Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MEMIMPIN PEMIMPIN YANG KOLOT: PELUANG BAGI KARYAWAN KREATIF UNTUK MAJU



USAHA MENTERJEMAHKAN VISI PRODI SERTA KEGIATAN
PUBLIKASI DOSEN PADA TINGKAT NASIONAL

Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Latar belakang tulisan ini ada tiga. Pertama, organisasi pada era internet ini kunci hidupnya adalah terus berinovasi. Bila pimpinan organisasi enggan / menolak berinovasi maka masa hidup organisasinya tinggal menghitung hari saja. Mengapa pimpinan menolak untuk berinovasi? Keengganan utama untuk berinovasi adalah mengubah diri. Mengubah diri berarti meninggalkan zona nyaman. Bila zona nyaman ditinggalkan maka hal-hal buruk yang dipersepsikan akan datang adalah: kekuasaannya akan hilang, penghasilan akan berkurang, sembah sungkem dari lingkungan akan hilang, dan serangkaian post power syndrom akan menyerang. Pemimpin seperti itu julukannya adalah pemimpin kolot, konservatif, atau jadul.

Apa dampak kehadiran pemimpin kolot bagi para karyawan? Tentu saja bagi karyawan yang serupa sebangun dengan pimpinan itu (sama-sama kolot), maka keberadaan pimpinan kolot akan membuat kehidupan semakin sentosa. Karyawan merasa aman dan tidak terusik. Proyek-proyeknya akan dijalankan seperti biasa. Perkara organisasi mati itu adalah urusan pimpinan bukan urusan karyawan.

Bagi karyawan kreatif, keberadaan pimpinan kolot adalah siksaan. Apakh ada cara mengatasinya? Cara paling sederhana yang bisa dilakukan adalah ia harus bisa menerima pimpinan jadul itu apa adanya. Tidak ada keinginan untuk mengubahnya. Setelah ada penerimaan diri, maka muncullah ide-ide untuk memberdayakan diri. Karyawan kreatif justru berterima kasih dengan kehadiran pimpinan kolot pada suatu organisasi, karena hal itu merupakan energi untuk mengubah diri dan berkreativitas. Karyawan kreatif akan semakin berdaya dan semakin maju. Ketika organisasi akan mati, maka karyawan kreatif itu sudah mempunyai berbagai persiapan untuk meninggalkannya dan mencari organisasi baru lainnya. Memang tebusannya tidak mudah, yaitu kreativitas harus dibayar dengan sedikitnya waktu istirahat dan mahalnya ivestasi pendidikan. Pihak ayng paling rugi adalah pimpinan kolot itu. Organisasi mati, maka ia tidak akan laku di mana pun juga.

Latar belakang kedua dari tulisan ini adalah adanya kebutuhan untuk menterjemahkan visi prodi Psikologi UP45. Kata kunci dari visi prodi Psikologi adalah iptek, sumber daya manusia, energi, dan eksponen angkatan 45. Tulisan ini tertuju pada kata-kata sumber daya manusia. Tidak sedikit lulusan Prodi Psikologi UP45 yang menjadi karyawan pada organisasi besar. Semakin bear organisasi maka semakin pimpinannya menjadi kolot dan menolak untuk inovasi. Tulisan ini diharapkan bisa membantu dan menyiapkan mahasiswa agar kelak bila berkarya pada organisasi besar, maka mereka akan terus berinovasi.

Latar belakang ketiga dari tulisan ini adalah adanya kebutuhan untuk publikasi di kalangan dosen pada level nasional. Partisipasi dosen dalam seminar nasional adalah bukti bahwa dosen mengikuti kata-kata bijak publish or perish yaitu mempublikasikan karya atau mati. Dosen yang tidak pernah mempublikasikan karyanya adalah dosen yang tidak dapat dijadikan suri tauladan bagi mahasiswanya.

Sebagai catatan, tulisan lengkap naskah ini sudah dipresentasikan dalam ajang nasional atau call for paper di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, pada 12 Desember 2015. Oleh karena presentasinya berupa poster, maka dalam tulisan ini akan disertakan naskah lengkapnya. Semua naskah karya dosen direncanakan akan dipublikasikan melalui majalah Kupasiana dan juga media daring lainnya. Publikasi daring ini untuk memenuhi azas transparansi, penyebarluasan gagasan, dan juga untuk mempermudah proses akreditasi Program Studi Psikologi UP45 serta akreditasi institusi. 

Memimpin Pemimpin yang Kolot: Peluang Bagi
Karyawan Kreatif Untuk Maju

Arundati Shinta, Eny Rohyati, Dewi Handayani & Wahyu Widiantoro
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

arundatishinta@yahoo.com

Abstrak
Bekerja pada organisasi dengan pemimpin kolot tentu bukan impian para karyawan. Kolot adalah segala keputusan berdasarkan peraturan-peraturan yang ada serta dijalankan dengan kaku. Upaya-upaya karyawan yang berbeda dengan peraturan akan ditolak. Persoalan yang relevan dengan pemimpin kolot adalah karyawan hanya bisa menerima apa saja keputusan pemimpin. Karyawan takut mengembangkan diri, karena takut dituduh melanggar peraturan. Karyawan yang tidak sabar akan memilih keluar. Jumlah karyawan dengan predikat biasa dan tidak sabar ini sangat banyak. Sebaliknya, karyawan kreatif jumlahnya sangat sedikit. Karyawan yang kreatif tetapi tidak menginginkan pindah pekerjaan, cenderung melihat situasi organisasi kolot itu sebagai peluang untuk maju. Baginya, keburukan organisasi dan pemimpin adalah tanah subur / tantangan bagi munculnya kreativitas. Strategi yang bisa dilakukan adalah penerapan prinsip great by choice (memilih untuk berprestasi). Kunci untuk menjadi karyawan kreatif adalah adanya persepsi positif pada situasi buruk. Persepsi positif akan melahirkan perilaku-perilaku positif. Persepsi positif ini diperoleh dari interaksi sosial yang intensif dengan lingkungan kreatif dan adanya kesadaran diri. Tulisan ini berguna bagi masyarakat karena kreativitas sering diejek. Padahal kreativitas dan perubahan adalah kunci utama untuk kemajuan dan memperpanjang usia organisasi.

Kata-kata kunci: pemimpin, kolot, kreativitas, perubahan.



Pendahuluan
Kolot, konservatif, dan kaku memang pengertiannya tidak sama persis. Kolot dan konservatif menekankan pada pemikiran yang terlalu berkutat pada kebiasaan lama dan tradisi yang berlaku. Pengertian kaku terutama untuk pola pikir adalah tumpul dan tidak bisa menerima hal-hal baru (Balai Pustaka, 2001). Apabila ketiga kata sifat itu menjadi ciri khas seorang pemimpin, maka pengertiannya adalah pemimpin yang bergaya tradisional, menolak kreativitas, sering mempertahankan pendapat berdasarkan pada peraturan-peraturan dan menolak perubahan. Organisasi dengan gaya kepemimpinan kolot cenderung enggan untuk belajar dan beradaptasi dengan hal-hal baru. Pada sisi lain, kemajuan teknologi tentu tidak bisa ditentang, karena kemajuan dan perubahan adalah suatu keniscayaan. Organisasi harus belajar dan beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah-ubah karena kemajuan jaman. Bila hal itu tidak segera dilakukan maka kematian organisasi tinggal menunggu hari saja (Bass, 2000).

Permasalahan dengan pemimpin yang kolot adalah pada umumnya karyawan akan merasa terkekang dengan berbagai peraturan yang terasa kuno dan ketinggalan jaman. Karyawan merasa semua perilakunya tidak bebas, dan segala tindakannya harus sesuai dengan juklak (petunjuk pelaksanaan). Hal ini karena salah satu ciri khas pemimpin kolot dan kaku adalah selalu taat pada peraturan kuno dan anti pada perubahan. Padahal pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang selalu waspada terhadap perubahan (Bass, 2000). Ia tidak segan-segan untuk mengubah peraturan bila memang dibutuhkan sesuai dengan tuntutan keadaan dan kemajuan teknologi.

Tujuan tulisan ini hendak menjelaskan tentang kebiasaan-kebiasaan pemimpin kolot dalam menjalankan organisasinya serta cara menghadapinya. Tulisan in lebih tertuju kepada para karyawan, karena jumlahnya lebih banyak daripada jumlah pemimpin. Selain itu, pada hakekatnya kepemimpinan adalah sebuah ilusi (Allio, 2013). Hal itu berarti bahwa karyawan harus diberdayakan karena rasa tidak berdaya itulah yang menyebabkan mereka merasa terperangkap dalam pekerjaan. Pemberdayaan ini demi menjaga kesehatan mental karyawan, sehingga meskipun pemimpinnya kolot namun ia tetap dapat berprestasi dan sekaligus umur organisasi dapat lebih panjang.

Landasan Teori
Orang yang kolot memang kurang disuka dalam organisasi, karena dianggap tidak kreatif dan tidak efektif, bahkan justru memperpendek umur organisasi (Baer, Oldham & Cummings, 2003). Seseorang menjadi kolot karena faktor kepribadiannya. Bila diukur dengan Gough’s Creative Personality Scale atau CPS, maka karakter orang yang kolot adalah minatnya sempit dan selalu bertumpu pada hal-hal yang konvensional / tradisional (Oldham & Cummings, 1996). Apabila karakter kolot tersebut melekat pada seorang pemimpin, maka umur organisasi cenderung menjadi singkat (Bass, 2000).

Sebenarnya, pemimpin kolot itu itu bisa diatasi, asal para karyawan dapat memahami karakteristiknya. Selain anti perubahan, karakteristik yang menonjol pemimpin kolot adalah kurang kreatif (Agbor, 2008; Zaccaro, Kemp & Bader, 2004). Segala keputusan yang akan diambil atau hal-hal baru / terobosan-terobosan yang diciptakan karyawan selalu dibandingkan dengan peraturan yang ada dalam organisasi (cara berpikir inside the box) (Odumeru & Ogbonna, 2013). Bila hal-hal baru tersebut bertentangan dengan peraturan maka, ia akan segera menolaknya dengan keras.

Bila organisasi belum mempunyai peraturan maka pemimpin kolot cenderung akan mencontoh peraturan organisasi lain yang lebih besar dan lebih sukses. Hal ini mungkin karena kapasitas kognitifnya yang kurang, sehingga ia tidak mampu menyusun peraturan yang bisa mendorong motivasi kerja karyawannya. Kurang kreatif ini menyebabkan pemimpin kolot cenderung kurang berani mengambil risiko demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya. Sulit bagi pemimpin kolot untuk berperilaku secara unik sehingga organisasinya menjadi biasa-biasa saja, sama seperti organisasi lainnya yang serupa.

Pemimpin yang kolot dan taat peraturan secara kaku, cenderung enggan berbagi kekuasaan (Agbor, 2008). Bila berbagi kekuasaan, maka tugas-tugas yang ada mungkin saja tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Lingkungan kerja menjadikan karyawan seperti robot. Pemimpin tidak mentolerir kesalahan karyawan. Bahkan karyawan yang bersalah cenderung mendapat hukuman atau diisolasi. Pemimpin tidak mampu mengelola perbedaan-perbedaan ide pada karyawan. Situasi semacam ini akan membuat karyawan juga enggan untuk mengemukakan ide-ide kreatif, karena merasa tidak aman.

Karakteristik selanjutnya dari pemimpin kolot adalah kurang mempunyai kecemasan bahwa organisasinya akan tutup (Collins, 2001). Organisasinya tidak akan tutup karena ia sudah memenuhi peraturan yang ada. Ia menjalankan organisasi seperti biasanya (bussiness as usual), berdasarkan peraturan yang ada. Ia sudah merasa cukup dengan keadaan organisasi saat sekarang. Situasi seperti inilah yang sangat berbahaya, karena pemimpin seperti tidak menyadari akan kemajuan jaman, ancaman dari organisasi lainnya, dan ancaman ditinggalkan konsumen.

Pendeknya, pemimpin kolot cenderung menerapkan gaya kepemimpinan transaksional. Perilakunya adalah selalu berpegang pada peraturan, kurang kreatif, kurang berani mengambil risiko bagi pembaharuan organisasinya, kurang peka pada kemajuan organisasi, dan untuk mengatur perilaku karyawan diberlakukan imbalan (reward) dan hukuman (punishment) (Bass, 1997). Pemimpin transaksional ini sudah merasa cukup berkontribusi terhadap organisasi dengan cara taat pada peraturan. Pemimpin jenis ini mungkin saja sesuai dengan masa lampau yang tingkat kompetisi dalam masyarakat masih rendah. Pada masa sekarang yang mana seluruh penjuru dunia disebut desa global sehingga tingkat kompetisinya semakin tinggi, maka pemimpin transaksional cenderung ditinggalkan. Orang yang kolot tetap memegang jabatan sabagai pemimpin, mungkin karena organisasinya kurang menarik. Selain itu, mungkin saja individu tersebut adalah pilihan yang terbaik dari sekumpulan sumber daya manusia lainnya yang buruk mutunya.


Cara Menghadapi Pemimpin Kolot
Menghadapi pemimpin kolot memang tidak mudah, karena ia terkesan kaku dan selalu tunduk pada peraturan yang ada. Semua penyimpangan akan segera dihentikannya. Sebenarnya, pemimpin kolot tersebut mempunyai hal-hal positif, terutama untuk karyawan dengan karakter tertentu. Karyawan yang pro dengan pemimpin kolot cenderung berkarakter tertentu seperti senang diatur oleh pimpinan, enggan berpindah-pindah pekerjaan, serta karyawan yang motivasi kerjanya bersifat eksternal (Chaudhry & Javed, 2012). Jadi aspek positif pemimpin kolot adalah kesediaannya untuk mempekerjakan karyawan yang tidak berkualitas demi mempertahankan situasi normal organisasi seperti biasa (tidak ada perubahan). Selain itu kepemimpinan kolot ini juga sesuai untuk organisasi yang sedang mengalami krisis (Odumeru & Ogbonna, 2013) dan ketika angka pengangguran tinggi (Shinta, Widiantoro & Yosef, 2015).

Jadi dalam hal ini gaya kepemimpinan kolot tidak selalu bernuansa negatif. Hal ini karena pada gaya kepemimpinan transformasional (kebalikan dari kepemimpinan kolot), ternyata karyawan juga bisa stress (Odumeru & Ogbonna, 2013). Padahal gaya kepemimpinan tranformasional selama in dianggap sebagai gaya kepemimpinan yang paling efektif. Karyawan yang mempunyai pemimpin transformasional, akan selalu didorong untuk mengubah diri, kreatif, berani mencoba hal-hal baru, dan berani berbuat kesalahan (Bass, 1997). Tidak semua karyawan senang bila selalu didorong-dorong untuk berubah. Hal ini karena perubahan pada hakekatnya menyakitkan (Frost, 2004).

Bagaimana dengan karyawan yang kreatif dan mempunyai motivasi internal yang tinggi? Untuk karyawan yang berkarakter kreatif ini, maka bekerja dengan pemimpin yang kolot adalah siksaan. Untuk mengatasi rasa tidak nyaman itu, maka ada beberapa alternatif yang bisa digunakan yaitu keluar (exit), diskusi (voice), bersabar dan terus berdoa (loyalty) (Chesang, 2013). Pilihan pertama yaitu keluar, adalah karyawan keluar dari organisasi dan kemudian mencari pekerjaan yang paling sesuai dengannya. Keluar dari organisasi ini bisa dirancang pada saat karyawan masih berada dalam organisasi. Perencanaan tersebut merupakan proses keluar dari organisasi secara matang, sehingga tidak ada jeda waktu untuk menganggur.

Alternatif diskusi (voice) artinya karyawan berusaha mengubah manajemen dengan metode diskusi, pembujukan, dan negosiasi. Diskusi ini bisa jadi bergradasi mulai dari yang paling lunak (diskusi) sampai dengan yang paling keras / kasar (protes, demonstrasi). Seberapa efektifnya diskusi ini mengubah pemimpin kolot agar pro kemajuan? Efektivitas diskusi ini bergantung pada kualitas karyawan. Bila karyawan kreatif itu mampu menggalang kekuatan bersama mayoritas karyawan lainnya, maka bisa jadi pemimpin kolot ini tumbang. Apabila mayoritas karyawan berkarakter enggan berubah, maka mereka justru membela pemimpin kolot dan memusuhi karyawan kreatif. Karyawan kreatif menjadi orang yang terisolasi dalam organisasinya.

Alternatif setia, sabar, dan terus berdoa (loyalty) artinya karyawan tetap berada dalam organisasi, meskipun manajemennya buruk dan pemimpinnya kolot (Graham, 2006). Meskipun merasa tidak puas, karyawan tetap berusaha untuk mengelola kesehatan mentalnya yaitu dengan cara pasif (berdoa), apatis, dan menarik diri. Efektivitas perilaku setia ini erat hubungannya dengan kualitas karyawan. Bila karyawan kreatif tersebut sudah terlanjur memberikan banyak hal pada organisasi (high investment) dan mobilitasnya rendah, maka ia cenderung tetap berada dalam organisasi sambil berharap keadaan organisasi menjadi lebih baik (Vangel, 2011). Bila karyawan itu belum banyak kontribusinya pada organisasi serta mobilitasnya tinggi (misalnya belum menikah, mempunyai kendaraan, mempunyai banyak relasi kerja), maka alternatif setia ini mungkin tidak dipilih.

Mana yang sebaiknya dipilih oleh karyawan kreatif, bila ia telah memutuskan tetap bekerja pada pemimpin kolot namun kesehatan mentalnya tetap terjaga dengan prima bahkan berprestasi? Tulisan ini lebih memilih alternatif setia atau tetap berada dalam organisasi namun sambil membangun organisasi dengan kreatif. Alternatif bersuara (voice) dan keluar (exit) tidak dipilih (Shinta et al., 2015). 

Alternatif setia lebih dipilih daripada alternatif bersuara (voice) karena alternatif suara lebih menekankan adanya perubahan pada pihak pemimpin, bukan pada pihak karyawan. Gaya kepemimpinan yang kolot tersebut tentu sudah berlangsung lama serta tidak ada protes dari karyawan lainnya. Hal ini menandakan bahwa pemimpin dan mayoritas karyawan merasa tidak ada yang keliru dengan gaya kepemimpinan kolot. Jadi justru karyawan kreatif itulah yang harus mengubah diri untuk membuktikan bahwa ia memang pantas menyandang predikat kreatif. Alternatif keluar (exit) juga tidak dipilih karena angka pengangguran tinggi. Selain itu pengungkapan kreativitas tidak mensyaratkan karyawan harus berada dalam organisasi yang kondusif terhadap perilaku kreatif. Justru organisasi dengan kepemimpinan kolot merupakan ’laboratorium sosial’ yang bagus bagi karyawan kreatif untuk mencoba berbagai cara kreatif untuk mengelola organisasi (Zhou & George, 2001).

Apa saja yang bisa dilakukan untuk mengolah kreativitas dalam organisasi dengan gaya kepemimpan yang kolot ini? Ciri khas dari pemimpin kolot adalah taat pada peraturan (Bass, 1997). Karakter taat pada peraturan ini memudahkan karyawan kreatif untuk mengetahui rambu-rambu tentang pelanggaran perilaku. Jadi langkah pertama bagi karyawan setelah memahami rambu-rambu perilaku dalam organisasi adalah membuat rencana untuk meniti karir secara kreatif dan tentu saja tidak melanggar peraturan. Penerapan rencana tersebut dalam menyelesaikan tugas-tugas organisasi hendaknya dilakukan dengan metode kreatif sehingga hasilnya lebih baik daripada hasil yang disyaratkan oleh pemimpin. Strategi ini bisa dilakukan bila karyawan mempunyai banyak informasi dan banyak relasi sosial.

Langkah kedua bagi karyawan kreatif adalah memahami bahwa pemimpin kolot memotivasi karyawan dengan menggunakan imbalan (reward) dan hukuman (punishment) (Bass, 1997). Asumsi dalam gaya kepemimpinan kolot adalah bahwa motivasi kerja karyawan adalah uang, dan kesetiaan serta kepedulian pada organisasi hanya berdasarkan imbalan saja (Bello, 2012). Kebiasaan menggunakan imbalan dan hukuman ini akan mematikan motivasi internal karyawan kreatif. Oleh karena itu disarankan agar karyawan waspada bila menerima imbalan dari pemimpin atas prestasi-prestasi yang telah dicapainya. Sebenarnya langkah kedua ini akan lebih mudah bila ternyata pemimpin kolot ini juga berkarakter hipokrit. Hipokrit atau munafik adalah menerapkan peraturan ketat bagi organisasi, namun peraturan itu tidak berlaku bagi dirinya sendiri (Bello, 2012). Perilaku hipokrit pemimpin cenderung akan memperkuat motivasi internal karyawan. Karyawan kreatif akan terdorong untuk tidak meniru segala perilaku pemimpin yang tidak terpuji.

Langkah ketiga bagi karyawan kreatif adalah hendaknya ia waspada terhadap keberlangsungan organisasi. Hal ini karena pemimpin kolot sering tidak waspada terhadap umur organisasi, karena ia anti perubahan (Bass, 2000). Justru karena kealpaannya tersebut, maka topik keberlangsungan organisasi bisa menjadi lahan bagi karyawan kreatif untuk memajukan organisasinya. Strategi yang bisa dilakukan adalah menerapkan prinsip great by choice atau terjemahan bebasnya adalah memilih untuk berprestasi (Collins & Hansen, 2011; Olsen & Sena, 2013). Pilihan untuk berprestasi itu terdiri dari lima hal yaitu fanatic discipline, productive paranoia, empirical creativity, level 5 ambition.

Fanatic discipline ialah berperilaku tekun dan disiplin dalam berkarya secara konsisten dalam situasi kondusif maupun buruk. Dalam organisasi pendidikan, sebagai contoh, dosen dituntut untuk meneliti satu kali / tahun. Jadi dosen (karyawan) dapat melakukan penelitian 2 kali/ tahun. Hal itu terus dilakukan meskipun sebenarnya ia mampu melakukan 3 penelitian / tahun (situasi kondusif). Ia juga tetap meneliti 2 kali / tahun meskipun ia sedang bermasalah dalam dalam keluarga (situasi tidak kondusif). Productive paranoia ialah perasaan cemas bila organisasi tutup dan terjadi hal-hal buruk yang menyusahkannya, meskipun sebenarnya keadaan organisasi baik-baik saja. Karyawan menyalurkan kecemasannya menjadi tindakan yang produktif. Ia mempersiapakan diri sebaik-baiknya bila terjadi hal-hal buruk. Empirical creativity adalah membuat suatu program inovatif dalam skala kecil terlebih dahulu. Hal itu untuk memastikan bahwa program dalam skala besar benar-benar dapat terlaksana. Level 5 ambition adalah memiliki ambisi mensukseskan organisasi, bukan hanya mensukseskan diri sendiri.

Kesimpulan dan Saran
Bagi karyawan kreatif, bekerja pada organisasi dengan gaya kepemimpinan kolot adalah bukan halangan untuk berpestasi dan inovatif. Justru kelalaian / kelemahan pemimpin kolot bisa menjadi ‘laboratorium sosial’ bagi karyawan kreatif untuk menciptakan hal-hal baru. Hal itu bisa tercapai bila karyawan mempunyai kesadaran bahwa bekerja dalam organisasi buruk itu adalah bukan kebetulan. Di balik organisasi buruk tersebut pasti ada hal-hal positif. Adanya kesadaran tentang hikmah tersebut akan menuntun karyawan untuk menjadi lebih baik dan kreatif, alih-alih menggerutu.

Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya kajian-kajian psikologi industri dan organisasi, terutama tentang kepemimpinan dengan gaya kolot. Hal ini karena tulisan yang membahas secara khusus tentang pemimpin kolot, jarang ditemui. Tulisan ini bertumpu pada pengalaman praktis tentang cara-cara kreatif menghadapi pemimpin yang tidak pro kemajuan.


Daftar Pustaka

Agbor, E. (2008). Creativity and innovation: The leadership dynamics. Journal of Strategic Leadership. 1 (1), 39-45. Regent University.
Allio, R. J. (2013). Masterclass: Leaders and leadership. Strategy and Leadership. 41(1), 4-14. Emerald Publishing Limited.
DOI 10.1108/10878571311290016 .
Baer, M., Oldham, G. R. & Cummings, A. (2003). Rewarding creativity: When does it really matter? The Leadership Quarterly. 14, 569-586.
Balai Pustaka (2001). Kamus besar bahasa Indonesia. (Edisi ke-3). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka.
Bass, B. M. (1997) Does the transactional – transformational leadership paradigm transcend organizational and national boundaries? American Psychologist. 52 (2), 130-139. February.
Bass, B. M. (2000). The future of leadership in learning organizations. Journal of Leadership & Organizational Studies, 7(3), 18-40.
DOI. 10.1177/107179190000302.
Bello, S. M. (2012). Impact of ethical leadership on employee job performance. International Journal of Business and Social Science. 3(11), 228-236, June.
Chaudhry, A. Q. & Javed, H. (2012). Impact of transactional and laissez faire leadership style on motivation. International Journal of Business and Social Science. 3(7), 258-264), April.
Chesang, R.K. (2013). Exit, voice, loyalty theory: Its implications for household and national level dynamics in Kenya. International Journal of Scientific & Technology Research. 2 (6), 115-121. ISSN: 2277-8616.
Collins, J. C. (2001). Good to great: Why some companies make the leap . . .  and others don’t. New York, USA: Random House.
Collins, J. & Hansen, M. T. (2011). Great by choice: Uncertainty, chaos, and luck – Why some survive despite them all. New Yotk: Harper Business.
Frost, P. J. (2004). Handling toxic emotions: New challenges for leaders and their organization. Organizational Dynamics. 33(2), 111-127. DOI. 10.1016/j.orgdyn.2004.01.0001.
Graham, G. (2006). A survival guide for working with bad bosses: Dealing with bullies, idiots, back-stabbers, and other managers from hell. New York: AMACOM (American Management Association).
Odumeru, J. A. & Ogbonna, I. G. (2013). Transformational vs. transactional leadership theories: Evidence in literature. International Review of Management and Business Research. 2(2), 355-361).
Oldham, G. & Cummings, A. (1996). Employee creativity: Personal and contextual factors at work. Academy of Management Journal. 39 (3), 607-634.
Olsen, E. & Sena, J. (2013). An examination of great by choice: Redux. The Journal of Business Inquiry. 12, 31-64.
Shinta, A., Widiantoro, W. & Yosef, L.G. (2015). Belajar menjadi pemimpin baik dalam organisasi dengan kepemimpinan buruk. National Seminar Proceeding. Malang: Psychology Forum Direktorat Program Pascasarjana, University of Muhammadiyah Malang, halaman 37-45. Februari. ISBN. 978-979-796-324-8.
Vangel, K. (2011). Employee responses to job dissatisfaction. Schmidt Labor Research Center Seminar Series. University of Rhode Island
Zaccaro, S. J., Kemp, C., & Bader, P. (2004). Leader traits and attributes. In J. Antonakis, A. T. Cianciolo, & R. J. Sternberg (Eds.), The nature of leadership (pp. 101-124). Thousand Oaks, CA: Sage.
Zhou, J. & George, J. M. (2001). When job dissatisfaction leads to creativity: Encouraging the expression of voice. Academic of Management Journal. 44(4), 682-696.




Suggested citation:

Shinta, A., Rohyati, E., Handayani, D., & Widiantoro, W. (2015). Memimpin pemimpin yang kolot: Peluang bagi karyawan kreatif untuk maju. Prosiding Seminar Nasional Positive Psychology “Embracing a New Way of Life: Promoting Positive Psychology”. 12 Desember 2015. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala. No. ISBN. 978-979-17880-1-4. Halaman. 





Post a Comment

0 Comments