Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PERNIKAHAN USIA DINI: TINJAUAN SECARA HUKUM DAN PSIKOLOGI

KEGIATAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT DI RRI

Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh mempelai perempuan dan atau laki-laki, namun usia mereka lebih muda daripada usia yang diijinkan oleh pemerintah. Pemberian ijin dari pemerintah adalah berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan peraturan tersebut, usia batas bawah bagi warga untuk bisa melangsungkan pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Artinya, warga yang berusia lebih muda daripada 16 tahun (untuk perempuan) dan 19 tahun (untuk laki-laki), dilarang menikah kecuali atas ijin dari orangtua, dispensasi dari pengadilan. Peraturan tersebut adalah bentuk perhatian nyata dari Pemerintah bahwa pernikahan usia dini lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat. Meskipun demikian, adanya celah atau kelonggaran  seperti dispensasi tersebut di atas, telah menimbulkan persepsi bahwa UU No. 1 tahun 1974 tersebut tidak konsisten tentang batas umur perkawinan (Bastomi, 2016).


Apa saja kerugian-kerugian dari praktek pernikahan usia dini? Kerugian-kerugian tersebut antara lain:
Ø  Perempuan yang masih berusia remaja, kondisi fisiknya belum sepenuhnya siap untuk hamil dan melahirkan meskipun mereka sudah akil baliq. Organ reproduksinya belum siap menerima janin. Bila dipaksakan (remaja hamil), maka yang terjadi adalah tingginya angka kesakitan ibu, kematian ibu dan anak. Ibu yang masih remaja tersebut sebenarnya juga masih membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan fisiknya. Oleh karena ia sudah hamil, maka terjadi persaingan memperebutkan nutrisi. Dampaknya adalah berat badan ibu hamil menjadi rendah, dan hal ini memicu timbulnya anemia, defisiensi nutrisi, risiko mehirkan bayi dengan berat lahir rendah. Selain itu, ibu yang masih remaja tersebut rentan mengalami depresi, dan depresi tersebut berisiko terjadinya keguguran dan eklamsi yang membahayakan janin maupun ibu yang mengandungnya (Fadlyana & Larasaty, 2009).

Ø  Secara ekonomi, remaja memang belum siap untuk menikah. Mereka belum memiliki kemampuan mengelola harta. Selain itu mereka juga belum membutuhkan perkawinan (Bastomi, 2016). Adanya pemaksaan perkawinan akan rentan terjadinya perceraian sebagai akibat dari konflik ekonomi. Selain itu orangtua / mertua sangat mungkin terbebani secara finansial.

Ø  Kondisi psikhis remaja yang menikah juga belum stabil. Mereka cenderung masih egois (self-centered). Padahal, pernikahan itu mewajibkan orangtua memperhatikan anak dan keluarga besarnya. Kegagalan dalam memperhatikan lingkungan sosialnya akan memicu terjadi konflik, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan berakhir dengan perceraian.
Ø  Pendidikan akan terhenti. Hal ini terutama terjadi pada fenomena MBA (married by accident) atau pernikahan karena pengantin perempuan terlanjur hamil lebih dahulu. Hal yang tidak fair adalah pengehntian masa bersekolah itu lebih banyak terjadi pada siswa perempuan, karena bentuk fisiknya sangat kentara. Sebaliknya, siswa laki-laki yang menghamili teman perempuannya cenderung tidak ‘dihukum’ sehingga masa bersekolahnya bisa terus berlanjut sampai lulus. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, sehingga peluang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada perempuan. Situasi seperti ini tentu saja tidak fair.

Perkawinan usia dini ini terjadi karena adanya tradisi dan budaya di masyarakat. Pada sebagaian anggota masyarakat, bila perempuan sudah melewati masa akil baliq namun belum menikah maka hal itu dianggap sebagi aib keluarga. Untuk menutupi aib tersebut maka orangtua akan memaksa anak perempuannya untuk menikah dengan laki-laki mana pun. Hal yang paling penting adalah menikah, sedangkan perceraian adalah perkara yang bisa diatasi nantinya dan dirasakan lebih mudah. Situasi seperti ini tentu saja tidak fair bagi pihak-pihak yang dipaksa.

Perkawinan usia dini lebih banyak terjadi pada keluarga-keluarga miskin. Kemiskinan telah memunculkan persepsi bahwa anak khususnya anak perempuan adalah beban. Bila ia dinikahkan apalagi bila calon suaminya datang dari kelaurg berada, maka keluarganya akan tertolong secara finansial. Perkawinan usia dini juga banyak terjadi di negara-negara Afrika dan Asia Tenggara. Secara umum, pernikahan usia dini lebih banyak terjadi pada anak-anak perempuan daripada laki-laki. Pernikahan dini juga lebih abnyak terjadi di daerah pedesaan daripada perkotaan (Fadlyana & Larasaty 2009).

Usai diskusi tentang fenomena Pernikahan Usia Dini, muncullah komentar dari pendengar RRI Yogyakarta. Komentar berasal dari Ibu Fina yang tinggal di jalan Kaliurang Yogyakarta. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah lokasi secara geografis mempengaruhi munculnya fenomena pernikahan usia dini. Ibu Sulfi mencoba menjawab, yaitu bahwa kabupaten Gunung Kidul adalah daerah dengan angka pernikahan usia dini yang tertinggi di DIY. Pada tahun 2017, ada 63 pernikahan usia dini, sedangkan pada tahun 2018 ada 50 pernikahan usia dini (Pangaribo, 2018).

Tulisan ini dipersiapkan sebagai laporan kegiatan pengabdian masyarakat dosen yang dilaksanakan di RRI Kotabaru Yogyakarta, pada Selasa 23 April 2019, pukul 20.00-21.00. Siaran ini berlangsung dengan lancar karena peserta diskusi adalah Ibu Lusi dan Ibu Sulfi Amalia serta saya sendiri. Ibu Lusi dan Ibu Sulfi adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Proklamsi 45 Yogyakarta. Acara ini secara rutin berlangsung di RRI Yogyakarta, dengan nama program Dialog Hukum.

Daftar Pustaka:

Bastomi, H. (2016). Pernikahan usia dini dan dampaknya (Tinjauan batas umur perkawinan menurut Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia). Yudisia. 7(2), Desember, 354-384.

Fadlyana, E. & Larasaty, S. (2009). Pernikahan usia dini dan permasalahannya. Sari Pediatri. 11(2), Agustus, 136-140.

Pangaribo, W. S. (2018). Angka pernikahan dini di Gunung Kidul tertinggi se-DIY. Tribunjogja.com. 12 Desember. Retrieved on April 25, 2019 from:
http://jogja.tribunnews.com/2018/12/12/angka-pernikahan-dini-di-gunungkidul-tertinggi-se-diy






Post a Comment

0 Comments