HARDIKNAS & PENDIDIKAN KARAKTER BAGI GURU SERTA MURID
Arundati
Shinta
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Ibu Sri adalah
seorang guru SD Negeri di Yogyakarta Selatan. Diantara semua kerabat, hanya
dialah yang berprofesi guru. Dalam keluarga kami, dia mendapat nama baru yaitu
Bu Sri Guru. Julukan itu masih tetap melekat pada dia, meskipun ia sudah
pensiun. Julukan Guru juga ditempelkan pada namanya karena sangat banyak keluarga
kami yang bernama Sri. Jadi nama Sri Guru berfungsi untuk mengingatkan tentang
profesinya dan juga untuk membedakan dengan orang lain yang namanya sama.
Bu Sri Guru ini
sering datang pada saya, dan isinya adalah hampir selalu seragam yaitu keluhan.
Dua minggu yang lalu, keluhannya adalah jumlah uang pensiun yang tidak memadai
padahal harga-harga naik terus. Minggu kemarin keluhannya adalah murid-muridnya
yang bandel dan menolak untuk mengerjakan PR. Diramalkan, keluhan-keluhan
berikutnya akan meneror saya dan saya akan kebingungan dalam menenangkannya
karena situasi pendidikan di Indonesia memang memprihatinkan. Persoalan
pendidikan yang paling sering muncul adalah nasib guru yang terlantar dan
perilaku murid-murid yang menyedihkan yaitu senang tawuran dan tidak tahu sopan
santun.
Sebetulnya,
pendidikan adalah tanggung jawab bersama yaitu orangtua, guru, masyarakat dan
juga pemerintah. Tanggung jawab yang sifatnya bersama-sama ini sering kali
membuat masing-masing pihak justru lempar tanggung jawab. Pemerintah merasa
sudah memperhatikan nasib guru, terbukti dengan adanya tunjangan sertifikasi
dan berbagai pelatihan untuk memperbaiki nasib guru. Pada sisi guru,
sebaliknya, justru mereka merasa dibebani tanggung jawab administrasi yang
tidak kunjung selesai. Belum lagi guru diharuskan mengajar seminggu 24 jam,
menghadiri rapat, dan berbagai kesibukan administratif lainnya. Dampaknya,
murid-murid akan terlantar dan mengalami banyak waktu kosong. Waktu kosong yang
tidak produktif itu rentan membuat murid-murid untuk berperilaku melanggar
peraturan. Di sisi lain, orangtua merasa sudah melakukan kewajibannya bila
mengantar dan menjemput anak ke sekolah serta mempersiapkan kebutuhan
sekolahnya. Orangtua sering tidak mau tahu kesulitan
para guru dalam mendidik murid-muridnya. Inilah potret pendidikan di Indonesia,
yang selalu dibelit oleh persoalan klasik.
Sehubungan dengan
Hari Pendidikan Nasional yang selalu diperingati setiap 2 Mei, maka persoalan klasik
tentang pendidikan ini selalu mengemuka. Berbagai artikel tentang pendidikan
akan muncul pada media massa. Situasi semacam ini hendaknya mampu mendorong
semua pihak untuk lebih peduli pada pendidikan generasi muda. Para orangtua,
tidak cukup hanya mengantarkan, menjemput anak serta menyiapkan segala
keperluan sekolah anaknya. Orangtua juga perlu berinteraski lebih intensif
dengan guru, sehingga orangtua menjadi lebih memahami persoalan guru. Pihak
guru juga tidak perlu sering mengeluh, karena semua orang di Indonesia ini juga
mengalami nasib yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu perlu gotong royong
yang kuat anatara guru dan orangtua demi menyelamatkan pendidikan anak-anak.
Gotong royong yang
kuat antara guru dan orangtua akan memebri rasa aman pada anak. Karakter anak
akan menjadi lebih terjaga dengan baik. Dampaknya pendidikan karakter serta
pendidikan kognisi bagi anak menjadi lebih mudah diimplementasikan. Diharapkan
berbagai keluhan yang dialami oleh bu Sri Guru tersebut di atas menjadi semakin
berkurang.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji