DOSEN DAN
MAHASISWA PSIKOLOGI UP45 BERKARYA DI RRI
(SIARAN MINGU
KE-187)
Fx. Wahyu Widiantoro
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Ketekunan sangatlah dibutuhkan ketika individu
berupaya untuk mencapai suatu tujuan.
Individu yang memiliki ketekunan akan mampu menunjukan
kinerja yang baik sehingga memperbesar kemungkinan tercapainya produktivitas
sumber daya manusia yang tinggi pula.
Ketekunan sebagai keterampilan psikologis serta
mental bukanlah sesuatu yang dimiliki seseorang begitu saja, melainkan sesuatu
yang dapat dikembangkan dalam diri individu. Upaya melatih ketekunan dapat
dilakukan melalui kegiatan olahraga.
Olahraga menurut Poerwadarminta, (1995) yaitu, “latihan
gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan badan seperti sepak bola,
berenang, lempar lembing dsb”. Olahraga merupakan media yang sesuai untuk
melakukan aktivitas gerak. Kondisi pada masyarakat menunjukkan bahwa olahraga
memang digemari oleh semua kalangan. Terlebih di kota-kota besar, saat ini
bermunculan sarana dan prasarana yang representatif.
Aktivitas olahraga melibatkan kegiatan fisik
serta psikologis. Setiap olahraga mempunyai berbagai teknik dasar. Teknik dasar
setiap olahraga berbeda sesuai dengan jenis olahraga tersebut. Agar dapat
melakukan gerakan yang sesuai maka individu harus melakukan gerakan secara
berulang-ulang atau berlatih. Proses
berlatih yang dilakukan individu secara sadar maupun tidak sadar telah
mengembangkan kekuatan otot, daya tahan serta ketekunan.
Goleman (1997), dalam menjelaskan kecerdasan
emosi yang ada pada seseorang mencakup adanya ketekunan, pengendalian diri,
semangat, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Ketekunan (hardiness) didefinisikan sebagai keadaan
diri yang membuat individu memiliki ketahanan atau daya tahan (Hardjana, 1994,
h.73).
Individu yang ingin meraih suatu prestasi yang
tinggi dalam sebuah cabang olahraga
tentunya harus melalui perjuangan. Perjuangan
dalam arti melawan waktu, jarak dan ketinggian. Seperti lari semakin cepat,
lempar semakin jauh dan lompat semakin tinggi. Demikian perjuangan untuk dapat
mencapai tujuan kemenangan dalam pertandingan dengan memperhatikan dan mentaati
peraturan-peraturan yang ada maka dibutuhkan suatu ketekunan.
Ketekunan diartikan sebagai kekerasan tekat dan
kesungguhan hati (Poerwadarminta, 1982:1035).
Adisasmito (2007), menjelaskan bahwa faktor
psikologis memiliki peranan yang penting pada pencapaian prestasi yang tinggi,
80% faktor kemenangan atlet profesional ditentukan oleh faktor psikologis. Ciri-ciri
atlet bermotivasi tinggi antara lain yaitu, tekun dalam mengerjakan tugas yang
diberikan, tidak mudah menyerah dan cenderung untuk terus mencoba menyelesaikan
tugas yang diberikan.
Aktivitas olahraga merupakan kegiatan fisik yang
dilakukan individu untuk membentuk kesehatan fisik, mental dan spiritual.
Kesehatan fisik mencakup kebugaran jasmani, petumbuhan fisik. Kesehatan mental
serta moral yang terbentuk dari aktivitas olahraga berupa sikap sportif, jujur,
disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri. Ketekunan dipengaruhi
oleh kemampuan individu untuk mengontrol pikiran, perilaku, dan emosi ketika
melakukan aktivitas olahraga.
Tulisan ini adalah materi siaran di RRI, hasil
kerjasama antara RRI dan Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45. Siaran
kali ini berlangsung pada 8 Februari 2017, dan sudah memasuki minggu ke-187.
Ini adalah prestasi ketekunan yang luar biasa, karena dosen psikologi hampir
tidak pernah libur dalam melakukan siaran. Nama acaranya adalah Forum Dialog.
Punggawa kali ini adalah Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi., MA, dosen paling top di
Psikologi UP45. Pak Wahyu ditemani oleh Tri Meiwulandari, seorang mahasiswa Psikologi
UP45 yang sangat aktif dalam berbagai kegiatan di kampus. Semoga kerjasama yang
baik ini terus berlangsung, karena sangat membantu mahasiswa, dosen, kampus,
dan masyarakat secara keseluruhan.
Referensi:
Adisasmito, L S. (2007). Mental
juara: Modal atlet berprestasi.Jakarta. Rajagrafindo Persada.
Goleman, D. (1997). Emotional
intelligence. (Alih Bahasa: Termaya T). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hardjana, M. (1994). Stres tanpa distres. Edisi ke-5. Yogyakarta: Kanisius.
Poerwadarminta, W.J.S. (1995). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Suggested citation:
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji