USAHA
MENTERJEMAHKAN VISI PRODI SERTA KEGIATAN
PUBLIKASI
DOSEN PADA TINGKAT NASIONAL
Arundati
Shinta
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Latar
belakang tulisan ini ada tiga. Pertama, organisasi pada era internet ini kunci
hidupnya adalah terus berinovasi. Bila pimpinan organisasi enggan / menolak berinovasi
maka masa hidup organisasinya tinggal menghitung hari saja. Mengapa pimpinan
menolak untuk berinovasi? Keengganan utama untuk berinovasi adalah mengubah
diri. Mengubah diri berarti meninggalkan zona nyaman. Bila zona nyaman
ditinggalkan maka hal-hal buruk yang dipersepsikan akan datang adalah:
kekuasaannya akan hilang, penghasilan akan berkurang, sembah sungkem dari
lingkungan akan hilang, dan serangkaian post power syndrom akan menyerang. Pemimpin
seperti itu julukannya adalah pemimpin kolot, konservatif, atau jadul.
Apa
dampak kehadiran pemimpin kolot bagi para karyawan? Tentu saja bagi karyawan
yang serupa sebangun dengan pimpinan itu (sama-sama kolot), maka keberadaan
pimpinan kolot akan membuat kehidupan semakin sentosa. Karyawan merasa aman dan
tidak terusik. Proyek-proyeknya akan dijalankan seperti biasa. Perkara organisasi
mati itu adalah urusan pimpinan bukan urusan karyawan.
Bagi
karyawan kreatif, keberadaan pimpinan kolot adalah siksaan. Apakh ada cara
mengatasinya? Cara paling sederhana yang bisa dilakukan adalah ia harus bisa
menerima pimpinan jadul itu apa adanya. Tidak ada keinginan untuk mengubahnya. Setelah
ada penerimaan diri, maka muncullah ide-ide untuk memberdayakan diri. Karyawan kreatif
justru berterima kasih dengan kehadiran pimpinan kolot pada suatu organisasi,
karena hal itu merupakan energi untuk mengubah diri dan berkreativitas. Karyawan
kreatif akan semakin berdaya dan semakin maju. Ketika organisasi akan mati,
maka karyawan kreatif itu sudah mempunyai berbagai persiapan untuk
meninggalkannya dan mencari organisasi baru lainnya. Memang tebusannya tidak
mudah, yaitu kreativitas harus dibayar dengan sedikitnya waktu istirahat dan
mahalnya ivestasi pendidikan. Pihak ayng paling rugi adalah pimpinan kolot itu.
Organisasi mati, maka ia tidak akan laku di mana pun juga.
Latar
belakang kedua dari tulisan ini adalah adanya kebutuhan untuk menterjemahkan
visi prodi Psikologi UP45. Kata kunci dari visi prodi Psikologi adalah iptek, sumber
daya manusia, energi, dan eksponen angkatan 45. Tulisan ini tertuju
pada kata-kata sumber daya manusia. Tidak sedikit lulusan Prodi Psikologi UP45 yang
menjadi karyawan pada organisasi besar. Semakin bear organisasi maka semakin
pimpinannya menjadi kolot dan menolak untuk inovasi. Tulisan ini diharapkan
bisa membantu dan menyiapkan mahasiswa agar kelak bila berkarya pada organisasi
besar, maka mereka akan terus berinovasi.
Latar
belakang ketiga dari tulisan ini adalah adanya kebutuhan untuk publikasi di
kalangan dosen pada level nasional. Partisipasi dosen dalam seminar nasional
adalah bukti bahwa dosen mengikuti kata-kata bijak publish or perish yaitu mempublikasikan karya atau mati. Dosen yang
tidak pernah mempublikasikan karyanya adalah dosen yang tidak dapat dijadikan
suri tauladan bagi mahasiswanya.
Sebagai catatan, tulisan lengkap naskah ini sudah
dipresentasikan dalam ajang nasional atau call
for paper di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya,
pada 12 Desember 2015. Oleh karena presentasinya berupa poster, maka dalam
tulisan ini akan disertakan naskah lengkapnya. Semua naskah karya dosen
direncanakan akan dipublikasikan melalui majalah Kupasiana dan juga media
daring lainnya. Publikasi daring ini untuk memenuhi azas transparansi,
penyebarluasan gagasan, dan juga untuk mempermudah proses akreditasi Program
Studi Psikologi UP45 serta akreditasi institusi.
Memimpin Pemimpin yang Kolot: Peluang Bagi
Karyawan Kreatif Untuk Maju
Arundati Shinta, Eny
Rohyati, Dewi Handayani & Wahyu Widiantoro
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
arundatishinta@yahoo.com
Abstrak
Bekerja pada
organisasi dengan pemimpin kolot tentu bukan impian para karyawan. Kolot adalah
segala keputusan berdasarkan peraturan-peraturan yang ada serta dijalankan
dengan kaku. Upaya-upaya karyawan yang berbeda dengan peraturan akan ditolak. Persoalan
yang relevan dengan pemimpin kolot adalah karyawan hanya bisa menerima apa saja
keputusan pemimpin. Karyawan takut mengembangkan diri, karena takut dituduh
melanggar peraturan. Karyawan yang tidak sabar akan memilih keluar. Jumlah
karyawan dengan predikat biasa dan tidak sabar ini sangat banyak. Sebaliknya,
karyawan kreatif jumlahnya sangat sedikit. Karyawan yang kreatif tetapi tidak
menginginkan pindah pekerjaan, cenderung melihat situasi organisasi kolot itu
sebagai peluang untuk maju. Baginya, keburukan organisasi dan pemimpin adalah
tanah subur / tantangan bagi munculnya kreativitas. Strategi yang bisa
dilakukan adalah penerapan prinsip great
by choice (memilih untuk berprestasi). Kunci untuk menjadi karyawan kreatif
adalah adanya persepsi positif pada situasi buruk. Persepsi positif akan
melahirkan perilaku-perilaku positif. Persepsi positif ini diperoleh dari
interaksi sosial yang intensif dengan lingkungan kreatif dan adanya kesadaran
diri. Tulisan ini berguna bagi masyarakat karena kreativitas sering diejek.
Padahal kreativitas dan perubahan adalah kunci utama untuk kemajuan dan
memperpanjang usia organisasi.
Kata-kata kunci:
pemimpin, kolot, kreativitas, perubahan.
Pendahuluan
Kolot, konservatif,
dan kaku memang pengertiannya tidak sama persis. Kolot dan konservatif
menekankan pada pemikiran yang terlalu berkutat pada kebiasaan lama dan tradisi
yang berlaku. Pengertian kaku terutama untuk pola pikir adalah tumpul dan tidak
bisa menerima hal-hal baru (Balai Pustaka, 2001). Apabila ketiga kata sifat itu
menjadi ciri khas seorang pemimpin, maka pengertiannya adalah pemimpin yang
bergaya tradisional, menolak kreativitas, sering mempertahankan pendapat
berdasarkan pada peraturan-peraturan dan menolak perubahan. Organisasi dengan
gaya kepemimpinan kolot cenderung enggan untuk belajar dan beradaptasi dengan
hal-hal baru. Pada sisi lain, kemajuan teknologi tentu tidak bisa ditentang,
karena kemajuan dan perubahan adalah suatu keniscayaan. Organisasi harus
belajar dan beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah-ubah karena
kemajuan jaman. Bila hal itu tidak segera dilakukan maka kematian organisasi
tinggal menunggu hari saja (Bass, 2000).
Permasalahan dengan pemimpin
yang kolot adalah pada umumnya karyawan akan merasa terkekang dengan berbagai
peraturan yang terasa kuno dan ketinggalan jaman. Karyawan merasa semua
perilakunya tidak bebas, dan segala tindakannya harus sesuai dengan juklak
(petunjuk pelaksanaan). Hal ini karena salah satu ciri khas pemimpin kolot dan
kaku adalah selalu taat pada peraturan kuno dan anti pada perubahan. Padahal
pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang selalu waspada terhadap perubahan
(Bass, 2000). Ia tidak segan-segan untuk mengubah peraturan bila memang
dibutuhkan sesuai dengan tuntutan keadaan dan kemajuan teknologi.
Tujuan tulisan ini
hendak menjelaskan tentang kebiasaan-kebiasaan pemimpin kolot dalam menjalankan
organisasinya serta cara menghadapinya. Tulisan in lebih tertuju kepada para
karyawan, karena jumlahnya lebih banyak daripada jumlah pemimpin. Selain itu,
pada hakekatnya kepemimpinan adalah sebuah ilusi (Allio, 2013). Hal itu berarti
bahwa karyawan harus diberdayakan karena rasa tidak berdaya itulah yang
menyebabkan mereka merasa terperangkap dalam pekerjaan. Pemberdayaan ini demi
menjaga kesehatan mental karyawan, sehingga meskipun pemimpinnya kolot namun ia
tetap dapat berprestasi dan sekaligus umur organisasi dapat lebih panjang.
Landasan Teori
Orang yang kolot
memang kurang disuka dalam organisasi, karena dianggap tidak kreatif dan tidak
efektif, bahkan justru memperpendek umur organisasi (Baer, Oldham &
Cummings, 2003). Seseorang menjadi kolot karena faktor kepribadiannya. Bila
diukur dengan Gough’s Creative
Personality Scale atau CPS, maka karakter orang yang kolot adalah minatnya
sempit dan selalu bertumpu pada hal-hal yang konvensional / tradisional (Oldham
& Cummings, 1996). Apabila karakter kolot tersebut melekat pada seorang
pemimpin, maka umur organisasi cenderung menjadi singkat (Bass, 2000).
Sebenarnya, pemimpin
kolot itu itu bisa diatasi, asal para karyawan dapat memahami karakteristiknya.
Selain anti perubahan, karakteristik yang menonjol pemimpin kolot adalah kurang
kreatif (Agbor, 2008; Zaccaro, Kemp & Bader, 2004). Segala keputusan yang
akan diambil atau hal-hal baru / terobosan-terobosan yang diciptakan karyawan
selalu dibandingkan dengan peraturan yang ada dalam organisasi (cara berpikir inside the box) (Odumeru & Ogbonna,
2013). Bila hal-hal baru tersebut bertentangan dengan peraturan maka, ia akan segera
menolaknya dengan keras.
Bila organisasi belum
mempunyai peraturan maka pemimpin kolot cenderung akan mencontoh peraturan
organisasi lain yang lebih besar dan lebih sukses. Hal ini mungkin karena
kapasitas kognitifnya yang kurang, sehingga ia tidak mampu menyusun peraturan
yang bisa mendorong motivasi kerja karyawannya. Kurang kreatif ini menyebabkan
pemimpin kolot cenderung kurang berani mengambil risiko demi kemajuan
organisasi yang dipimpinnya. Sulit bagi pemimpin kolot untuk berperilaku secara
unik sehingga organisasinya menjadi biasa-biasa saja, sama seperti organisasi
lainnya yang serupa.
Pemimpin yang kolot
dan taat peraturan secara kaku, cenderung enggan berbagi kekuasaan (Agbor,
2008). Bila berbagi kekuasaan, maka tugas-tugas yang ada mungkin saja tidak
sesuai dengan prosedur yang ada. Lingkungan kerja menjadikan karyawan seperti
robot. Pemimpin tidak mentolerir kesalahan karyawan. Bahkan karyawan yang
bersalah cenderung mendapat hukuman atau diisolasi. Pemimpin tidak mampu
mengelola perbedaan-perbedaan ide pada karyawan. Situasi semacam ini akan
membuat karyawan juga enggan untuk mengemukakan ide-ide kreatif, karena merasa
tidak aman.
Karakteristik selanjutnya
dari pemimpin kolot adalah kurang mempunyai kecemasan bahwa organisasinya akan
tutup (Collins, 2001). Organisasinya tidak akan tutup karena ia sudah memenuhi
peraturan yang ada. Ia menjalankan organisasi seperti biasanya (bussiness as usual), berdasarkan
peraturan yang ada. Ia sudah merasa cukup dengan keadaan organisasi saat
sekarang. Situasi seperti inilah yang sangat berbahaya, karena pemimpin seperti
tidak menyadari akan kemajuan jaman, ancaman dari organisasi lainnya, dan
ancaman ditinggalkan konsumen.
Pendeknya, pemimpin
kolot cenderung menerapkan gaya kepemimpinan transaksional. Perilakunya adalah
selalu berpegang pada peraturan, kurang kreatif, kurang berani mengambil risiko
bagi pembaharuan organisasinya, kurang peka pada kemajuan organisasi, dan untuk
mengatur perilaku karyawan diberlakukan imbalan (reward) dan hukuman (punishment)
(Bass, 1997). Pemimpin transaksional ini sudah merasa cukup berkontribusi
terhadap organisasi dengan cara taat pada peraturan. Pemimpin jenis ini mungkin
saja sesuai dengan masa lampau yang tingkat kompetisi dalam masyarakat masih
rendah. Pada masa sekarang yang mana seluruh penjuru dunia disebut desa global
sehingga tingkat kompetisinya semakin tinggi, maka pemimpin transaksional cenderung
ditinggalkan. Orang yang kolot tetap memegang jabatan sabagai pemimpin, mungkin
karena organisasinya kurang menarik. Selain itu, mungkin saja individu tersebut
adalah pilihan yang terbaik dari sekumpulan sumber daya manusia lainnya yang
buruk mutunya.
Cara Menghadapi Pemimpin Kolot
Menghadapi pemimpin
kolot memang tidak mudah, karena ia terkesan kaku dan selalu tunduk pada
peraturan yang ada. Semua penyimpangan akan segera dihentikannya. Sebenarnya,
pemimpin kolot tersebut mempunyai hal-hal positif, terutama untuk karyawan
dengan karakter tertentu. Karyawan yang pro dengan pemimpin kolot cenderung
berkarakter tertentu seperti senang diatur oleh pimpinan, enggan berpindah-pindah
pekerjaan, serta karyawan yang motivasi kerjanya bersifat eksternal (Chaudhry
& Javed, 2012). Jadi aspek positif pemimpin kolot adalah kesediaannya untuk
mempekerjakan karyawan yang tidak berkualitas demi mempertahankan situasi
normal organisasi seperti biasa (tidak ada perubahan). Selain itu kepemimpinan
kolot ini juga sesuai untuk organisasi yang sedang mengalami krisis (Odumeru
& Ogbonna, 2013) dan ketika angka pengangguran tinggi (Shinta, Widiantoro
& Yosef, 2015).
Jadi
dalam hal ini gaya kepemimpinan kolot tidak selalu bernuansa negatif. Hal ini
karena pada gaya kepemimpinan transformasional (kebalikan dari kepemimpinan
kolot), ternyata karyawan juga bisa stress (Odumeru & Ogbonna, 2013).
Padahal gaya kepemimpinan tranformasional selama in dianggap sebagai gaya
kepemimpinan yang paling efektif. Karyawan yang mempunyai pemimpin
transformasional, akan selalu didorong untuk mengubah diri, kreatif, berani
mencoba hal-hal baru, dan berani berbuat kesalahan (Bass, 1997). Tidak semua
karyawan senang bila selalu didorong-dorong untuk berubah. Hal ini karena
perubahan pada hakekatnya menyakitkan (Frost, 2004).
Bagaimana
dengan karyawan yang kreatif dan mempunyai motivasi internal yang tinggi? Untuk
karyawan yang berkarakter kreatif ini, maka bekerja dengan pemimpin yang kolot
adalah siksaan. Untuk mengatasi rasa tidak nyaman itu, maka ada beberapa alternatif
yang bisa digunakan yaitu keluar (exit),
diskusi (voice), bersabar dan terus
berdoa (loyalty) (Chesang, 2013). Pilihan
pertama yaitu keluar, adalah karyawan keluar dari organisasi dan kemudian
mencari pekerjaan yang paling sesuai dengannya. Keluar dari organisasi ini bisa
dirancang pada saat karyawan masih berada dalam organisasi. Perencanaan
tersebut merupakan proses keluar dari organisasi secara matang, sehingga tidak
ada jeda waktu untuk menganggur.
Alternatif
diskusi (voice) artinya karyawan
berusaha mengubah manajemen dengan metode diskusi, pembujukan, dan negosiasi.
Diskusi ini bisa jadi bergradasi mulai dari yang paling lunak (diskusi) sampai
dengan yang paling keras / kasar (protes, demonstrasi). Seberapa efektifnya
diskusi ini mengubah pemimpin kolot agar pro kemajuan? Efektivitas diskusi ini
bergantung pada kualitas karyawan. Bila karyawan kreatif itu mampu menggalang
kekuatan bersama mayoritas karyawan lainnya, maka bisa jadi pemimpin kolot ini
tumbang. Apabila mayoritas karyawan berkarakter enggan berubah, maka mereka
justru membela pemimpin kolot dan memusuhi karyawan kreatif. Karyawan kreatif
menjadi orang yang terisolasi dalam organisasinya.
Alternatif
setia, sabar, dan terus berdoa (loyalty)
artinya karyawan tetap berada dalam organisasi, meskipun manajemennya buruk dan
pemimpinnya kolot (Graham, 2006). Meskipun merasa tidak puas, karyawan tetap
berusaha untuk mengelola kesehatan mentalnya yaitu dengan cara pasif (berdoa),
apatis, dan menarik diri. Efektivitas perilaku setia ini erat hubungannya
dengan kualitas karyawan. Bila karyawan kreatif tersebut sudah terlanjur
memberikan banyak hal pada organisasi (high
investment) dan mobilitasnya rendah, maka ia cenderung tetap berada dalam
organisasi sambil berharap keadaan organisasi menjadi lebih baik (Vangel, 2011).
Bila karyawan itu belum banyak kontribusinya pada organisasi serta mobilitasnya
tinggi (misalnya belum menikah, mempunyai kendaraan, mempunyai banyak relasi
kerja), maka alternatif setia ini mungkin tidak dipilih.
Mana
yang sebaiknya dipilih oleh karyawan kreatif, bila ia telah memutuskan tetap
bekerja pada pemimpin kolot namun kesehatan mentalnya tetap terjaga dengan prima
bahkan berprestasi? Tulisan ini lebih memilih alternatif setia atau tetap
berada dalam organisasi namun sambil membangun organisasi dengan kreatif.
Alternatif bersuara (voice) dan
keluar (exit) tidak dipilih (Shinta
et al., 2015).
Alternatif
setia lebih dipilih daripada alternatif bersuara (voice) karena alternatif suara lebih menekankan adanya perubahan
pada pihak pemimpin, bukan pada pihak karyawan. Gaya kepemimpinan yang kolot
tersebut tentu sudah berlangsung lama serta tidak ada protes dari karyawan
lainnya. Hal ini menandakan bahwa pemimpin dan mayoritas karyawan merasa tidak
ada yang keliru dengan gaya kepemimpinan kolot. Jadi justru karyawan kreatif
itulah yang harus mengubah diri untuk membuktikan bahwa ia memang pantas
menyandang predikat kreatif. Alternatif keluar (exit) juga tidak dipilih karena angka pengangguran tinggi. Selain
itu pengungkapan kreativitas tidak mensyaratkan karyawan harus berada dalam
organisasi yang kondusif terhadap perilaku kreatif. Justru organisasi dengan
kepemimpinan kolot merupakan ’laboratorium sosial’ yang bagus bagi karyawan
kreatif untuk mencoba berbagai cara kreatif untuk mengelola organisasi (Zhou & George,
2001).
Apa saja yang bisa
dilakukan untuk mengolah kreativitas dalam organisasi dengan gaya kepemimpan yang
kolot ini? Ciri khas dari pemimpin kolot adalah taat pada peraturan (Bass,
1997). Karakter taat pada peraturan ini memudahkan karyawan kreatif untuk
mengetahui rambu-rambu tentang pelanggaran perilaku. Jadi langkah pertama bagi karyawan
setelah memahami rambu-rambu perilaku dalam organisasi adalah membuat rencana
untuk meniti karir secara kreatif dan tentu saja tidak melanggar peraturan. Penerapan
rencana tersebut dalam menyelesaikan tugas-tugas organisasi hendaknya dilakukan
dengan metode kreatif sehingga hasilnya lebih baik daripada hasil yang
disyaratkan oleh pemimpin. Strategi ini bisa dilakukan bila karyawan mempunyai
banyak informasi dan banyak relasi sosial.
Langkah kedua bagi
karyawan kreatif adalah memahami bahwa pemimpin kolot memotivasi karyawan
dengan menggunakan imbalan (reward)
dan hukuman (punishment) (Bass,
1997). Asumsi dalam gaya kepemimpinan kolot adalah bahwa motivasi kerja
karyawan adalah uang, dan kesetiaan serta kepedulian pada organisasi hanya
berdasarkan imbalan saja (Bello, 2012). Kebiasaan menggunakan imbalan dan
hukuman ini akan mematikan motivasi internal karyawan kreatif. Oleh karena itu
disarankan agar karyawan waspada bila menerima imbalan dari pemimpin atas
prestasi-prestasi yang telah dicapainya. Sebenarnya langkah kedua ini akan
lebih mudah bila ternyata pemimpin kolot ini juga berkarakter hipokrit.
Hipokrit atau munafik adalah menerapkan peraturan ketat bagi organisasi, namun
peraturan itu tidak berlaku bagi dirinya sendiri (Bello, 2012). Perilaku
hipokrit pemimpin cenderung akan memperkuat motivasi internal karyawan.
Karyawan kreatif akan terdorong untuk tidak meniru segala perilaku pemimpin
yang tidak terpuji.
Langkah ketiga bagi karyawan
kreatif adalah hendaknya ia waspada terhadap keberlangsungan organisasi. Hal
ini karena pemimpin kolot sering tidak waspada terhadap umur organisasi, karena
ia anti perubahan (Bass, 2000). Justru karena kealpaannya tersebut, maka topik
keberlangsungan organisasi bisa menjadi lahan bagi karyawan kreatif untuk
memajukan organisasinya. Strategi yang bisa dilakukan adalah menerapkan prinsip
great by choice atau terjemahan
bebasnya adalah memilih untuk berprestasi (Collins & Hansen, 2011; Olsen
& Sena, 2013). Pilihan untuk berprestasi itu terdiri dari lima hal yaitu fanatic discipline, productive paranoia,
empirical creativity, level 5 ambition.
Fanatic discipline ialah berperilaku tekun dan disiplin dalam berkarya secara
konsisten dalam situasi kondusif maupun buruk. Dalam organisasi pendidikan,
sebagai contoh, dosen dituntut untuk meneliti satu kali / tahun. Jadi dosen
(karyawan) dapat melakukan penelitian 2 kali/ tahun. Hal itu terus dilakukan
meskipun sebenarnya ia mampu melakukan 3 penelitian / tahun (situasi kondusif).
Ia juga tetap meneliti 2 kali / tahun meskipun ia sedang bermasalah dalam dalam
keluarga (situasi tidak kondusif). Productive
paranoia ialah perasaan cemas bila organisasi tutup dan terjadi hal-hal
buruk yang menyusahkannya, meskipun sebenarnya keadaan organisasi baik-baik
saja. Karyawan menyalurkan kecemasannya menjadi tindakan yang produktif. Ia
mempersiapakan diri sebaik-baiknya bila terjadi hal-hal buruk. Empirical creativity adalah membuat
suatu program inovatif dalam skala kecil terlebih dahulu. Hal itu untuk
memastikan bahwa program dalam skala besar benar-benar dapat terlaksana. Level 5 ambition adalah memiliki ambisi
mensukseskan organisasi, bukan hanya mensukseskan diri sendiri.
Kesimpulan dan Saran
Bagi karyawan
kreatif, bekerja pada organisasi dengan gaya kepemimpinan kolot adalah bukan
halangan untuk berpestasi dan inovatif. Justru kelalaian / kelemahan pemimpin
kolot bisa menjadi ‘laboratorium sosial’ bagi karyawan kreatif untuk
menciptakan hal-hal baru. Hal itu bisa tercapai bila karyawan mempunyai
kesadaran bahwa bekerja dalam organisasi buruk itu adalah bukan kebetulan. Di
balik organisasi buruk tersebut pasti ada hal-hal positif. Adanya kesadaran
tentang hikmah tersebut akan menuntun karyawan untuk menjadi lebih baik dan
kreatif, alih-alih menggerutu.
Tulisan ini
diharapkan dapat memperkaya kajian-kajian psikologi industri dan organisasi,
terutama tentang kepemimpinan dengan gaya kolot. Hal ini karena tulisan yang
membahas secara khusus tentang pemimpin kolot, jarang ditemui. Tulisan ini
bertumpu pada pengalaman praktis tentang cara-cara kreatif menghadapi pemimpin
yang tidak pro kemajuan.
Daftar Pustaka
Agbor,
E. (2008). Creativity and innovation: The leadership dynamics. Journal of Strategic Leadership. 1 (1),
39-45. Regent University.
Allio, R. J. (2013). Masterclass: Leaders and leadership. Strategy and Leadership. 41(1), 4-14. Emerald Publishing Limited.
DOI
10.1108/10878571311290016 .
Baer,
M., Oldham, G. R. & Cummings, A. (2003). Rewarding creativity: When does it
really matter? The Leadership Quarterly.
14, 569-586.
Balai Pustaka (2001). Kamus besar bahasa Indonesia.
(Edisi ke-3). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional dan Balai Pustaka.
Bass,
B. M. (1997) Does the transactional – transformational leadership paradigm
transcend organizational and national boundaries? American Psychologist. 52 (2), 130-139. February.
Bass, B. M. (2000). The future of leadership in learning
organizations. Journal of Leadership
& Organizational Studies, 7(3), 18-40.
DOI.
10.1177/107179190000302.
Bello,
S. M. (2012). Impact of ethical leadership on employee job performance. International Journal of Business and Social
Science. 3(11), 228-236, June.
Chaudhry, A. Q. & Javed, H. (2012). Impact of
transactional and laissez faire leadership style on motivation. International Journal of Business and Social
Science. 3(7), 258-264), April.
Chesang,
R.K. (2013). Exit, voice, loyalty theory: Its implications for household and
national level dynamics in Kenya. International
Journal of Scientific & Technology Research. 2 (6), 115-121. ISSN:
2277-8616.
Collins,
J. C. (2001). Good to great: Why some
companies make the leap . . . and others
don’t. New York, USA: Random House.
Collins, J. & Hansen, M. T. (2011). Great by choice: Uncertainty, chaos, and
luck – Why some survive despite them all. New Yotk: Harper Business.
Frost, P. J. (2004). Handling toxic emotions: New
challenges for leaders and their organization. Organizational Dynamics. 33(2), 111-127. DOI.
10.1016/j.orgdyn.2004.01.0001.
Graham,
G. (2006). A survival guide for working
with bad bosses: Dealing with bullies, idiots, back-stabbers, and other
managers from hell. New York: AMACOM (American Management Association).
Odumeru,
J. A. & Ogbonna, I. G. (2013). Transformational vs. transactional
leadership theories: Evidence in literature. International Review of Management and Business Research. 2(2),
355-361).
Oldham,
G. & Cummings, A. (1996). Employee creativity: Personal and contextual
factors at work. Academy of Management
Journal. 39 (3), 607-634.
Olsen, E. & Sena, J. (2013). An examination of great
by choice: Redux. The Journal of Business
Inquiry. 12, 31-64.
Shinta, A., Widiantoro, W. & Yosef, L.G. (2015). Belajar menjadi
pemimpin baik dalam organisasi dengan kepemimpinan buruk. National Seminar Proceeding. Malang: Psychology Forum Direktorat
Program Pascasarjana, University of Muhammadiyah Malang, halaman 37-45.
Februari. ISBN. 978-979-796-324-8.
Vangel, K. (2011). Employee responses to job
dissatisfaction. Schmidt Labor Research
Center Seminar Series. University of Rhode Island
Zaccaro,
S. J., Kemp, C., & Bader, P. (2004). Leader traits and attributes. In J.
Antonakis, A. T. Cianciolo, & R. J. Sternberg (Eds.), The nature of leadership (pp. 101-124). Thousand Oaks, CA: Sage.
Zhou,
J. & George, J. M. (2001). When job dissatisfaction leads to creativity:
Encouraging the expression of voice. Academic
of Management Journal. 44(4), 682-696.
Suggested citation:
Shinta,
A., Rohyati, E., Handayani, D., & Widiantoro, W. (2015). Memimpin pemimpin
yang kolot: Peluang bagi karyawan kreatif untuk maju. Prosiding Seminar
Nasional Positive Psychology “Embracing a New Way of Life: Promoting Positive
Psychology”. 12 Desember 2015. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Katolik
Widya Mandala. No. ISBN. 978-979-17880-1-4. Halaman.
0 Comments
Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji