitar yang sudah ada sejak dulu dan menjadi suatu kebiasaan
yang wajar. Apabila ada tingkah laku anak yang berperan tidak sesuai dengan
peran gendernya maka akan menimbulkan berbagai respon dari orang sekitar.
Respon tersebut dapat berupa reward
maupun punishment. Contohnya apabila ada seorang anak perempuan yang main
panjat pohon maka akan dimarahi oleh orang tuanya (punishment karena tidak
sesuai dengan peran gendernya). Namun, berbeda dengan kegiatan pramuka yang
mengajarkan bagi semua anak laki-laki maupun perempuan wajib berlatih memasak
dan mendirikan tenda. Bagi siswa yang berhasil baik siswa laki-laki yang bisa
memasak maupun siswa perempuan yang bisa mendirikan tenda maka akan mendapatkan
reward (nilai pramuka yang baik). Kebanyakan pandangan stereotip peran gender
masih memunculkan pandangan yang negative. Kegiatan pramuka saja masih jarang
digalakkan terutama untuk pendidikan SD. Padahal kegiatan pramuka ini merupakan
salah satu wadah untuk mengembangkan kreativitas anak tanpa memperhatikan peran
gender mereka.
Perspektif stereotip
gender masih menjadi momok bagi masyarakat Indonesia terutama masyarakat
tradisional. Banyak masyarakat tradisional apabila warganya tidak berperan
sesuai gendernya maka sering mendapatkan celaan (punishment) dari masyarakat
sekitar. Misalnya anak laki-laki yang bercita-cita sebagai penata rambut
(salon) sering tidak ditentang oleh orang tuanya. Kebanyakan orang tua mereka
menginginkan anak laki-lakinya bercita-cita sebagai tentara, pilot, pemadam
kebakaran dst. Orang tua tersebut berpandangan bahwa karir penata rambut tersebut
karir feminim yang lebih cocok untuk anak perempuan daripada anak laki-laki.
Begitu pula dengan anak perempuan yang bercita-cita sebagai mekanik , orang tua
mereka akan menentangnya. Orang tua tersebut akan memilihkan karir yang
bersifat feminim seperti penata busana, penari, perawat karena karir ini dirasa
lebih sesuai dengan peran gender anak perempuan yang feminim.
Karir yang stereotip
gender apabila dibudayakan terus menerus akan menghambat kreativitas anak. Anak
menjadi tidak mengenal hal-hal yang berlawanan dengan peran gendernya. Oleh
sebab itu, pilihan anak menjadi stereotip gender. contohnya anak perempuan yang
sejak kecil dikenalkan dengan mainan boneka-bonekaan. Anak tersebut menjadi
tertarik dengan permainan boneka seperti merawat boneka. Dari permaina tersebut
anak akan terinsipirasi untuk bercita-cita sebagai perawat. Begitu pula dengan
anak laki-laki yang sejak kecil diperkenalkan dengan permainan seperti
perang-perangan. Permainan perang-perangan tersebut dapat menginspirasi anak
tersebut bercita-cita menjadi tentara.
Perlakuan peran gender
juga terjadi dilingkungan sekolah. Contohnya di kelas ada guru sedang
mengajukan pertanyaan tentang hitung-hitungan dan salah satu anak perempuan
bisa menjawabnya dengan benar. Maka hal tersebut dianggap oleh gurunya hanya
kebetulan saja. Berbeda apabila yang dapat menjawab pertanyaan hitungan
tersebut adalah anak laki-laki maka anak laki-laki tersebut dianggap kompeten
dalam bidang hitungan. Dari contoh tersebut dapat memberikan gambaran bahwa
pandangan orang dewasa sekitar yang masih stereotip gender. Pelajaran hitungan
dianggap sebagai pelajaran maskulin sehingga anak laki-laki yang bisa hitungan
dianggap berbakat. Dari uraian diatas maka dapat diambil intisari bahwa
sebaiknya anak sejak kecil diperkenalkan dengan tugas mereka sesuai peran
gender serta serta tugas-tugas yang berlawanan dengan peran gendernya. Hal ini
dimaksudkan agar pandangan,minat anak tidak terpaku pada peran gendernya saja
dan kedepannya anak dapat bersaing dengan maksimal.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji