PRAMUKA DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Arundati
Shinta
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Pramuka atau Praja
Muda Karana, adalah gerakan kepanduan di Indonesia. Pramuka
sering menjadi bagian pendidikan ekstrakurikuler bagi murid-murid SD-SMA. Bahkan
pada univesitas tertentu, Pramuka menjadi salah satu UKM (Unit Kegiatan
Mahasiswa). Pramuka juga sering menjadi media untuk pendidikan karakter. Kini,
seiring dengan pendidikan karakter yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo,
maka Pramuka menjadi naik daun. Pada masa lampau memang pendidikan Pramuka
menjadi semacam anak tiri, karena kurang diperhatikan. Sekolah lebih
memprioritaskan pendidikan kognitif (kurikuler), daripada pendidikan
ekstrakurikuler.
Persoalan yang relevan dengan gerakan Pramuka adalah sekolah
masih kesulitan dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut pada sore hari. Kendalanya
antara lain waktu guru sudah habis untuk mengajar dan mengejar target mengajar
24 jam setiap minggunya. Mengajar untuk kegiatan Pramuka, tidak dianggap
sebagai kegiatan mengajar, sehingga guru cenderung menolaknya. Di sisi lain,
pihak sekolah juga cenderung enggan menyelenggarakan kegiatan Pramuka karena
terkendala tidak tersedianya honor mengajar. Bila guru dari sekolah itu tidak
ada yang bersedia mengajar, maka sekolah harus mengambil tenaga dari luar
sekolah. Tenaga luar sekolah tidak ada yang bersedia mengajar Pramuka dengan
gratis begitu saja. Apalagi kegiatan Pramuka itu membutuhkan guru dengan
ketrampilan tertentu, misalnya mendaki gunung, panjat tebing, dan sebagainya.
Dampak dari ketiadaan kegiatan Pramuka di sekolah, menyebabkan
anak kurang mengenal dengan kegiatan luar ruang (outdoor activity). Anak menjadi semakin terbiasa dengan kegiatan
dalam rumah (indoor activity). Padahal
kegiatan luar ruang sangat berguna untuk melatih fisik agar lebih kuat, dan
melatih ketrampilan bersosialisasi. Selain itu, banyak ketrampilan luar ruangan
yang ternyata penting untuk kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah memanjat
pohon. Kegiatan memanjat pohon penting ketika kita pada suatu waktu harus memanjat
langit-langit rumah untuk membersihkan kotoran. Kita menjadi tidak takut pada
ketinggian (Jawa: singunen).
Ketika sekolah sudah mampu mengadakan kegiatan Pramuka secara
aktif, ternyata orangtua justru memporak-porandakan tujuan mulia Pramuka. Hal ini
biasa terjadi ketika anak-anak mengikuti salah satu kegiatan Pramuka yaitu kemping.
Dalam kemping tersebut, semua anak
diajarkan tentang cara-cara menanak nasi, memasak, menata barang-barang agar
rapi, dan mendirikan tenda. Oleh karena kemping sengaja diadakan di daerah yang
tidak nyaman, maka proses memasak menjadi sulit dilakukan. Kalau pun memasak,
maka nasi yang ditanak biasanya tidak matang. Barang-barang yang dibawa pun cenderung
tidak diatur dengan baik. Anak-anak terbiasa dialayani oleh orangtuanya di
rumah.
Persoalan bertambah
rumit, ketika orangtua diijinkan untuk menengok anaknya yang sedang kemping di suatu
Bumi Perkemahan. Orangtua seolah mengetahui ‘penderitaan’ anaknya, sehingga
mereka membawa lauk pauk yang lezat dan siap disantap. Lauk pauk itu tidak
hanya untuk anak dan groupnya saja tetapi juga untuk para guru yang berperan sebagai
kakak pembina. Hilanglah kesempatan untuk menyantap nasi setengah matang, mi
yang terlalu banyak kuahnya, dan tempe gosong. Padahal kesempatan menyantap
makanan-makanan ‘aneh’ itu adalah pengalaman luar biasa. Anak-anak menjadi
tidak terbiasa mengalami hal-hal aneh dan tidak belajar untuk menghargai jerih
payah dalam menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga (household chorus). Anak
perempuan dan laki-laki menjadi tidak terampil dalam menyelesaikan tugas-tugas
rumah tangga, dan mereka bisanya hanya menggantungkan diri pada orangtua saja. Pendidikan
karakter yang hendak ditanamkan pada generasi muda menjadi hilang.
Siapa yang salah dalam hal ini? Marilah kita tidak
menyalahkan berbagai pihak. Keengganan kita terhadap kegiatan Pramuka adalah
konsekuensi dari zaman yang mengagungkan hal-hal instan. Marilah kita waspada
bahwa anak-anak kita semua sedang mengalami hal-hal yang mengancam kemampuan
mereka dalam mengatasi persoalan sehari-hari yang dianggap remeh temeh. Kita semua
harus berbenah diri, mulai sekarang. Pendidikan karakter tidak hanya untuk
anak-anak generasi emas saja, tetapi juga untuk para orangtua, guru, dan
anggota masyarakat lainnya.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji