Oleh : Nunuk Priyati
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi
45 Yogyakarta
Kategori : Cerita Mini
Aku
selalu menemukanmu dalam keadaan gembira. Matamu yang selalu berbinar – binar
tiap kali kita jumpa. Bibirmu tersimpul membentuk senyum. Kamu yang senang
bercerita tentang banyak hal, tak peduli meski terkadang aku lebih sering tak
paham. Kamu satu alasan aku bernapas lebih panjang. Mimpi masa tuaku kamu bawa
melambung terbang. Kamu yang kini menjadi satu – satunya harapan. Kamu yang
sengaja tak sengaja telah kujadikan tabungan pensiunan. Sebab aku hanyalah
buruh petani dengan honor sekadar cukup tiga kali makan.
Sekarang kamu duduk disampingku,
membiarkan aku mengusap dahi. Kini, wajahmu tak semenyenangkan tadi. Kamu
sedang kecewa, aku masih belum berubah. Kemiskinan masih melanda kita. Tak
hanya kamu, adekmu juga mengalami nasib yang sama. Kalian disekolahkan, bukan
olehku. Tapi dia, yang hoby membagi harta pada para duafa.
“
Apa kau tak pernah ingin menyekolahkan anak – anakmu, mengapa si bungsu juga
kau titipkan di panti asuhan dulu aku pernah tinggal ? “. Matamu menatapku
tajam. Pertanyaanmu lebih pantas disebut sebagai hujatan. Kamu lama terdiam,
menunggu beberapa kata yang mungkin akan keluar dari bibirku yang terkatup.
“ Orang tua mana yang tak ingin memenuhi kebutuhan anaknya. Tapi keadaan, kenyataan dan takdir telah membuat aku tak kuasa melakukan yang terbaik untuk kalian”, kata – kataku mengambang. Mungkin tak jelas untuk kau dengar. Aku malu padamu, kamu yang tak pernah patah semangat untuk dikatakan mampu.
Aku tahu, tak ada kamus dalam
hidupmu kata “ tak bisa “. Yang kamu tahu, pasti ada jalan jika niat dan usaha.
Bagimu, aku hanyalah ibu yang tak berfungsi sepenuhnya. Memiliki ibu seorang
wanita sepertiku bagai tertimpa sebuah mala petaka. Aku yang masih tenggelam
dalam masa laluku. Tentang dia, pria yang telah meninggalkan kita.
***
Hari ini aku benar – benar muak
denganmu. Kau terlalu egois. Kau tak
pernah mempedulikan perasaanku. Kau memang tak pernah bisa paham, apa yang
telah aku lakukan untuk merubah keadaan. Aku relakan masa remajaku, harga
diriku sampai – sampai aku pantas dikatakan tak tahu malu. Kesana – kemari banting tulang untuk
mempertahankan sekolahku. Dan semua itu untuk kita, agar aku bisa memberimu
kehidupan yang pantas disebut layak dimasa tua. Agar sibungsu bisa sekolah
dimanapun ia mau, jenjang setinggi apapun dia ingin.
Kisah cinta. Ah, aku rasa kamu
terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin kamu sakit berkepanjangan karena dia. Dia
yang entah ada dimana, yang bisa jadi sudah mati. Dia yang lebih memilih wanita
itu dibanding kita bertiga, (kau, aku dan sibungsu). Harusnya kamu sadar,
sakitmu itu pembawa sial. Sakitmu yang membuatmu lupa makan. Tak hanya itu, kau
juga lupa aku dan sibungsu. Kau tak pernah lagi memikirkan kita, bahkan sekadar
untuk menanyakan kabar.
Kau tak pernah tahu,
bagaimana aku tak pernah menjalin cinta sebagaimana remaja lainnya. Diam – diam
aku sedikit membenci seluruh pria. Semua itu karena dia, laki – laki yang
membuat kita terpecah belah. Tapi tidak jika aku memutuskan untuk sendiri. Aku
hanya sedang memantapkan hati, siapa yang benar dan layak aku cintai. Seorang
yang rela menghabiskan napasnya untukku dan disampingku.
***
Bagaimanapun keadaanmu, kamu tetap
berusaha gembira didepanku. Meskipun matamu tak lagi berbinar – binar. Senyummu
tak lagi bisa menyembunyikan bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya. Aku tahu,
kamu tak bahagia. Aku, seorang ibu yang telah gagal menyayangi anak – anaknya.
Dan malam ini aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Yang dengan itu, mungkin
Tuhan akan menghapus dosaku. Dan mungkin juga, kamu akan memahamiku.
“ Maafkan bunda, nak “. Ingin sekali
aku membisikan itu ditelingamu. Tapi, aku tak sampai hati mengganggumu yang
kini tertidur lelap. Aku janji, esok
sebelum kamu pergi akan aku bisikan itu ditelingamu. Aku akan mencium keningmu,
semasih kita belum dipisahkan oleh jarak kota yang senantiasa kau tuju. Kota
dimana kau selalu gigih untuk merubah keadaan kita. Dimana kau melambungkan
mimpi masa tuaku terbang. Dan aku selalu percaya, esok lusa ada masanya kita
akan bersama. Kita akan jadi satu keluarga utuh yang bahagia, (aku, kamu dan
sibungsu). Ya, aku yakin Tuhan telah mengatur waktunya. Kapan dan dimana
tempatnya. Jika takkan pernah terjadi di dunia, maka kita harus sedikit
bersabar. Bisa jadi, surga satu – satunya tempat yang membahagiakan untuk kita.
Nb
: Tulisan ini sudah saya posting di facebook (Nunuk Priyati)
2 Comments
Mbak Nunuk, jujur saya bingung membaca cerpen itu. Itu percakapan antara ibu dan anak kan? Mengapa anak memanggil ibunya dengan 'kau'? Itu ada pada kalimat "Apa kau tak pernah ingin menyekolahkan anak – anakmu, mengapa si bungsu juga kau bla bla bla". Secara keseluruhan sih oke, meskipun ada beberapa salah tulis seperti 'ditelingamu" harusnya 'di telingamu'. Ok, selamat ya, terus berkarya. Oh ya, saya Polar Bear, alias Pak Bei, tinggal di Wonosobo.
ReplyDeleteTerimakasih atas masukannya pak bei. Jujur saja saya baru belajar menulis dan masih buta ilmu EYD. Salam kenal dari jogjakarta.
ReplyDeleteTidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji